Pada 10 Ramadhan (Januari 630), Muhammad memimpin rombongan terbesar yang pernah keluar dari Madinah. Hampir seluruh lelaki dalam ummah bersedia untuk ikut dan sepanjang jalan sekutu-sekutu Badui mereka menggabungkan kekuatan dengan kaum Muslim sehingga jumlahnya lebih dari 10 ribu orang. Untuk alasan keamanan, tujuan ekspedisi dirahasiakan, tentu saja banyak memunculkan spekulasi. Pasti Makkah yang menjadi kemungkinan tujuan , atau mungkin saja tujuannya adalah Thaif yg masih memusuhi Islam hingga Bani Hawazin di selatan mulai menyiapkan pasukan disana.. Di Makkah, para pemimpin Quraisy mencemaskan kejadian terburuk. 'Abbas, Abu Sufyan, Budail, kepala suku Khuza'ah semuanya secara diam-diam bergerak menuju perkemahan kaum Muslim di malam hari. Di sana Muhammad menerima mereka dan dan menanyai Abu Sufyan apakah dia siap menerima Islam. Abu Sufyan menjawab bahwa meskipun dia kini percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan_berhala-berhala itu terbukti tak ada gunanya. Tapi dia masih ragu dengan kenabian Muhammad. Dan Abu Sufyan terkejut dan terkesan ketika menyaksikan seluruh anggota pasukan yang besar itu bersujud ke arah Makkah pada Shalat Subuh dan dia kemudian sadar kalau pada saat itu, suku Quraisy harus tunduk menyerah.
Kamis, 26 Desember 2013
According to "Suku Quraizah"
"Janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Ilah kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri" (QS Al - Ankabut 29:46) terjemahan Asad............. *kelak di dalam kekaisaran Islam, orang Yahudi akan menikmati kebebasan beragama sepenuhnya, dan Anti-Semitisme takkan pernah menjadi ciri kaum Muslim hingga konflik Arab-Israel menjadi akut di pertengahan abad kedua puluh.
Minggu, 22 Desember 2013
Abu Thalib
Dalam semalam Muhammad telah
menjadi musuh. Para pemimpin suku Quraisy
mengirimkan delegasi kepada Abu Thalib, meminta nya untuk memutuskan
hubungan dengan keponakan laki-lakinya itu. Tak seorangpun bisa bertahan di
Arabia tanpa perlindungan dari pihak yang berkuasa. Seseorang yang sudah diusir
dari klannya bisa dibunuh tanpa
pembunuhnya dijerat oleh hukum, tanpa takut balas dendam dari suku nya. Abu Thalib
yang sangat menyayangi Muhammad kendati dirinya bukan lah seorang
muslim, berada dalam posisi yg sangat sulit. Dia mencoba mengulur kesempatan,
tetapi kaum Quraisy kembali mengultimatum “Demi Tuhan, kami tidak bisa para
leluhur kami dicaci, kebiasaan kami dicela dan tuhan-tuhan kami dihinakan!”. “Hingga
kau usir dia demi kami, kami akan melawan kalian berdua hingga salah satu pihak
dari kita akan mati!”. Abu Thalib
memanggil Muhammad, memohonnya untuk menghentikan dakwahnya yang subversive. “Selamatkan
lah aku dan dirimu sendiri” dia memohon. “Jangan letakkan pada pundakku beban
yang lebih besar daripada yang bisa kutanggungkan”. Karena yakin Abu Thalib
akan meninggalkannya, Muhammad menjawab dengan mata basah “Wahai pamanku, demi
Tuhan, andaikan mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan
kiriku dengan syarat aku meninggalkan jalan ini, aku tidak akan melakukannya,
hingga Tuhan menjadikannya jaya atau aku mati di jalan ini. Beliau kemudian
diam dan meninggalhan ruangan itu sambil berurai air mata. Pamannya memanggilnya kembali, “Pergilah dan
sampaikan apa yang ingin kau sampaikan, karena demi Tuhan, aku tidak akan
pernah meninggalkanmu dengan alasan apapun,……”
Selasa, 19 November 2013
Perlu Keterbukaan
Pada tahun 399 sebelum kelahiran Nabi Isa a.s, de sebuah penjara kuno, seorang laki-laki tua meminum racun dengan tenang. Kawan-kawannya tak sanggup menahan tangis. Ruang penjara yang pengap itu segera dipenuhi oleh tangisan. "Raungan aneh apa ini?" kata seorang lelaki bercambang lebat itu. "Aku suruh perempuan keluar supaya mereka tidak menggangu aku seperti ini. Bukankah orang mati harus dengan damai? Tenanglah. Bersabarlah" Yang menangis menghentikan tangisan mereka. Perlahan-lahan robohlah orang tua itu.
Ketika muridnya menuliskan peristiwa kematiannya, dia masih juga terharu: " Itulah akhir hidup sahabat kami. Aku dapat menyebutnya sebagai orang yang paling bijak, paling adil, paling baik dari semua orang yang aku kenal". Orang tua itu bernama Socrates. Murid yang setia dan menceritakan peristiwa itu adalah Plato. Mengapa orang bijak ini mesti mati? Dosa apa yang ia lakukan?
Socrates bukan penjahat, bukan pula koruptor. Dia hidup sangat sederhana, sehingga istrinya Xantippe sering mengomel. "Aku ini dukun beranak yang membantu orang melahirkan. Bukan melahirkan anak, tapi melahirkan gagasan", kata Socrates. Dia memang disenangi anak-anak muda. Setiap kalio dia memberikan ceramah, ratusan anak muda Yunani yang cerdas berkumpul di sekitarnya. Dia mengajak mereka berpikir kritis. Dia mendorong mereka untuk membuka diri terhadap gagasan-gagasan baru. Jiwa-jiwa muda yang bersih terpesona. Mata mereka terbuka melihat dunia, persis seperti bayi yang baru lahir.
Socrates memang dukun beranak. Untuk "profesi"nya itu. dia harus mati. Dia pun rela mati demi sebuah keterbukaan. "Socrates meresahkan masyarakat" kata pemuka masyarakat. Dia dipanggil ke pengadilan. Tapi Orakel di Delphi, juga Plato dan para pemikir sepanjang sejarah, menyebutnya orang yang paling bijak. Dia mempengaruhi ribuan orang sesudah dia mati.
Lewat Plato, kira-kira seribu lima ratus tahun kemudian, ada anak muda Islam yang memilih hidup seperti Socrates. Dia menjelajahi sudut-sudut negeri Persia dan menyauk hikmah Persia yang ditinggalkan orang. Dia menelusuri pelosok -pelosok Anatolia dan Syria dan berguru kepada orang-orang Sufi yang arif. Dia pun mendatangi kota-kota besar wilayah Islam waktu itu; berbincang dengan para filosof pecinta hikmah Yunani.
Akhirnya anak muda ini "terdampar" di istana Malik Zhahir, putra Salahuddin Al Ayyubi. Dia dicintai Malik karena kecerdasannya, kearifannya dan terutama skali karena keterbukaan. Dia menyuruh orang untuk belajar filsafat, dan pada saat yang sama mendorong orang untuk menyucikan dirinya lewat tasawuf. Dia mengajak orang Islam untuk memperkaya dirinya dengan berbagai hikmah yang datang dari manapun_Yunani, India, Persia. Anak-anak muda menyukainya tetapi tidak denga para ulama. Mereka menuduh pemuda ini meresahkan masyarakat, merusak aqidah, dan menyesatkan umat. Mereka medesak Malik untuk menangkapnya. Sang Pangeran yang sudah tercerahkan tidak ingin menangkap sahabatnya. Para ulama pergi "ke atas", kepada Salahuddin Al Ayyubi. yang tengah memerlukan ulama, didesak untuk menghukum pemuda itu. Pada tahun 587 Hijri, seperti Socrates, anak muda ini mati di penjara kerena dicekik atau karena kelaparan.
Delapan ratus tahun kemudian, Henry Corbin, filosof Prancis menemukan peninggalan dia. Syihabuddin Suhrawardi. Anak muda yang mati terbunuh di usia 39 tahun itu ternyata manusia yang sangat luar biasa. Bila Al Farabi adalah Magister Secundus (Guru Kedua) yang menghidupkan ajaran Aristoteles yang rasional, maka Suhrawardi adalah Magister Secundus ajaran Plato yang ideal. Suhrawardi adalah pendiri aliran Isyraqiyyah (iluminasionisme) dalam filsafat Islam. Dalam hidupnya yang singkat, dia menulis puluhan buku tebal. Dia filosof yang dikaruniai Allah kemampuan menulis seorang novelis. Salah satu bukunya adalah Al-Ghurbah Al Gharbiyyah (Keterasingan Barat) adalah novel filsafat yang lebih mempesonakan daripada Also Spranch Zarathustra karya Nietszche.
Genius besar ini mati dalam usia muda. Dosa nya sama denga dosa Socrates. Dia menganjurkan keterbukaan. Dia mengajak orang melepaskan diri dari sekat-sekat mazhab yang sempit. Dia bberwawasan nonsektarian. Socrates mati. Suhrawardi mati dan boleh jadi ratusan pemikir nonsektarian mati atau dimatikan. Namun keterbukaan selalu dirindukan orang, khususnya oleh anak muda yang cerdas.
Kang Jalal
Jumat, 15 November 2013
Perjanjian Dengan Setan
Oleh
: Abdurrahman Wahid
Di
tahun-tahun lima puluhan, beredar terjemahan noveler Damon Runyon, "Hantu
dan Daniel Webster". Isinya tetang seorang Amerika abad lalu yang
menggadaikan jiwanya kepada setan agar berhasil gemilang dalam profesi. Diakhir
masa gadai, sang setan datang untuk menagih: orang itu harus hidup dalam bentuk
lain. Menjadi kupu yang ditaruh dalam sebuah tabung, mengutuki nasibnya yang
jelek, menjadi hamba setan.
Untungnya,
melalui berbagai argumen dalam perdebatan antara pembela hukumnya - Daniel
Webster - dan sang setan, dalam sebuah ‘peradilan spiritual' yang unik orang
itu akhirnya dibebaskan dari sanksi.
Bagi
kita, penggadaian jiwa kepada setan bukan dongeng aneh. Sekian banyak
kepercayaan akan "pesugihan" sudah menjadi pengetahuan umum - dari
soal monyet di Gunung Kawi, yang dikatakan penjelmaan dari mereka yang dulu
dianugerahi kekayaan luar biasa, hingga babi jadi-jadian yang konon kembali
menjadi manusia dikala mati dibunuh orang. Juga tuyul, yang kemarin dipopulerkan
itu.
Menarik,
bangsa-bangsa Barat pun memiliki
perbendaharaan cerita seperti itu, seperti dibuktikan Damon Runyon dalam
noveletnya (cerita-pendek panjang) yang tadi. Tetapi ada perbedaan mendasar
dalam pendekatan kepada materi pokoknya. Kepercayaan bangsa kita itu menunjukkan sikap pasrah kepada
‘intervensi supranatural': paling jauh hanya mengambil intisari moral dari
cerita atau kepercayaan itu, yaitu imbauan agar kita tidak menggadaikan jiwa
kepada setan. Para penulis Barat, Seperti Damon Runyon tekanannya justru pada
upaya membebaskan diri dari ‘sanksi hukum' setan.
Ini
tentu dibawakan oleh nilai yang melandasi sikap hidup yang berbeda. Kita tidak
mementingkan kebebasan manusia, sebagai peperangan,dari cengkeraman nasib,
karena kita memang berwatak pasrah. Manusia Barat setidak-tidaknya sebagai
prototipe justru menghardik nasib dan merebut inisiatif dari tangannya. Karenanya, setan pun harus di lawan.
Sikap
berani menentang surtan takdir seperti itu sudah tentu tidak tumbuh dalam
sekejab: ia merupakan hasil perjalanan sejarah
panjang. Pun bukan merupakan sikap terbaik yang dapat dirumuskan manusia
bagi hidupnya, karena sekularisme yang dihasilkannya juga membawakan krisisnya
sendiri kepada ‘manusia Barat' saat ini. Namun, tak dapat diingkari ‘Manusia
Barat' berwatak ingin menentukan nasibnya sendiri, bebas dari campur tangan
siapapun juga.
Dalam
perjalanan kian-kemari, penulis menonton di sebuah tempat sebuah filem menarik,
dengan tema seperti itu. Film berjudul "Oh God, You Devil" menampilakan gambaran baru dari tema lama
damon Runyon di atas. Hanya saja penyelesaiannya idak dilakukan melalui sidang
‘pengadilan spiritual'.
Seorang
musikus, yang belum berhasil mengangkat karier dalam usia 30 tahun, bertemu
dengan sang setan. Makhluk ini berkuasa ini tampil dalam sosok seorang agen yang menjanjikan promosi
serba tuntas bagi sang musikus. Dalam keputsasaan akibat kebuntuan karier, si
musikus menerima keagenan setan atas dirinya. Maka ia pun ditukar secara fisik, dengan seorang penyanyi rock sangat tenar -
yang sudah sampai ‘masa perjanjian' nyadengan sang setan. Jiwa mereka bertukar
tempat, alias bertukar raga.
Bintang
rock tenar menjdi musikus yang mendampingi istri musikus yang tak maju-maju
itu, tanpa sang istri menyadarinya. Sang musikus lokal, sebaliknya, langsung
menjadi bintang tenar, dengan segala kesenangan hedonistiknya. Itu berjalan
cukup lama. Namun, kemewahan berlimpah yang dimilikinya tidak dapat
melupakannya dari kenangan kepada istrinya.
Ketika
suatu ketika ia nekat mengintip sang istri makan di restoran kesayangan mereka
berdua, didampingi musikus yang dulunya bintang rock tenar itu, tak dapat lagi
dicegah keinginannya untuk membebaskan diri dari pengendalian setan. Dan dalam
kekalutan jiwa itu ia berupaya mencari Tuhan. Dan Tuhanpun muncul -dalam
personifikasi seorang pengkhotbah sederhana, dan kemudian lagi, seorang
penduduk desa yang bersahaja.
Karena
kesungguhan mencari Tuhan itulah maka sang Tuhan berbentuk manusia itu merasa
belas kasihan. Lebih-lebih, karena sewaktu musikus-lalu-bintang rock terkenal
itu masih anak-anak ayahnya pernah bekerja menanamkan kepercayaan dan cinta
kepada Tuhan dan sesama. Tuhan berterima kasih kepada ayahnya itu - dengan
jalan menolong diri musikus-lau-bintang-rock-tenar itu. Pertolongan Tuhan itu
dinyatakan dalam bentuk sangat unik. Kedua personifikasi Setan dan Tuhan
bertanding dalam permainan poker. Taruhannya: kalau setan menang, bintang rock
tenar akan tetap dikuasainya: kalau sebaliknya ia akan diperbolehkan menjadi
musikus sederhana.
Ternyata,
Tuhan menang (bagaimana Tuhan dapat digambarkan kalah?) dan bebaslah sang
makhluk dari cengkeraman setan. Caranya? Sang bintang rock tenar bunuh diri -
dengan obat terlarang, dalam dosis berlebihan. Jiwanya keluar, menjelma menjadi
musikus semula. Kebetulan musikus yang menempati raganya sebelum itu bertugas
meliput kegiatan bintang rock tenar itu sebelum kematiannya.
Jiwa
dipertukarkan. Bintang rock tenar dipulangkan sukmanya ke neraka, untuk
memenuhi perjanjiannya dengan setan. Sang musikus langsung pulang ke rumah -
kedalam kebebasan, ke dalam kekurangan dan kemelaratan. Tetapi juga kepada
istrinya yang dicintainya, yang tengah mengandung tua dari benihnya dahulu.
Kandungan tua istrinya itulah yang menyebabkan ia berontak dari kemewahan dan
mencari pertolongan Tuhan untuk menjadi musikus miskin.
Siklus
kehidupan yang positif: kembalinya sang pengembara, yang menyadari bahwa
kemewahan tidak sebanding nilainya dengan kebebasan diri sebagai insan.
(Sumber:
TEMPO, 21 Desember 1985)
Sabtu, 17 Agustus 2013
Beberapa Catatan dari Israel (Luthfi Assyaukanie)
Wednesday,
December 10, 2008 at 4:10am
Saya
baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya
dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori
konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan
orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya
akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.
Ketika
transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa
orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul.
Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak
saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap
ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar
belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari
sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang
senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.
Saya
masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke
terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke
tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya “more jewish than me.” Dalam
jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan
dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.
Tentu
saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada
satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab:
hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti
itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab:
kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar
mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3
yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat
jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.
Kecerdasan
itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul
dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang
Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian
peraih nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.
Yang
membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para
pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya
jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali
mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami
merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi
Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di
parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.
Kebijakan
resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar
mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai
bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai
orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang
dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan
hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa
bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi
yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa
Arab.
Bahwa
Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di
airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan
benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas,
kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru
angin oleh musuh-musuhnya.
Saya
sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk
kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah
60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel
Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang
pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel
adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas
ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.
Bangsa
Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori
holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang
berdaulat, tapi karena mereka betul-betul bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan
yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan
begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah. Setiap melihat
keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:
Engkau
ciptakan gulita
Aku
ciptakan pelita
Engkau
ciptakan tanah
Aku
ciptakan gerabah
Dalam
Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani
menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama
Israel (Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan) disematkan kepada Jacob. Di
Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.
Orang-orang
Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang
tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk
melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict
Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan
kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin
Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.
Melihat
indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “orang-orang Arab
itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi
sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka
sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948
adalah bahwa mereka tak bisa menerima “two state solution,” meski itu adalah
satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orang-orang
Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain,
mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak
akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab,
Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel,
orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.
Sekarang
saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan
pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang
saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah.
Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung
sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan
yang membentuknya seperti sekarang ini. Tapi, jangan bayangkan ia seperti
Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan
dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak
rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.
Sebelum
menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran
seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu
besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya
berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak
ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik.
Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin
al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang
berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan
salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.
Oleh
Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur
yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua
menjadi bagian dari Israel. “Dulu,” katanya, “ada tembok tinggi yang membelah
Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun,
setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun
bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan
Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan
kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh
sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.
Saya
protes kepada Guide itu, “Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel
membiarkan diskriminasi itu?” Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua
patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua
neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda
orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak
jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa
kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur
gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: “What went wrong?”
Ada
banyak pertanyaan “what went wrong” setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di
Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter):
Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin
al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan
tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan
Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong
di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan
di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.
Jika
pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak
terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian
uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya
hasrat menipu.
Namun,
di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah
pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif).
Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari
sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk
ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa
pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.
Tapi
begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania
dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan
mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka
ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan
kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan
bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.
Saya
ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa
Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup,
cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk
kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah
wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen
rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua
pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.
Tapi
para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa
superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening
yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif.
Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh.
Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat
al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini
begitu sepi dari pengunjung.
Tentu
saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk
wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca
al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim
adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.
Saya
tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes
kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak
masuk akal.
Tombo Ati
Oleh: K.H Abdurrahman Wahid
Sebagaimana diketahui, “Tombo Ati” adalah nama sebuah sajak
berbahasa Arab ciptaan Sayyiduna Ali, yang oleh K.H Bisri Mustofa dari Rembang
(Ayah K.H.A. Mustopha Bisri) diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan
menggunakan judul tersebut. Dalam sajak itu, disebutkan 5 hal yang seharusnya
dilakukan oleh seorang Muslim yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kelima hal itu adalah dianggap sebagai obat (tombo) bagi seorang Muslim. Dengan
melaksanakan secara teratur kelima hal yang disebutkan dalam sajak tersebut,
dijanjikan orang itu akan menjadi “Muslim” yang baik. Dianggap demikian karena
ia melaksanakan ajaran agama secara tuntas. Sajak ini sangat popular di
kalangan para santri di Pulau Jawa, terutama di lingkungan pesantren.
Karenanya sangatlah penting untuk mengamati, adakah itu tetap
digemari oleh kaum Muslimin Sunni tradisional? Kalau ia tetap dilestarikan,
maka itu menunjukkan kemampuan kaum Muslimin Sunni tradisional menjaga budaya
kesantrian mereka di alam serba modern ini. Jadi kemampuan sebuah kelompok
melestarikan sebuah sajak bukanlah “peristiwa lumrah”. Peristiwa itu justru
menyentuh sebuah pergulatan dashyat yang menyangkut budaya kelompok Sunni
tradisional melawan proses modernisasi, yang dalam hal ini berbentuk
westernisasi (pembaratan). Bahwa sajak
itu, dalam bentuk sangat tradisional dan memiliki isi kongkret lokal (Jawa),
justru membuat pertarungan budaya itu lebih menarik untuk dinikmati.
Sebuah proses maha besar yang meliputi jutaan jiwa warga
masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali tidak terduga.
Terlihat dalam sajak tersebut yang berisi “perintah agama” untuk berdzikir
tengah malam, mengerti dan memahami isi kandungan kitab suci Al-Quran, bergaul
erat dengan para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, adalah hal-hal
utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola hidup ideal bagi seorang
Muslim, yang menempa dirinya menjadi orang yang baik dan layak” (shaleh). Jika
anjuran itu diikuti oleh kaum Muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan
kaum Muslimin akan memperoleh “kebaikan”tertentu dalam hidup mereka. Gambaran
itu sangat ideal, namun modernisasi datang menantangnya.
Sabtu, 10 Agustus 2013
TALIBAN
September 1996
Dua setengah tahun kemudian, Mariam
terbangun pada pagi hari 27 September karena sorak sorai dan lengkingan peluit,
ledakan petasan dan alunan musik. Dia bergegas memasuki ruangan tamu, mendapati
Laila telah berada di dekat jendela, dengan Aziza yang duduk di bahunya. Laila
berpaling dan tersenyum. “Taliban sudah Datang”, katanya.
Mullah Omar |
Mariam pertama kali mendengar
Taliban dua tahu sebelumnya pada Oktober 1994, ketika Rasheed menyampaikan
kabar bahwa mereka telah menanklukan para panglima perang di Kandahar dan
menduduki kota itu. Taliban adalah pasukan gerilyawan, kata Rasheed,
beranggotakan para pemuda Pasthun yang berasal dari keluarga-keluarga yang
melarikan diri ke Pakistan selama perang melawan Sovyet. Sebagian besar mereka
dibesarkan sebagian lagi bahkan dilahirkan di kamp-kamp pengungsian di
sepanjang perbatasan Pakistan. Dan di madrasah-madrasah Pakistan, mereka diajar
oleh mullah-mullah penganut Syariah. Pemimpin mereka adalah seorang pria
misterius bermata satu yang buta huruf dan bersifat tertutup bernama Mullah
Omar, yang kata Rasheed dengan senang menyebut dirinya sendiri Amirul-Mukminin.
Pemimpin kaum Beriman.
“Memang benar, para pemuda itu tidak
mempunyai risha, tak punya akar” , kata Rasheed, tanpa memandang Mariam maupun
Laila. Sejak upaya pelarian mereka yang gagal dua setengah tahun yang lalu,
Mariam tahu bahwa dirinya dan Laila telah menjadi makhluk yang sama di mata
Rasheed, sama-sama bejad, sama-sama layak mendapatkan kecurigaan, cecaran dan
hinaan. Setiap kali Rasheed bicara, Mariam mendapatkan kesan bahwa dia sedang
bercakap-cakap dengan dirinya sendiri, atau dengan seseorang yang tidak
terlihat di dalam ruangan, yang tidak seperti Mariam dan Laila, layak
mendengarkan pendapatnya.
“Mereka mungkin saja tak punya masa lalu,”
katanya, menghembuskan asap rokok dan menatap langit-langit. “Mereka mungkin
saja tak tahu apa-apa soal dunia atau pun sejarah negeri ini. Ya. Dan,
dibandingkan dengan mereka Mariam ini mungkin bisa disamakan dengan dosen di
Perguruan Tinggi. Ha! Yang benar saja. Tapi lihat saja di sekelilingmu. Apa
yang kau lihat? Komandan para Mujahidin yang korup dan serakah, raja senjata,
juragan heroin, menyatakan jihad melawan sesamanya dan membantai semua orang
yang ada dia antara mereka. Itulah. Setidaknya, Taliban ini murni dan tidak
korup, setidaknya, mereka beranggotakan para pemuda Muslim yang taat. Walah,
saat mereka datang, mereka akan menyapu bersih tempat ini. Mereka akan
menghadirkan kedamaian dan menegakkan aturan. Orang-orang tidak akan ditembaki
lagi hanya karena keluar untuk membeli susu. Tidak akan ada roket lagi!
Pikirkan saja.”
Sejak dua tahun terakhir, Taliban
berjuang melancarkan jalan mereka menuju Kabul, merebut berbagai kota dari
cengkrama Mujahidin, mengakhiri setiap perang antar faksi. Mereka berhasil
menangkap komandan Hazara, Abdul Ali Mazari dan mengeksekusinya. Selama
berbulan-bulan, mereka menduduki daerah pinggiran sebelah selatan kota Kabul,
menembaki kota, saling melempari roket dengan pasukan Ahmad Shah Massoud. Pada
awal Sebterber 1996, mereka telah berhasil menduduki Jalalabad dan Sarobi.
Taliban memiliki satu hal yang tidak dimiliki Mujahiddin, kata Rasheed.
Persatuan. “Biarkan saja mereka datang”. Kata Rasheed. “Aku sendiri yang akan
menghujani mereka dengan bunga mawar.”
Mereka pergi pada suatu hari,
berempat. Rasheed memimpin mereka berganti bus, untuk menyapa dunia baru
mereka, para pemimpin baru mereka. Disetiap lingkunganyang luluh lantak, Mariam
melihat orang-orang bermunculan dari dalam reruntuhan dan bergerak ke jalanan.
Dia melihat seorang wanita tua membuang-buang segenggam beras, melemparkan
butir-butirnya pada pejalan kaki yang melewatinya. Menyunggingkan senyuman
tanpa gigi di wajah keriputnya. Dua orang pria saling memeluk di tengah
puing-puing bangunan, sementara petasan-petasan yang disulut oleh para pemuda
di atas atap melesat, mendesis dan meledak di langit. Lagu kebangsaan membahana
di mana-mana. Bersaing dengan klakson mobil.
“Lihat, Maryam!” Aziza menunjuk
sekelompok anak laki-laki yang berlari sepanjang Jadeh Maywand. mereka
mengacung-acungkan kepalan ke udara dan menyeret kaleng-kaleng berkarat yang
diikat dengan senar. Mereka bersorak-sorai meneriakkan usiran bagi Massoud dan
Rabbani.
Dimana-mana, orang-orang berseru:
“Allahu Akbar!”
Mariam melihat sehelai seprai
digantungkan di sebuah jendela di Jadeh Maywand. Di atasnya, seseorang
menuliskan tiga kata dalam huruf-huruf hitam dan besar: ZENDA BAAD TALIBAN!
Panjang Umur Taliban!
Ketika menyusuri jalan, Mariam
melihat lebih banyak tanda. Ditulis di jendela, dipaku ke pintu, diikat di
antenna mobil, memproklamasikan hal yang sama.
Siang itu, di Alun-Alun Pasthunistan
bersama Rasheed, Laila, dan Aziza, untuk pertama kalinya, Mariam melihat
Taliban. Banyak orang berkerumun disana. Mariam melihat orang-orang menjulurkan
leher, orang-orang berkeliling di sekeliling air mancur biru yang terdapat di
tengah alun-alun, orang-orang
menginjak-injak hamparan bunga kering. Mereka berusaha melihat sebaik
mungkin ke ujung Alun-Alun, ke dekat bangunan tua Restoran Khyber.
Rasheed memanfaatkan ukuran tubuhnya
untuk mendorong dan menjejalkan diri di antara para penonton, membawa Mariam
dan Laila ke dekat pria yang berbicara dengan pengeras suara. Ketika melihat
pria itu, Aziza langsung memekik dan membenamkan wajahnya ke burqa Maryam.
Suara yang membahana itu berasal
dari pria muda ramping dan berjanggut yang menggunaan sorban hitam. Dia berdiri
di atas semacam panggung darurat. Satu tangannya memegang pengeras suara, dan
tangan yang lain menggenggam pelontar roket. Di sebelahnya, dua orang pria
dengan tubuh bersimbah darah menggantung pada tali yang diikatkan ke tiang
lampu lalu lintas. Pakaian mereka telah terkoyak-koyak. Wajah mereka mengembung
dan berwarna biru keunguan.
“Aku tahu orang itu!” kata Maryam,
“yang sebelah kiri” dan mengatakan bahwa pria itu adalah Najibullah. Pria yang
lain adalah saudaranya. Maryam teringat pada wajah Najibullah yang bulat dan
berkumis tebal, tersenyum lebar di baliho-baliho etalase-etalase toko selama
pendudukan Sovyet.
Nantinya, Mariam mendengar bahwa
Taliban menyeret Najibullah dari tempat persembunyiannya di Markas PBB di dekat
Istana Darulaman. Setelah itu mereka menyiksanya selama berjam-jam, lalu
mengikatkan kakinya ke sebuah truck dan menyeret tubuhnya yang tak lagi
bernyawa di jalanan.
“Dia telah membunuh begitu banyak
umat Muslim!” Talib muda itu berteriak dengan pengeras suara. Dia berbicara
dengan bahasa Farsi berlogat Pashto dan sesekali menyelipkan kalimat-kalimat
dalam bahasa Pashto. Dia menekankan kata-katanya dengan menunjuk-nunjuk ke dua
mayat itu dengan senjatanya. “Semua orang tahu tentang kejahatannya. Dia adalah
seorang komunis dan seorang kafir. Inilah yang harus kita lakukan pada
orang-orang yang membangkang terhadap Islam!”
Rasheed tersenyum lebar.
Dalam pelukan Mariam, tangis Aziza
mulai pecah.
Keesokan harinya, Kabul dibanjiri
oleh truck. Di Khair khana, Shar-e-Nau, Karteh-Parwan, Wazir Akbar Khan, dan
Taimani, truck-truck Toyota merah menyusuri jalanan. Para pria berjenggot den
berserban hitam duduk di atas bangku-bangkunya. Dari setiap truck, sebuah
pengeras suara meneriakkan pengumuman, pertama dalam bahasa Farsi dalu diulang
dalam bahasa Pastho. Pesan yang sama diumumkan melalui pengeras suara yang ada
di masjid-masjid juga di radio-radio, yang sekarang dikenal dengan VOICE OF
SHARI’A. Pesan itu juga dicetak di atas selebaran yang ditempatkan di jalanan.
Mariam menemukan salah satunya di halaman.
WATAN KITA SEKARANG BERNAMA EMIRAT
ISLAM AFGHANISTAN. BERIKUT ADALAH UNDANG-UNDANG YANG KAMI SAHKAN DAN HARUS
DIPATUHI SEMUA ORANG:
-SEMUA PENDUDUK DIWAJIBKAN
MENUNAIKAN SHALAT LIMA WAKTU. MEREKA YANG TERTANGKAP SEDANG MELAKUKAN HAL LAIN
KETIKA TIBA WAKTU SHALAT AKAN DICAMBUK
-SEMUA PRIA DIWAJIBKAN MEMELIHARA
JANGGUT. PANJANG DAN TEPAT SETIDAKNYA SATU KEPALAN DIBAWAH DAGU. MEREKA YANG
MEMBANGKANG DARI ATURAN INI AKAN DICAMBUK
-SEMUA ANAK LAKI-LAKI DIWAJIBKAN
MENGGUNAKAN SERBAN. ANAK LAKI-LAKI DARI KELAS SATU HINGGA KELAS ENAM DIWAJIBKAN
MENGGUNAKAN SERBAN HITAM.DAN ANAK LAKI-LAKI DARI KELAS YANG LEBIH TINGGI
DIWAJIBKAN MENGGUNAKAN SERBAN PUTIH. SEMUA ANAK LAKI-LAKI DIWAJIBKAN
MENGGUNAKAN PAKAIAN ISLAMI. KERAH BAJU
HARUS DIKANCINGKAN.
-DILARANG MENYANYI
-DILARANG MENARI
-DILARANG BERMAIN KARTU, BERMAIN
CATUR DAN MENERBANGKAN LAYANG-LAYANG
-DILARANG MENULIS BUKU, MENONTON FILM
DAN MELUKIS
-MEREKA YANG MEMELIHARA BURUNG
PARKIT AKAN DICAMBUK. BURUNG PELIHARAAN HARUS DIBUNUH
-MEREKA YANG MENCURI AKAN DIHUKUM
POTONG TANGAN. JIKA KEJAHATAN INI TERULANG KEMBALI PELAKUNYA AKAN DIHUKUM
POTONG KAKI
-MEREKA YANG BUKAN MUSLIM DILARANG
BERIBADAH DI DEPAN UMAT MUSLIM. MEREKA YANG MEMBANGKANG AKAN CICAMBUK DAN
DIPENJARA. MEREKA YANG TERTANGKAP SEDANG BERUSAHA MENGGANGGU KEIMANAN SEORANG
MUSLIM AKAN DIHUKUM MATI
KHUSUS BAGI WANITA:
-SEMUA WANITA DIWAJIBKAN TINGGAL DI
DALAM RUMAH SEPANJANG WAKTU. WANITA TIDAK PANTAS BERKELIARAN TANPA TUJUAN DI
JALANAN. SETIAP WANITA YANG PERGI KELUAR RUMAH HARUS DITEMANI OLEH SEORANG
MUHRIM LAKI-LAKI. MEREKA YANG TERTANGKAP SENDIRIAN DI JALAN AKAN DICAMBUK DAN
DIPULANGKAN
-SEMUA WANITA DALAM SITUASI APAPUN
DILARANG MENUNJUKKAN WAJAH. SEMUA WANITA DIWAJIBKAN MENGENAKAN BURQA KETIKA
BERADA DI LUAR RUMAH. MEREKA YANG TIDAK MENGENAKAN BURQA AKAN DIHUKUM CAMBUK
-DILARANG MENGENAKAN ALAT RIAS
-DILARANG MENGENAKAN PERHIASAN
-DILARANG MENGENAKAN PAKAIAN YANG
INDAH
-DILARANG BERBICARA KECUALI ADA YANG
MENGAJAK BERBICARA
-DILARANG MELALKUKAN KONTAK MATA
DENGAN PRIA
-DILARANG TERTAWA DI DEPAN UMUM.
MEREKA YANG MEMBANGKANG AKAN DICAMBUK
-DILARANG MENGECAT KUKU. MEREKA YANG
MEMBANGKANG AKAN DIHUKUM POTONG JARI
-ANAK-ANAK PEREMPUAN DILARANG
BERSEKOLAH. SEMUA SEKOLAH KHUSUS PEREMPUAN AKAN SEGERA DITUTUP
-SEMUA WANITA DILARANG BEKERJA
-MEREKA YANG DIDAPATI BERSALAH
KARENA ZINA AKAN DIRAZAM HINGGA TEWAS
-DENGARLAH! DENGARLAH DENGAN BAIK.
PATUHILAH. ALLAHU AKBAR !
Rasheed memastikan radio. Mereka
sedang duduk di lantai ruang tamu, menyantap makan malam. Kurang dari seminggu
setelah melihat mayat Najibullah di tali gantungan.
“Mereka tak bisa menyuruh setengah
penduduk Afghanistan diam di rumah tanpa melakukan apa-apa,” kata Laila.
“Kenapa tidak?” tukas Rasheed.
Maryam langsung menyetujuinya, lagipula dilihat dari segi efek, bukankah
Rasheed juga melakukan hal yang sama kepadanya dan Laila? Tentunya Laila tahu
akan hal itu.
“Tempat ini bukan kampung. Ini
adalah Kabul. Wanita disini menjadi pengacara dan dokter, mereka memiliki
posisi di pemerintahan.”
Taliban |
Rasheed menyeringai, “Bicaramu
seperti anak perempuan arogan pembaca puisi lulusan universitas. Ah, memang
benar begitu bukan? Sangat urban, sangat tajik, kau ini. Kau pikir gagasan yang
diusung Taliban in baru dan radikal? Apakah kau hidup diluar cangkang kecil
berharka di Kabul? Apa kau pernah mengunjungi Afghanistan yang sebenarnya? Di
selatan, di timur di sepanjang perbatasan suku dengan Pakistan? Tidak? Aku
pernah. Dan aku bisa memberitahumu bahwa ada banyak tempat di negara ini yang
selalu menjalani kehidupan dengan cara itu atau setidaknya mirip begitu. Tapi
tentu saja kau tak tahu!”
“Aku tak bias mempercayainya,” kata
Laila, “Tentunya mereka tidak serius”.
“Yang dilakukan Taliban terhadap
Najibullah tampak serius di mataku,” kata Rasheed “Apa kau tak setuju?”
“Tapi dia komunis! Dia Kepala Polisi
Rahasia”
Rasheed tergelak.
Mariam mendengar jawaban dalam tawa
Rasheed bahwa di mata Taliban menjadi komunis dan pemimpin KHAD yang ditakuti
membuat Najibullah hanya sedikit lebih hina dari wanita…
-
Mariam dan Laila adalah kedua istri Rasheed
Sumber: A THOUSAND SPLENDID SUNS,
Khaled Hosseini.
Senin, 05 Agustus 2013
Gamal Al Banna (1920-2013)
Gamal Al Banna (adik Hasan Al
Banna, pendiri Ihkwanul Muslimin) adalah aktivis muslim, anggota Ikhwanul
Muslimin. Kita menyebutnya fundamentalis dan anti-Barat. Ia berjuang menegakkan
“negara tauhid”, negara yang berdasarkan “La
ilaha illallah”. Perjalanan hidupnya, riwayat perjuangannya dan kisah-kisah
kegagalannya mengantarkan kepada sebuah refleksi yang mendalam. Ia “mengunjungi
kembali” pemikiran Islamnya. Dibali terali penjara, dalam ancaman penguasa
(Muslim) yang tidak berperikemanusiaan, di tengah hiruk-pikuk Kairo yang
menyesakkan, ia menemukan epifani. Ia melihat dunia dengan cara yang baru.
Begini hasil permenungannya:
Gamal Al Banna |
“Di negara-negara yang tidak
memeluk Islam, masyarakatnya bekerja dengan gigih dan ikhlas. Mereka memiliki
kejujuran dalam berkata, profesionalisme, menepati janji, dan akhlak-akhlak
baik lainnya. Mereka juga menganggap kebohongan pejabat dalam memberikan
keterangan atas satu perkara di depan pengadilan atau institusi negara
merupakan kejahatan besar yang tak terampuni kecuali dengan pemecatan.
Contohnya adalah kasus yang menimpa Nixon yang menuduh lawan politiknya
melakukan tindakan mata-mata. Begitu juga dengan Clinton yang memiliki
“hubungan khusus” dgn salah satu pegawai Gedung Putih. Mereka menerima celaan,
cacian dan denda yang tidak sedikit. Sedangkan sebagian besar pemimpin di
negara-negara Muslim selalu melakukan kebohongan publik dan penyelewengan.
Kerja mereka hanya menindas dan mengekang. Atas dasar alasan ini, maka
masyarakat Eropa bisa jadi lebih dekat dengan Allah dan idealisme Islam
dibanding banyak masyarakat yang mengaku sebagai pemeluk Islam.
Saya ingat masa ketika saya
berada di tahanan Tursina bersama orang-orang Ikhwanul Muslimin di tahun 1948.
Ketika itu tempat tahanan berada di tengah padang pasir yang di malam hari
terang dengan berbagai cahaya lampu yang dipasang untuk memudahkan penjagaan.
Pemasangan lampu itu dilakukan oleh tahanan yang memiliki keahlian kelistrikan.
Mereka juga menggunakan listrik untuk memanaskan air, mandi dan memasak. Saya berkata
pada mereka bahwa Thomas Alfa Edison akan masuk surga karena menemukan lampu
yang kemudian digunakan manusia sebagai alat penerang. Mendengar ucapan saya
mereka menolak keras, “Tidak! Karena dia tidak beriman kepada Allah dan
Rasulnya”. Mereka menganggap bahwa Islam sudah di kenal di Amerika dan
Rasulullah telah mengajak Edison kepada Islam. Oleh karena itu mereka menolak
pendapat saya.
Sudah saatnya bagi para dai Islam
untuk mengetahui bahwa mereka tidak dituntut untuk meng-Islamkan orang-orang
yang beragama selain Islam. Mereka tidak berhak mengklaim bahwa orang-orang
selain Islam masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan ditangan mereka.
al-Ta’addudiyyah fi
al Mujtama’ al-Islami
. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Taufik Damas
Lc, Penerbit Menara,Bekasi, 2006>
Gamal al Banna berubah dari
seorang ekslusif menjadi seorang inklusif pluralis. Secara sederhana, umat
beragama ekslusif berpendapat hanya umatnya saja yang akan selamat dan masuk
surga. Di luar lingkungan agama kita, semuanya masuk neraka. Dalam bahasa Gamal
Al Banna, seorang ekslusivis merasa “menguasai gudang-gudang rahmat Tuhan”.
Rakhmat Tuhan meliputi seluruh alam semesta, langit dan bumi. Untuk kaum
ekslusif: “yang masuk surga hanya orang Islam. Tetapi umat Islam akan pecah
menjadi 73 golongan, hanya satu yang masuk surga, yang lainnya neraka. Dari
satu golongan pun tidak semuanya masuk surga, hanya pengikut Ustadz Fulan saja
lah yang akan masuk surga. Maka Rahkmat Allah yang meliputi langit dan bumi hanya
diselipkan di sebuah mesjid yang sempit...
Langganan:
Postingan (Atom)
Kaum Badui Arab
“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...
-
Hallo Bandoeng – Wieteke Van Dort Lagu ini mengisahkan hubungan telepon radio antara Hindia Belanda, khususnya pulau Jawa, dengan Nether...
-
RADEN NGABEHI RONGGOWARSITO Islam bercorak mistis telah menjadi satu kekhasan di bumi nusantara. Kesuksesan Islam sebagai agama pene...