Minggu, 07 Februari 2016

Kaum Badui Arab


“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”.

Kaum Badui Arab adalah penduduk yang jauh dari interaksi dengan bangsa-bangsa lain, karena hingga saat ini kehidupan mereka cenderung tidak berubah. Kehidupan mereka masih seperti  yang digambarkan dalam Kitab Taurat. Jauh dari pergaulan kota. Malahan menurut kaum Badui, pergaulan kota itu adalah sesuatu yang sangat mereka rendahkan.
Kaum Badui terbagi ke dalam dua masyarakat Arab, yaitu Badui Pedalaman (selanjutnya disebut Badui saja) dan Badui Kota. Badui Kota adalah suku-suku yang sudah bisa hidup menetap dalam satu daerah, tidak hanya hidup nomaden.  Kaum Badui terdiri dari kabilah-kabilah yang masih jauh dari peradaban, jauh dari sekolah dan jauh dari kemajuan.  Riwayat mereka sangat sedikit disinggung oleh ahli sejarah modern, bahkan keberadaan mereka sering dinafikan. Ada yang menyangka, kehidupan mereka bahkan masih sama seperti  keadaan 3000 tahun yang lalu.
Kaum Badui terdiri dari kabilah-kabilah yang dipimpin oleh seorang Syekh atau sering disebut sebagai kepala kabilah. Dalam darah orang Badui, mereka sangat menyukai perang. Menyerang adalah kebiasaan mereka. Kebiasaan lainnya, mereka mengembalakan unta, kambing, dan biri-biri. Mereka sangat menjungjung tinggi kemerdekaan. Itulah sebabnya mereka benci kepada penduduk kota yang menurut keyakinan mereka_ lantaran terlalu ingin beradab maka kemerdekaan orang-orang kota itu malah terpenjara oleh peradaban itu. Dari pola tersebut, menjadikan kaum Badui pantang membuat rumah, karena menurut pandangan mereka, rumah adalah hal yang dapat membatasi kemerdekaan mereka.  Kaum Badui sudah membuktikan, bahwa dari setiap ekspansi ke tanah Arab seperti Bangsa Yunani, Persia dan Romawi, tak ada satu pun yang dapat menaklukkan Kaum Badui. (Entahlah saat ini dimana kendaraan motor, mobil dan pesawat terbang sudah sangat modern).
Sejarawan Goustav le Bon menjelaskan karena Kaum Badui tak memiliki tempat yang tetap (nomaden) maka menjadikan mereka memiliki satu naluri saja yaitu menyerang. Biasanya mereka menyerang kabilah-kabilah yang lewat, yang membawa sumber-sumber makanan dan perdagangan. Orang-orang kota pun sangat takut kepada mereka. Di masa pemerintahan Makkah oleh Syarif Husein, rute perdagangan dan ekonomi antara Makkah dan Madinah tidaklah aman. Ketika ada pengiriman ekspedisi, harus siap dengan dicegat oleh “para penyamun” di jalan. Bagi Kaum Badui, merampok bisa dikatakan sebuah mata pencaharian, kesenangan dan mungkin juga sebagai olah raga nasional. Di buku “Tarikh Tamaddun Arab”, Goustav le Bon kembali menjelaskan bahwa apa-apa yang dilakukan oleh Kaum Badui itu tak beda jauh dengan orang-orang Eropa yang suka menjarah bangsa-bangsa yang tergabung dalam daerah kolonial. Bedanya adalah Kaum Badui menyerang orang-orang kaya, sedangkan orang-orang Eropa menyerang orang-orang yang masih Badui (penduduk asli). Intinya adalah mereka sama-sama merampas sumber daya yang ada. Walaupun dalam “Razzia” (penyerbuan) ini ada aturan-aturannya. Yaitu mereka hanya menyerang sumber daya (perbekalan & binatang ternak). Dilarang terjadi pembunuhan. Pelarangan ini bukan karena alasan kemanusiaan akan tetapi karena hukum padang pasir (mu’ruah) yang menyatakan bahwa pembunuhan bisa mengakibatkan tersulutnya rasa dendam kesukuan dan urusannya sangat panjang jika suku dari kabilah korban menuntut kematian anggota keluarga sang pembunuh.
Setelah Islam datang, Kaum Badui ini berubah menjadi tentara yang gagah berani dan sulit dicari tandingannya. Di dalam bala tentara itu mereka bercampur dan berkumpul dengan ahli-ahli seni, syair, alim, pintar dan juga kemiliteran. Mereka melihat peradaban maju itu dengan mata kepala sendiri. Peradaban api Persia, gedung  dan patung Romawi, kanal dan saluran air Mesir. Akhirnya Kaum Badui ini berubah menuju kemajuan.  Dalam kemiliteran, dasar keberanian menyerang itu tidaklah hilang akan tetapi berubah menjadi  berani menjemput kematian dengan mati  syahid. Sifat suka menolong sesama yang lemah menjadi kan mereka sebagai prajurit yang gagah berani dan tangkas.
Sejarawan Zaborouski menulis orang-orang Badui sangat memelihara sekali keturunan mereka. Nasab adalah sakral. Darah keturunan mereka sangat dijaga dari percampuran dengan bangsa lain. Doktrin mereka adalah hukum Muru’ah. Walaupun meraka sangat ahli dalam menyerang tapi mereka sangat hormat terhadap tamu, merdeka, kejam, sangat menjunjung kemuliaan diri, sabar menanggung siksa dan cobaan. Lantaran kejam itu, mereka sangan pendendam terhadap musuh yang menyerang mereka. Mereka hanya merampok tapi sangat jarang membunuh tanpa alasan. Talak/perceraian sangat sedikit, mereka sangat hormat terhadap perempuan. Bahkan adat Badui Arab, perempuan adalah pengiring para lelaki untuk maju ke medan perang. Dengan diiringi kaum kaum perempuan, maka timbullah keberanian para kaum lelaki itu.
Di masa Turki Ottoman, para jamaah haji sering bertemu dengan Kaum Badui ini. Mereka mencegat, muncul tiba-tiba dari balik bukit. Tembakan dilepaskan ke udara sebagai tanda kabilah untuk segera berhenti dan tidak perlu melawan. Namun apabila ada jamaah haji itu berjalan sendirian, mereka akan sigap untuk menolong dan memelihara jamaah tersebut. Menerima sebagai tamu dalam tenda nya maksimal selama tiga hari. Mengantarkannya menuju tempat pemberhentian terakhir dan memastikan jamaah/orang tersebut selamat tiba sampai di sebuah kota.
Suatu budaya yang paradox dalam Kaum Badui ini. Setelah masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin, tidak ada Raja Arab yang memperhatikan nasib kaum Badui ini. Tidak Muawiyah, Al- Ma’mun bahkan Salahuddin Al Ayyubi. Hal ini mungkin karena peradaban Islam juga sudah pindah ke kota-kota garnisun lain yang jauh seperti Damaskus, Baghdad, Konstatinopel, Kairo bahkan di benua Eropa (Spanyol). Kaum muslim hanya kembali ke Mekkah ketika melaksanakan ibadah Haji.
Barulah di masa Ibnu Saud yang berhasil menjadi Raja Arab dgn mendirikan Saudi Arabia, beliau bisa mengarahkan Kaum Badui ke dalam gerakan nasionalisme Arab. Kaum Badui diperintahkan untuk bersawah, berladang, berternak dan diberi kampung.(HS)

Minggu, 08 Februari 2015

Toleransi dan Intoleransi dalam Tradisi Islam (Perspektif Mohammad Arkoun)

“Toleransi tidak akan terwujud di dunia Islam
kecuali setelah mendekonstruksi ortodoksi”
~Mohammed Arkoun~


Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun (1 Februari 1928 – 14 September 2010) adalah pemikir Islam kelahiran Aljazair yang sangat berpengaruh dalam studi kritis Islam dan dialog lintas agama. Dia adalah guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne.  Banyak karya tulisannya yang mencerahkan, mengilhami juga memberikan sumbangan pemikiran dalam hal studi Islam. Dari banyak karya nya, wacana toleransi adalah hal yang sangat menyita perhatian Arkoun. Dalam hal ini, sehubungan dengan meningkatnya aksi-aksi terorisme dengan mengatas namakan Islam.  Dalam menyikapi stigma buruk terhadap Islam yang diakibatkan oleh terorisme, kaum Muslimin pada umumnya berapologi, secara normatif dengan didukung kutipan ayat dan hadis bahwa Islam sejatinya adalah agama toleransi. Menurut pandangan dogmatis arus utama, justru orang-orang  Yahudi dan Nasrani lah yang fanatik dan intoleran. Ini adalah pandangan yang subyektif bahwa agama mereka lah yang toleran, sementara pemeluk agama lain lah yang intoleran. Meskipun mengaku toleran, kaum Muslimin tersebut malah memilih diam seribu bahasa ketika kebebasan berpendapat dan kebebasan berkeyakinan di pegang oleh lembaga-lembaga pemegang otoritas resmi agama oleh kelompok-kelompok radikal.  Lembaga pemegang otoritas dan kelompok radikal sering sepakat bahwa pemikiran yang menyeleweng ataupun kelompok minoritas yang diklaim sesat boleh didiskriminasikan demi menjaga kesakralan agama dan kemurnian aqidah kaum mayoritas.
Pandangan dogmatis arus utama tersebut mendapat kritik tajam dari Mohammed Arkoun karena dinilai tidak obyektif. Arkoun berusaha jujur, bahwa dalam tradisi Islam terdapat elemen-elemen yang ekslusif-intoleran sekaligus inklusif- toleran.  Di dalam masa modern pun, toleransi masih merupakan isu langka di masyarakat Arab yang hingga kini masih dihegemoni oleh teologi abad pertengahan.  Itulah yang mengakibatkan begitu banyak komunitas Yahudi, Katolik, Protestan, Ortodoks Yunani, Ortodoks Armenia juga Ortodoks Spanyol memilih meninggalkan Maroko, Algeria, Tunisia, Mesir, dan Iran menuju negara-negara Barat. Begitulah realitas dunia Islam, tak terkecuali di Indonesia, dimana para pemeluk Islam masih terkungkung oleh fanatisme dan ortodoksi sehingga wacana pluralisme dan inklusivisme masih dimusuhi bahkan tak jarang diintimidasi dengan cara kekerasan.


Apakah Islam Agama Toleran?
            Setelah mencermati fakta-fakta intoleran tersebut, Arkoun enggan menggunakan istilah tolerance (al-tasāmuh)  pada Islam. Arkoun tidak mau terjebak dalam slogan Islam agama yang toleran (al- Islām dīn samhah). Atau semboyan yang sering digembar-gemborkan di media massa atau mesjid-mesjid, “Tidak ada paksaan dalam agama” (la ikrāha fī al-dīn).  Justifikasi dari para pengkhutbah ini adalah bahwa Islam adalah agama yang mendahului agama-agama lain dalam hal mengajarkan spirit bertoleransi. Namun, sayangnya, slogan tersebut tidak sejalan dengan kenyataan di dunia Islam yang selalu menampilkan kekerasan, terorisme juga bom-bom bunuh diri. Berdasarkan ambiguitas antara slogan dan realitas sosial ini, Arkoun hendak menawarkan pandangannya mengenai wacana toleransi juga syarat-syaratnya yang harus dipenuhi dalam dunia Islam.
Menurut Arkoun, semua tradisi agama pasti menawarkan ajaran dan semboyan yang terbangun dari system nalar tertentu. Ajaran dan semboyan semua agama mengalami proses perjalanan sejarah yang panjang. Dari mulai periode oral (marhalah safahi) pada masa nabi-nabi hingga periode kodifikasi (marhalah tadwīn) pada masa generasi penerusnya. Artinya, tidak semua ajaran dan semboyan agama ditulis pada masa para nabi.  Dalam proses perjalanan sejarah itu, tentu saja ada ajaran yang hilang, ditambahkan, diperdebatkan, bahkan dimanipulasi. Bahkan tradisi yang dijaga melalui memori hafalan manusia biasa bisa saja salah dan lupa. Sejarah Islam telah bercerita bahwa teks-teks agama sering dimanipulasi oleh sekte-sekte yang bertikai mempertarungkan ideologi dan kepentingan politik.
            Tradisi yang terkodifikasi dan termanipulasi ini pada akhirnya menjadi struktur nalar teologis yang otoritatif; ia dipelihara dan disakralkan oleh pemegang otoritas ortodoks. Para pemeluk agama kemudian diwajibkan tunduk dan patuh kepada tradisi yang terkodifikasi. Jika tidak patuh, akan dikucilkan dan didiskriminasi dengan klaim kafir, heterodoks, mulhid, bid’ah, heretic, zindiq, sesat, dan tuduhan negatif  lainnya. Dari sinilah akar kemunculan ekslusivisme dan fanatime beragama yang tak kenal belas kasihan kepada kelompok minoritas yang disesatkan. Ekslusivisme dan fanatisme merupakan penyakit kekakuan mental beragama yang disebabkan oleh doktrin dogmatis. Pemeluk agama yang terkena penyakit ini cenderung mudah mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pandangan karena dinilai tidak seiman. Pemeluk agama ekslusif tidak bisa menerima pemikiran kelompok lain dengan tuduhan sesat.  Pemikirannya yang berawal dari “wilayah terlarang untuk dipikirkan” (dairah mamnū’ al-takfīr fīh), akhirnya sikap ekslusif akan menuju proses berikutnya yaitu stagnansi pemikiran keagamaan (al-jumūd al-fikr). Hal ini disebabkan oleh wawasan agama yang tunggal, sempit dan tertutup. Nalar inilah yang memicu sikap-sikap intoleran dan tidakan-tindakan kekerasan atas nama agama.
            Nalar dogmatis ekslusif (al-‘aql al dughmaiy al-mughallaq) merupakan nalar yang terbentuk secara hegemonik dalam semua tradisi agama. Ia mengatas namakan dirinya sebagau otoritas resmi yang disakralkan. Otoritas resmi begitu gigih mengaku dirinya berhak benar atau sesatnya sebuah pemikiran atau aliran. Ia juga secara arogan mengklaim berhak menentukan apa-apa yang berhak dipikirkan dan apa-apa yang dilarang untuk dipikirkan. Hal- hal yang terlarang untuk dipikirkan patut disingkirkan karena dinilai sesat dan menyesatkan (dāllun mudillun). Otoritas resmi seakan-akan mempunyai stempel benar dan sesat. Pluralisme, liberalisme dan isme-isme lainnya disesatkan dan dilarang untuk dipikirkan (mamnū’ al-takfīr fih). Otoritas resmi selalu berusaha menjaga kewibawaannya dengan cara memfungsikan dan mengutip Al-Quran, hadist dan simbol-simbol agama berupa pendapat sahabat dan ulama salaf yang shaleh. Ciri khas otoritas resmi Islam, misalnya akan membiarkan orang-orang yang berusaha  mengungkapkan kebobrokan Barat dan otoritas agama lain. Namun, sebaliknya, otoritas resmi Islam secara ironis akan memusuhi siapa saja yang berani mengkritik kewibawaannya. Itulah arogansi dan intoleransi dalam tradisi agama. Nalar-nalar seperti ini harus didekonstruksi  dan didesakralisasi guna mewujudkan toleransi dan kebebasan berpendapat.
            Ciri khas lain nalar dogmatis ekslusif adalah penolakannya terhadap pemisahan antara aspek agama dan politik. Pemisahan agama dan politik adalah bentuk sekularisasi yang terlarang untuk dipikirkan menurut otoritas ortodoks. Penolakan-penolakan semacam ini lah yang menghalangi dunia Islam untuk memasuki gerbang modernitas. Konsekuensinya, keterbelakangan dan keterkucilan negara-negara Islam menjadi hal yang tak terhindarkan. Dan sebagai ungkapan kekecewaan dan rasa frustasi, tersulutlah kekerasan dan terorisme atas dalih ketidak adilan.
            Nalar dogmatis ekslusif senantiasa meyakini dan memonopoli kebenaran tunggal. Kebenaran hanya satu, sakral, statis, dan terjaga sampai hari kiamat. Kebenaran tunggal harus dilindungi oleh otoritas resmi dengan cara mengorbankan kelompok minoritas yang dinilai menyimpang dari konsensus (Ijma’). Demi melindungi kesakralan iman dan simbol agama, kelompok minoritas seakan-akan sah meminta korban-korban atas nama agama. Kata kuncinya adalah klaim kebenaran (truth claim). Para pemeluk agama yang ekslusif tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan rela mati untuk menjaga kebenaran dogma-dogma agamanya yang disakralkan dan diyakini absolut. Ini adalah nalar semua agama yang terideologisasi oleh otoritas resmi.
Radikalisme dan Solusinya
            Untuk mengantisipasi radikalisme (deradikalisasi), Arkoun menawarkan solusi berupa  “deideologisasi agama”. Deideologisasi adalah upaya membedakan antara agama autentik dengan agama yang terideologisasi oleh kelompok-kelompok radikal. Agama autentik adalah agama yang terbuka dan toleran, sedangkan agama yang terideologisasi adalah agama yang ditafsirkan secara harfiah, dangkal, kering, reduktif, manipulatif dan subyektif dan menjadikan agama sebagai sesuatu yang tertutup dan intoleran. Pandangan ini ada benarnya dengan bukti bahwa agama Yahudi autentik mengajarkan bahwa membunuh satu manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia. Agama Kristen autentik mengajarkan bahwa bila pipi kananmu ditampar maka berilah pipi kirimu. Rasulullah SAW pun mengajarkan untuk tidak membalas dendam jika disakiti. Nabi pernah menjenguk non muslim yang meludahinya, Nabi menyuapi pengemis Yahudi yang buta, Nabi memaafkan orang yang menjahilinya ketika berada di jalan. Sayangnya, etika toleran  dan akhlaq mulia (makarim al-akhlaq) seperti ini hampir “tak terpikirkan “ (al la mufakkar fīh) oleh kelompok-kelompok radikal.
            Deradikalisasi menuntut upaya desakralisai terhadap lembaga resmi, sistem hukum, dan sistem politik yang sering dimanipulasi dalam bentuk teokrasi. Desakralisasi inilah yang memungkinkan terjadinya perubahan demi perubahan pada system politik dan hukum masyarakat. Namun sayangnya, masyarakat muslim belum mampu melakukan revolusi pemikiran dan meninggalkan paradigma teokratis yang  notabene merupakan warisan tradisi politik abad pertengahan. Kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi masih dikafirkan, sementara sistem khilafah  tetap dipaksakan oleh kaum fundamentalis.
            Namun,  diakui bahwa proses deradikalisasi, desaklarisasi dan sekularisasi membutuhkan waktu yang panjang. Sebagaimana Eropa yang membutuhkan waktu kurang lebih seribu tahun.  Gagasan pencerahan di tengah dominasi para agamawan dalam perjalanan sejarahnya akhirnya memunculkan konsep toleransi di Eropa. Dengan latar belakang perjalanan sejarah Eropa inilah tampaknya kurang bijaksana jika para ulama seraca normatif mengklaim bahwa toleransi adalah murni konsep Islam.
Masa Depan Toleransi Islam
            Lalu bagaimana dengan masa depan Toleransi Islam? Arkoun dengan tegas menjawab bahwa “toleransi tidak akan bisa diwujudkan di dunia Islam kecuali setelah mendekostruksi bangunan ortodoksi teologi tradisional seperti yang pernah terjadi di Eropa modern”. Namun realitas berkata lain: dunia Islam justru gagal menanamkan benih-benih toleransi akibat dari monopoli-monopoli kebenaran yang dilakukan ulama-ulama dari kelompok konservatif. Masing-masing sekte/kelompok saling menyesatkan dan tanpa ragu-ragu bermain hakim sendiri bahkan sampai merusak properti,  tempat-tempat ibadah milik orang lain.
            Untuk menyikapinya, Negara harus menegakkan undang-undang yang menjamin kebebasan berfikir bagi seluruh agama, sekte serta aliran filsafat. Kebebasan berpendapat tidak boleh dikekang. Seperti misalnya seorang penulis memiliki kebebasan berpendapat dan harus mempertanggung jawabkan pendapatnya secara akademis melalui dialog yang inklusif. Selain itu, Negara membutuhkan masyarakat madani yang kaya wawasan agar memaklumi pandangan-pandangan yang berlainan dan Negara harus menegakkan kesetaraan hukum yang mengayomi seluruh warganya. Solusi inilah yang diterapkan di Negara-negara demokrasi di Eropa. Di sana, undang-undang anti penodaan agama sudah dihapus, setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya tanpa takut dianiaya. Kebijakan itu diambil berdasarkan kesadaran bahwa keyakinan merupakan sebuah wilayah yang privat, tidak bisa diintervensi oleh orang lain dan Negara. Realitas tersebut  sangat kontras dibandingkan dengan negara-negara di dunia Islam yang masih diwarnai dengan fenomena pengkafiran dan pembunuhan yang menimpa pemikir Islam progresif. Di Indonesia pun demikian, dimana orang-orang yang berpikiran Islam progresif   malah dituduh menodai agama dan bahkan diteror. Toleransi Islam, Quo Vadis? []


Selasa, 13 Januari 2015

Elie Wiesel


Pemenang hadiah Nobel beragama Yahudi Elie Wiesel menjalani hidup hanya untuk Tuhan selama masa kanak-kanaknya di Hungaria. Hidupnya telah dibentuk oleh ajaran-ajaran Talmud dan dia berharap suatu hari akan diinisiasi untuk masuk ke dalam misteri Kaballah. Sebagai seorang anak laki-laki, dia dibawa ke Auschwitz dan kemudian ke Buchenwald. Pada malam pertamanya di kamp maut itu, menyaksikan asap hitam menggulung ke angkasa dari ruang gas/krematorium tempat ibunya dan saudara-saudaranya dilemparkan, dia tahu bahwa nyala api telah memadamkan imannya untuk selamanya. Dia berada dalam sebuah dunia yang berhubungan secara obyektif dengan dunia tak bertuhan seperti yang dibayangkan Nietzcshe. “Tak pernah kulupakan keheningan malam yang membinasakan hasrat hidup dari diriku untuk selamanya” Tulisnya beberapa tahun kemudian. “Takkan pernah kulupakan saat-saat yang telah membunuh Tuhanku dan jiwaku, menghancurkan mimpi-mimpiku”.

Suatu hari Gestapo menggantung seorang anak. Bahkan SS terusik oleh bayangan menngantung seorang anak kecil di depan ribuan penonton. Seorang anak, kenang Wiesel, berwajah “malaikat dengan sorot mata sedih”, membisu, pucat dan sangat tenang ketika naik ke tiang gantungan. Di belakan  Wiesel, seorang tawanan lainnya bertanya “ Dimanakah gerangan Tuhan? Dimana Dia?” Setengah jam kemudian anak itu mati sementara para tawanan dipaksa untuk melihat wajahnya. Orang tadi bertanya lagi: ”Dimanakah gerangan Tuhan sekarang?”. Dan Weisel menjawab : “Dia disini. Dia digantung disini di tiang gantungan ini”.

Senin, 12 Januari 2015

Friedrich Nietzsche oleh Rakhmat Kamaruddin

“Membuat orang gelisah, itulah tugas saya.” (F. Nietzsche)

Friedrich Nietzsche adalah suara ganjil dari zaman modern. Filsuf yang satu ini dikenal sebagai pemberontak terhadapn kemapanan dan dogmatisme. Dialah orang pertama yang terang-terangan menyatakan bahwa “Tuhan telah mati”. Dengan tanpa gentar, dia juga menyuarakan nihilisme sebagai kebajikan utama, menggantikan nilai-nilai moralitas yang menurutnya telah usang.

Membaca pemikiran Nietzsche, kita akan dihadapkan pada satu sosok yang tak kenal lelah untuk mencari kebenaran. “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah!” katanya. Ia selalu memprovokasi pembacanya untuk tak berhenti pada suatu keyakinan. Ia mengajajak orang-orang untuk mempertanyakan ulang apa yang tabu, bukan haram, untuk disentuh.

Karena itu, ia begitu sering dicemooh. Ia dicap ateis, meskipun di akhir hidupnya ia terus menyebut-nyebut nama Tuhan dan begitu merindukannya. Ia juga dilabeli “gila”. Pikiran-pikirannya dianggap tak lebih dari lamunan kosong manusia tak waras.

Tapi betapapun kontroversialnya, Nietzsche memang hadir untuk mengguncang. Ia melawan arus zamannya, ketika orang begitu optimis pada dunia. Ia membalikkan keyakinan orang pada ilmu pengetahuan dan agama. Ia juga berteriak sinis terhadap kekuasaan, ketika banyak orang di zamannya takluk dan menghamba pada negara. Bagi Nietzsche, semua ini adalah rintangan yang harus diatasi agar manusia menjadi kuat. Semua ini hanyalah ilusi, yang akan membuat orang puas dan berhenti mencari.[1]


B.     Riwayat hidup Nietzsche

1)      latar belakang keluarga dan masa kecil

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken (Saxe-Prussia), 15 Oktober 1844, anak Karl Ludwig dan Franzizka Oehler. Ayahnya adalah pendeta Lutheran di kota Rocken. Kakek dan kakek buyut Nietzsche dari pihak ibu semuanya berprofesi sebagai pendeta. Adik perempuan Nietzsche (Elisabeth)—yang nantinya memiliki peran khusus untuk karya-karya Nietzsche yang diterbitkan setelah kematian Nistzsche—lahir dua tahun kemudian pada bulan Juli 1846. Belum genap Nietzsche berusia 5 tahun, ayahnya meninggal dunia pada tanggal 30 Juli 1849 pada usia 36 tahun.[2]

Di desa Rocken, keluarga Nietzsche terkenal amat saleh dan taat beribadah. Bahkan ibunya tergolong tipe orang Kristen yang tidak dapat memahami bahwa orang yang sudah membaca dan mempelajari Injil masih meragukan kebenaran yang ada di dalamnya. Sikap Franziska Oehler ini sering bertabrakan dengan sikap-sikap Nietzsche selanjutnya. Dan tragisnya, Fraziska adalah orang yang paling dekat dengan Nietzsche.

Usai peristiwa meninggalnya ayah Nietzsche, keluarga mereka kembali terpukul lagi ketika adik Nietzsche, Joseph, meninggal pada tahun berikutnya. Sejak itu seluruh keluarga pindah ke Naumburg, kota asal nenek moyang Nietzsche. Mereka mencoba memulai fase hidup baru di sana. Dan dalam keluarga ini, kini Nietzsche merupakan satu-satunya anak lelaki. Anggota keluarga yang lainnya adalah ibu, kakak perempuan dan kedua tante dan nenek.

Menjelang umur enam tahun, Nietzsche masuk sekolah gymnasium. Ketika itu sebenarnya dia sudah bisa membaca dan menulis, sebab dia sudah diajar oleh ibunya. Di sekolah, Nietzsche termasuk orang yang amat pandai bergaul. Dengan cepat ia dapat menjalin persahabatan dengan teman-teman sekolahnya. Melalui teman-temannya inilah ia mulai diperkenalkan dengan karya Goethe dan Wagner. Dari perkenalannya yang pertama dengan sastra dan musik, ia merasa bahwa dia cukup mempunyai bakat dalam bidang itu.

2)      Sebagai pelajar dan mahasiswa

Pada umur 14 tahun, Nietzsche pindah ke sekolah dan sekaligus asrama yang bernama Pforta. Sekolah ini dikenal cukup keras dan ketat. Acara-acara disusun sedemikian ketat sehingga seolah-olah para murid merasa hidup di penjara. Hanya pada hari Minggu anak-anak diberi sedikit kebebasan, yaitu tidur setengah jam lebih lama. Sedangkan jam-jam lainnya dipakai untuk mengadakan semacam pengulangan atau repetisi pelajaran-pelajaran yang sudah diterima selama seminggu yang baru saja berlalu.

Selama di Pforta Nietzsche belajar bahasa Yunani dan Latin secara intensif. Dari sinilah dia mendapatkan bekal yang kuat untuk menjadi seorang ahli filologi yang brilian. Di samping belajar kedua bahasa itu, ia juga masih belajar bahasa Hibrani, karena pada waktu itu ia masih tetap bermaksud menjadi pendeta sesuai dengan keinginan keluarganya. Namun, Nietzsche mengakui bahwa dia tidak berhasil menguasai bahasa Hibrani. Bagi Nietzsche, tata bahasa Hibrani yang termasuk rumpun bahasa Semit ini dirasa terlalu sulit.

Di kota Pforta inilah Nietzsche mulai merasa kagum dengan karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Bersama dengan dua temannya, Wilhelm Pinder dan Gustav Krug, Nietzsche membentuk semacam kelompok sastra yang diberi nama Germania. Dalam kelompok ini mereka berlatih mendiskusikan karya-karya bermutu, baik berupa artikel-artikel maupun puisi-puisi. Dengan cara inilah Nietzsche mulai tertarik melatih mengungkapkan gagasan-gagasan dan emosinya melalui puisi.

Pada tahun-tahun terakhir di Pforta, Nietzsche sudah menunjukkan sikap jalangnya. Dalam tulisannya, Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman), ia mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami.

Bersamaan dengan itu ia juga mempertanyakan iman Kristennya dan bahkan secara perlahan-lahan mulai meragukan kebenaran seluruh agama.

Pada Oktober 1864, Nietzsche melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk memperdalam filologi dan teologi. Di bidang filologi, Nietzsche diajar oelh Friedrich Ritschl, yang pada tahun-tahun selanjutnya banyak membantu kemahiran Nietzsche dalam filologi. Tetapi pada tahun 1865, Nietzsche sudah memutuskan untuk tidak belajar teologi lagi.

Keputusan itu amat erat kaitannya dengan kepercayaan Nietzsche yang sudah mulai pudar sejak ia masih tinggal di Pforta. Sampai saat ini ia bersedia belajar teologi hanya karena cintanya pada ibu dan ayahnya, sebab dengan belajar teologi, ia dapat menjadi pendeta dan denga demikian dapat meneruskan profesi ayahnya. Keputusan ini mendapat perlawanan keras dari ibunya. Di antara mereka pernah terjadi diskusi melalui surat tentang hal itu. Dalam satu suratnya Nietzsche pernah menulis: 

Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan maka: percayalah, jika engkau ingin menjadi murid kebenaran: carilah…!

Sejak di Pforta, Nietzsche merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan hidup. Berkali-kali ia menyatakan mau mengadakan semacam pencarian dan pecobaan (versuch) dengan hidupnya. Sikap ini nanti akan mempengaruhi seluruh filsafatnya, khususnya metode filsafatnya. Ia melakukan percobaan ini secara radikal dengan melepaskan teologi. Ia memilih menjadi seorang freethinker. Ia ingin bebas, tidak hanya bebas melepaskan beban, tetapi juga bebas memilih beban yang lebih berat.

Di Bonn, Nietzsche hanya bertahan selama dua semester. Pada pertengahan 1865, ia pindah ke Leipzig untuk belajar filologi selama empat semester. Di sana ia akrab dengan dosennya, F. Ritschl, yang diakui oleh dosennya sebagai mahasiswa yang paling berbakat di antara semua mahasiswa yang pernah diajarnya.

Pengalaman membaca karya Schopenhauer adalah salah satu peristiwa terpenting dalam kehidupan intelektual Nietzsche. Dan ini juga terjadi di Leipzig pada akhir Oktober 1865. Saat itu ia sedang mengalami kegelisahan dan kegundahan yang amat mendalam. Ia sedang merasa amat pesimis akan hidupnya. Ketika mengunjugi sebuah toko buku-buku bekas, ia tertarik pada salah satu buku bekas karya Schopenhauer (1788-1860), yaitu Die Welt als Wille und Vors-tellung (The World as Will and Idea, Dunia sebagai kehendak dan Ide, 1819). Semula ia membeli buku ini “iseng” saja. Tetapi setelah membaca buku itu sampai habis, ia segera menyatakan diri pada temannya bahwa ia sudah menjadi pengikut Schopenhauer.

Pada tahun 1867-1868, terjadi perang antara Jerman melawan Prancis. Ketika itu Nietzsche didaftar sebagai anggota dinas militer. Meskipun amat tidak senang dengan tugas itu, akhirnya ia tetap melaksanakannya. Selama menjalani dinas militer Nietzsche mendapatkan banyak pengalaman yang tak terduga sebelumnya. Ia mengalami kecelakaan (jatuh dari kuda) dan terpaksa dirawat selama satu bulan di Naumburg. Ia juga menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis sebagaimana terjadi pada setiap perang. Seluruh pengalaman ini menimbulkan kegoncangan dalam dirinya. Ia mulai bertanya pada dirinya: melanjutkan studi filologi atau studi lain. kini ia merasa bahwa belajar filologi itu hambar dan mati. Ia ingin belajar sesuatu yang menarik untuk hidup.

Sekalipun di Pforta Nietzsche sudah mengenal karya-karya musikus Richard Wagner, baru pada 1868 ia benar-benar merasa “jatuh cinta” pada musikus Jerman ini. Pengalaman ini terjadi ketika ia menyaksikan pementasan musik Tristen dan Meistersinger.

Dua belas hari kemudian ia dapat berjumpa dengan Wagner secara pribadi untuk pertama kalinya. Perjumpaan itu membuatnya yakin bahwa ternyata kebebasan dan karya yang sangat jenius itu masih mungkin dicapai. Dalam musik Wagner, Nietzsche melihat ada semangat kebudayaan Yunani sebagaimana terlihat dalam karya-karya tragedi. Kebudayaan, katanya, dapat menjadi perwujudan kembali kebudayaan Yunani, asal diresapi dengan semangat Wagner. Ia juga tahu bahwa Wagner tahu Wagner adalah pengagum Schopenhauer. Sejak itu, Nietzsche , menggabungkan dua tokoh itu, Wagner dan Schopenhauer, menjadi agama barunya.

3)      Sebagai profesor di Basel

Pada tahun 1869, Nietzsche mendapat panggilan dari Universitas Basel, Swiss, untuk menjadi dosen di sana. Ia sendiri merasa heran karena belum bergelar doktor. Tetapi hal itu rupanya tidak menjadi masalah karena Ritschl, bekas dosennya di Leipzig, memberikan rekomendasi pada Universitas Basel. Bahkan di luar dugaan Nietzsche, sebulan setelah ada panggilan itu ia mendapatkan gelar doktor dari Leipzig tanpa ujian dan formalitas apa pun.

Di Basel ia mengajar selama sepuluh tahun, 1869-1879, dan berhenti karena kesehatannya memburuk. Mata kuliah yang diajarkannya  terutama filologi dan bahasa Yunani. Di samping dalam bentuk ceramah, ia juga memberikan kuliah dalam bentuk seminar. Selain di universitas Nietzsche juga mengajar di SMA. Selama di Basel Nietzsche mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu dengan Wagner. Bahkan kadang-kadang ia sempat tinggal serunah dengannya untuk beberapa hari. Kesempatan semacam itu sangat menguntungkan Nietzsche untuk mengenal Wagner secara lebih dekat, dan hal ini sangat penting untuk mengembangkan pemikirannya.

Masa karirnya sebagai Dosen di Basel juga diwarnai kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Berkali-kali ia harus cuti dan istirahat demi kesembuhan dirinya. Misalnya saja, pada tahun 1870, ia jatuh sakit karena serangan desentri dan difteri. Pada tahun 1870, ia hanya sempat mengajar selama satu bulan, dan sisa waktu lainnya dipakai untuk pergi ke berbagai daerah dan kota untuk menyembuhkan dirinya yang semakin lemah. Sakit mata dan kepala mulai parah sejak 1875. Serangan paling parah dan lama dideritanya pada tahun 1879 sehingga ia terpaksa berhenti bertugas sebagai dosen.

Sepanjang sakit dideritanya, Nietzsche sangat produktif dalam menulis. Pada periode tersebut dia menghasilkan banyak karangan yang kemudian hari tergolong karya-karya terbaiknya. Buku Die Geburt de Tragodie aus dem Geiste der Musik (The Birth of Tragedy Out of the Spirit of Music; Lahirnya Tragedi dari Semangat Musik) terbit pada tahun 1872, setahun setelah ia beristirahat dan mencari kesembuhan di Lugano, Naumburg dan Leipzig. Pada tahun berikutnya, buku tentang tragedy Yunani ini disusul dengan terbitnya Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely Meditations; Permenungan yang Terlalu Awal). [3]
Prestasi Nietzsche ini sangat mengagumkan, karena tahun 1879 merupakan tahun kelabu baginya: ia menderita sakit yang paling berat selama 118 hari. Keadaan ini memaksa Nietzsche mau tidak mau mengundurkan diri sebagai dosen.

4)      Masa-masa pengembaraan dan kesepian

Sejak meninggalkan Basel, Juni 1879, hidup Nietzsche lebih banyak diwarnai dengan kesuraman dan kesepian. Ia lebih banyak menyendiri dan selalu menghindar dari hal-hal yang menyangkut tanggung jawab sosial. Untuk itu ia hidup berpindah-pindah di beberapa kota di Italia dan Swiss. Dalam pengembaraannya, Nietzsche sering ditemani Elisabeth (saudarinya), Lou Salome, dan Paul Ree. Ia juga pernah merencanakan akan menikahi novelis cantik dan “paling menyenangkan serta paling cerdas yang dijumpai oleh Nietzsche”.

 Lou menerima lamaran Nietzsche asal dia juga diperbolehkan menikahi Paul Ree!. Usul ini diajukan oleh Lou karena ia tahu bahwa di antara mereka sebetulnya terjadi cinta segitiga. Mendengar rencana ini Elisabeth menjadi berang. Ia lalu melaporkan rencana yang ‘immoral’ ini kepada ibunya. Kemarahan ibu dan saudarinya, ditambah kesehatannya yang semakin buruk, mendorong Nietzsche untuk hidup sendirian sampai akhir hidupnya.

Sampai dengan tahun 1889 saat menderita sakit jiwa, Nietzsche tak dapat menghentikan kegiatannya untuk selalu merenung dan menulis. Pada tahun 1881, dia berhasil menerbitkan buku Die Morgenrote Gedanken uber die moralischen Vorurteile(Fajar, Gagasan-Gagasan tentang Praanggapan Moral). Dengan bukunya ini Nietzsche bermaksud mau “mengawali perang melawan moralitas”. Tahun berikutnya, 1882, ia menerbitkan salah satu bukunya yang indah dan paling penting, yaitu Die Frohlice Wissenschaft (la gaya scienza; ilmu yang mengasyikkan). Dalam buku inilah Nietzsche memproklamasikan bahwa “Tuhan telah mati” (Gott is tot). Pada tahun 1883-1885 Nietzsche mempersiapkan karya besarnya, yaitu Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra). Buku yang seluruhnya ditulis secara puitis ini terbit pada akhir 1885.

Tahun 1889 adalah tahun paling menyedihkan Nietzsche. Ia ditimpa sakit jiwa. Oleh Franz Overbeck, sahabat karibnya, ia dibawa ke rumah ke klinik Universitas Basel. Seminggu kemudian, ia dipindahkan ke klinik Universitas Jena. Hampir semua usaha penyembuhan sia-sia saja. Nietzsche tak pernah dapat sembuh sama sekali. Sejak 1890 ia dipindahkan oleh ibunya ke Naumburg dan dirawat sendiri di sana. Tiga tahun kemudian, Elisabeth datang dari Paraguay karena suaminya, Forster, bunuh diri pada tahun 1889. Bersama ibunya, Elisabeth merawat Nietzsche yang semakin lemah. Keluarga ini semakin malang ketika pada tanggal 20 April 1897 sang ibu meninggal. Pada tahun itu juga Elisabeth memindahkan Nietzsche ke Weimar. Dan di sana Nietzsche meninggal pada tanggal 25 Agustus 1900.

Saat-saat terakhir hidup Nietzsche sungguh tragis. Selama dua tahun terakhir masa hidupnya, ia sudah tidak dapat mengetahui apa-apa dan tidak dapat lagi berpikir. Nahkan ia tidak tahu kalau ibunya sudah meninggal dan juga tidak tahu bahwa ia mulai menjadi termasyhur.

C.     Pokok Pemikiran Nietzsche

1)      Kehendak untuk berkuasa

Menurut pendapat Nietzsche, dalam tingkah laku manusia (dan sebenarnya juga dalam semua kejadian alam semesta) satu-satu faktor yang menentukan daya pendorong hidup atau hawa nafsu. Daya di sini tidak boleh dimengerti dalam arti monistis, tetapi harus dimengerti dalam arti pluralistis: tidak ada satu, tetapi ada banyak daya pendorong untuk hidup. Yang rohani pun mewujudkan daya pendorong hidup itu. pengenalan kita misalnya merupakan alat bagi “kehendak berkuasa”.

 Dengan pengenalan kita menguasai benda-benda alamiah. Tetapi sering terjadi bahwa daya pendorong hidup menampakan diri sebagai roh, karena orang merasa terlalu lemah untuk melampiaskan nafsunya. Sehubungan dengan itu, Nietzsche membedakan “moral tuan” dan “moral budak”. Manusia hidup menurut moral tuan memberanikan diri untuk mewujudkan hawa nafsunya. Ia tidak mencari dalih dalam roh atau tidak memakai sebagai topeng.  Sebaliknya, manusia yang hidup menurut moral budak, tidak memberanikan diri untuk melampiaskan hawa nafsunya, tetapi menyuruh roh untuk menaklukkan hawa nafsu.[4]

2)      Ubermensch

Bagi Nietzsche, kebutuhan orang yang paling mendesak adalah soal pemaknaan. Dia melihat, bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampai saat itu telah runtuh. Runtuhnya nilai-nilai ini disebabkan oleh jaminannya yang dianggap seolah-olah ada. Karena itulah Nietzsche, melalui tokoh Zarathustra, mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang. Nilai ini tidak lai adalah Ubermensch. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia. Dengan cara penilaian ini, Nietzsche tidak lagi menaruh kepercayaan kepada setiap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia.

Nietszche menilai bahwa pesimisme terhadap hidup disebabkan oleh kerisauan akan dorongan-dorongan hidup. Dan kerisauan ini muncul sebagai akibat ketidakberdayaan untuk mengatur dan menguasai dorongan-dorongan hidup yang pada hakikatnya adalah hidup itu sendiri. Bagi Nietzsche, satu-satunya penghargaan akan hidup adalah dengan berkata “ya” pada hidup itu. Sikap manusia yang dapat mengafirmasi hidupnya dapat diibaratkan seperti laut. Tanpa harus menjadi murni, laut bersedia menampung berbagai aliran sungai yang penuh dengan polusi. Sebelum orang dapat menagafirmasi segala dorongan hidupnya, tak mungkin Ubermensch tercipta.

Menurut Nietsche, penolakan hidup tidak hanya karena orang berhadapan dengan penderitaan yang menakutkan. Penolakan juga dapat terjadi karena orang merasakan mempunyai kekuatan yang sangat dahysat. Orang tidak berani mengakui bahwa dirinya adalah penyebab pengalaman ini. Kemudian, dia menggantikan penyebab yang sebenarnya dengan pribadi palsu yang dianggapnya jauh lebih kuat, yaitu yang Ilahi. Orang yang memaknai dunia lewat Ubermensnch tidak gentar menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang dahysat. Dia tidak merasa asing dengan dorongan-dorongan semacam ini. Dengan nilai Ubermensch, orang menjadi kerasan tinggal di dunia.

Dari uraian di atas, dapat diringkaskan bahwa bagi Nietzsche, Ubermensch adalah semacam pengganti Tuhan yang sudah dibunuhnya. Ubermensch adalah tujuan manusia di dunia ini yang diciptakan oleh manusia itu sendiri untuk menggantikan setiap tujuan yang ditentukan dari luar. Melalui Ubermensch, orang tak perlu lagi memberi makna pada dunia dan hidup dengan berpaling kepada suatu yang ada di seberang dunia. Ubermensch pada dasarnya adalah ajakan untuk mengafirmasikan hidup tanpa membiarkan sedikit sisa pun untuk ditolak. Afirmasi hidup ini secara konkret terwujud dalam pengakuan akan segala macam dorongan—baik yang menakutkan maupun yang mempesonakan—yang oleh orang-orang dekaden dipersonifikasikan sebagai Tuhan.[5]

3)      Tuhan telah mati (Goot is tot)

Nietzsche termasuk filsuf ateis yang paling ekstrim dalam jaman modern. Bagi Nietzsche, peristiwa paling menonjol dalam masyarakat Barat pada jaman modern adalah bahwa ‘Tuhan telah mati’. Dengan semboyan ini dimaksudkan bahwa kepercayaan Kristiani akan Tuhan di Eropa Barat pada waktu itu sudah layu dan hampir tidak punya peranan real lagi. Nietzsche sendiri seakan-akan menjadi nabi yang memproklamirkan suatu jaman baru, suatu jaman yang secara konsekuen ateistis. Dengan tajam ia menyerang agama Kristen, karena kepercayaan Kristiani akan Tuhan menampakkan kelemahan, kepengecutan, dan penolakan untuk mengiyakan kehidupan duniawi. Agama Kristen membuat manusia menjadi lemah, takluk, rendah hati, bersikap nrimo, dan sebagainya. Agama ini mengakibatkan manusia bergumul dengan hati nuraninya dan merintangi dia untuk mengembangkan hidupnya secara bebas.

Dalam konteks ini, ‘Tuhan sudah mati’ tidak boleh ditanggapi secara harfiah, bahwa ‘Tuhan secara fisik sudah mati’; atau sebaliknya, inilah cara Nietzsche mengatakan gagasan tentang Tuhan tak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apa pun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya.

Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan keyakinan kosmis atau tatanan fisik, tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri—kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hokum moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu. Cara ini membawa kepada nihilism, dan inilah yang diusahakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berrati mencari dasar-dasar yang yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.

Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya.  Pengakuan bahwa ‘Tuhan telah mati’ adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif—suatu kebebasan mutlak untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Orang-orang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu utahap baru yang baru dalam keberadaan manusia, sang Ubermensch. ‘Tuhan telah mati’ adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, ‘evaluasi terhadap semua nilai’.[6]




[1] St. Sunardi, Nietzsche, hal. Vi, Lkis, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
[2] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal. 4, Galang Press, cetakan pertama, Yogyakarta 2004
[3] St. Sunardi, Nietzsche, hal. 11-13, Lkis, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
[4] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hal.87, Kanisius, cetakan ke 15 (revisi), Yogyakarta 1998
[5] St. Sunardi, Nietzsche, hal. 143-147, Lkis, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
[6] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, hal 171-173, Ar-Ruzz Media, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011  

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...