Sabtu, 17 Agustus 2013

Tombo Ati


Oleh: K.H Abdurrahman Wahid

Sebagaimana diketahui, “Tombo Ati” adalah nama sebuah sajak berbahasa Arab ciptaan Sayyiduna Ali, yang oleh K.H Bisri Mustofa dari Rembang (Ayah K.H.A. Mustopha Bisri) diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan judul tersebut. Dalam sajak itu, disebutkan 5 hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kelima hal itu adalah dianggap sebagai obat (tombo) bagi seorang Muslim. Dengan melaksanakan secara teratur kelima hal yang disebutkan dalam sajak tersebut, dijanjikan orang itu akan menjadi “Muslim” yang baik. Dianggap demikian karena ia melaksanakan ajaran agama secara tuntas. Sajak ini sangat popular di kalangan para santri di Pulau Jawa, terutama di lingkungan pesantren.
Karenanya sangatlah penting untuk mengamati, adakah itu tetap digemari oleh kaum Muslimin Sunni tradisional? Kalau ia tetap dilestarikan, maka itu menunjukkan kemampuan kaum Muslimin Sunni tradisional menjaga budaya kesantrian mereka di alam serba modern ini. Jadi kemampuan sebuah kelompok melestarikan sebuah sajak bukanlah “peristiwa lumrah”. Peristiwa itu justru menyentuh sebuah pergulatan dashyat yang menyangkut budaya kelompok Sunni tradisional melawan proses modernisasi, yang dalam hal ini berbentuk westernisasi (pembaratan).  Bahwa sajak itu, dalam bentuk sangat tradisional dan memiliki isi kongkret lokal (Jawa), justru membuat pertarungan budaya itu lebih menarik untuk dinikmati.
Sebuah proses maha besar yang meliputi jutaan jiwa warga masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali tidak terduga. Terlihat dalam sajak tersebut yang berisi “perintah agama” untuk berdzikir tengah malam, mengerti dan memahami isi kandungan kitab suci Al-Quran, bergaul erat dengan para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, adalah hal-hal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola hidup ideal bagi seorang Muslim, yang menempa dirinya menjadi orang yang baik dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh kaum Muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum Muslimin akan memperoleh “kebaikan”tertentu dalam hidup mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi datang menantangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...