Sabtu, 17 Agustus 2013

Beberapa Catatan dari Israel (Luthfi Assyaukanie)



Wednesday, December 10, 2008 at 4:10am

Saya baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.
Ketika transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul. Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.
Saya masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya “more jewish than me.” Dalam jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.
Tentu saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab: hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab: kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.
Kecerdasan itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian peraih nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.
Yang membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.
Kebijakan resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa Arab.
Bahwa Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas, kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru angin oleh musuh-musuhnya.
Saya sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah 60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.
Bangsa Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang berdaulat, tapi karena mereka betul-betul bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah. Setiap melihat keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:

Engkau ciptakan gulita

Aku ciptakan pelita

Engkau ciptakan tanah

Aku ciptakan gerabah



Dalam Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama Israel (Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan) disematkan kepada Jacob. Di Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.
Orang-orang Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.
Melihat indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948 adalah bahwa mereka tak bisa menerima “two state solution,” meski itu adalah satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orang-orang Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain, mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab, Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel, orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.
Sekarang saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah. Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan yang membentuknya seperti sekarang ini. Tapi, jangan bayangkan ia seperti Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.
Sebelum menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik. Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.
Oleh Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua menjadi bagian dari Israel. “Dulu,” katanya, “ada tembok tinggi yang membelah Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun, setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.
Saya protes kepada Guide itu, “Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel membiarkan diskriminasi itu?” Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: “What went wrong?”
Ada banyak pertanyaan “what went wrong” setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter): Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.
Jika pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya hasrat menipu.
Namun, di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif). Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.
Tapi begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.
Saya ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup, cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.
Tapi para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif. Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh. Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini begitu sepi dari pengunjung.
Tentu saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.
Saya tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak masuk akal.

Tombo Ati


Oleh: K.H Abdurrahman Wahid

Sebagaimana diketahui, “Tombo Ati” adalah nama sebuah sajak berbahasa Arab ciptaan Sayyiduna Ali, yang oleh K.H Bisri Mustofa dari Rembang (Ayah K.H.A. Mustopha Bisri) diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan judul tersebut. Dalam sajak itu, disebutkan 5 hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kelima hal itu adalah dianggap sebagai obat (tombo) bagi seorang Muslim. Dengan melaksanakan secara teratur kelima hal yang disebutkan dalam sajak tersebut, dijanjikan orang itu akan menjadi “Muslim” yang baik. Dianggap demikian karena ia melaksanakan ajaran agama secara tuntas. Sajak ini sangat popular di kalangan para santri di Pulau Jawa, terutama di lingkungan pesantren.
Karenanya sangatlah penting untuk mengamati, adakah itu tetap digemari oleh kaum Muslimin Sunni tradisional? Kalau ia tetap dilestarikan, maka itu menunjukkan kemampuan kaum Muslimin Sunni tradisional menjaga budaya kesantrian mereka di alam serba modern ini. Jadi kemampuan sebuah kelompok melestarikan sebuah sajak bukanlah “peristiwa lumrah”. Peristiwa itu justru menyentuh sebuah pergulatan dashyat yang menyangkut budaya kelompok Sunni tradisional melawan proses modernisasi, yang dalam hal ini berbentuk westernisasi (pembaratan).  Bahwa sajak itu, dalam bentuk sangat tradisional dan memiliki isi kongkret lokal (Jawa), justru membuat pertarungan budaya itu lebih menarik untuk dinikmati.
Sebuah proses maha besar yang meliputi jutaan jiwa warga masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali tidak terduga. Terlihat dalam sajak tersebut yang berisi “perintah agama” untuk berdzikir tengah malam, mengerti dan memahami isi kandungan kitab suci Al-Quran, bergaul erat dengan para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, adalah hal-hal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola hidup ideal bagi seorang Muslim, yang menempa dirinya menjadi orang yang baik dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh kaum Muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum Muslimin akan memperoleh “kebaikan”tertentu dalam hidup mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi datang menantangnya.

Sabtu, 10 Agustus 2013

TALIBAN



September 1996

Dua setengah tahun kemudian, Mariam terbangun pada pagi hari 27 September karena sorak sorai dan lengkingan peluit, ledakan petasan dan alunan musik. Dia bergegas memasuki ruangan tamu, mendapati Laila telah berada di dekat jendela, dengan Aziza yang duduk di bahunya. Laila berpaling dan tersenyum. “Taliban sudah Datang”, katanya.

Mullah Omar
Mariam pertama kali mendengar Taliban dua tahu sebelumnya pada Oktober 1994, ketika Rasheed menyampaikan kabar bahwa mereka telah menanklukan para panglima perang di Kandahar dan menduduki kota itu. Taliban adalah pasukan gerilyawan, kata Rasheed, beranggotakan para pemuda Pasthun yang berasal dari keluarga-keluarga yang melarikan diri ke Pakistan selama perang melawan Sovyet. Sebagian besar mereka dibesarkan sebagian lagi bahkan dilahirkan di kamp-kamp pengungsian di sepanjang perbatasan Pakistan. Dan di madrasah-madrasah Pakistan, mereka diajar oleh mullah-mullah penganut Syariah. Pemimpin mereka adalah seorang pria misterius bermata satu yang buta huruf dan bersifat tertutup bernama Mullah Omar, yang kata Rasheed dengan senang menyebut dirinya sendiri Amirul-Mukminin. Pemimpin kaum Beriman.
“Memang benar, para pemuda itu tidak mempunyai risha, tak punya akar” , kata Rasheed, tanpa memandang Mariam maupun Laila. Sejak upaya pelarian mereka yang gagal dua setengah tahun yang lalu, Mariam tahu bahwa dirinya dan Laila telah menjadi makhluk yang sama di mata Rasheed, sama-sama bejad, sama-sama layak mendapatkan kecurigaan, cecaran dan hinaan. Setiap kali Rasheed bicara, Mariam mendapatkan kesan bahwa dia sedang bercakap-cakap dengan dirinya sendiri, atau dengan seseorang yang tidak terlihat di dalam ruangan, yang tidak seperti Mariam dan Laila, layak mendengarkan pendapatnya.

“Mereka mungkin saja tak punya masa lalu,” katanya, menghembuskan asap rokok dan menatap langit-langit. “Mereka mungkin saja tak tahu apa-apa soal dunia atau pun sejarah negeri ini. Ya. Dan, dibandingkan dengan mereka Mariam ini mungkin bisa disamakan dengan dosen di Perguruan Tinggi. Ha! Yang benar saja. Tapi lihat saja di sekelilingmu. Apa yang kau lihat? Komandan para Mujahidin yang korup dan serakah, raja senjata, juragan heroin, menyatakan jihad melawan sesamanya dan membantai semua orang yang ada dia antara mereka. Itulah. Setidaknya, Taliban ini murni dan tidak korup, setidaknya, mereka beranggotakan para pemuda Muslim yang taat. Walah, saat mereka datang, mereka akan menyapu bersih tempat ini. Mereka akan menghadirkan kedamaian dan menegakkan aturan. Orang-orang tidak akan ditembaki lagi hanya karena keluar untuk membeli susu. Tidak akan ada roket lagi! Pikirkan saja.”
Sejak dua tahun terakhir, Taliban berjuang melancarkan jalan mereka menuju Kabul, merebut berbagai kota dari cengkrama Mujahidin, mengakhiri setiap perang antar faksi. Mereka berhasil menangkap komandan Hazara, Abdul Ali Mazari dan mengeksekusinya. Selama berbulan-bulan, mereka menduduki daerah pinggiran sebelah selatan kota Kabul, menembaki kota, saling melempari roket dengan pasukan Ahmad Shah Massoud. Pada awal Sebterber 1996, mereka telah berhasil menduduki Jalalabad dan Sarobi. Taliban memiliki satu hal yang tidak dimiliki Mujahiddin, kata Rasheed. Persatuan. “Biarkan saja mereka datang”. Kata Rasheed. “Aku sendiri yang akan menghujani mereka dengan bunga mawar.”

š
Mereka pergi pada suatu hari, berempat. Rasheed memimpin mereka berganti bus, untuk menyapa dunia baru mereka, para pemimpin baru mereka. Disetiap lingkunganyang luluh lantak, Mariam melihat orang-orang bermunculan dari dalam reruntuhan dan bergerak ke jalanan. Dia melihat seorang wanita tua membuang-buang segenggam beras, melemparkan butir-butirnya pada pejalan kaki yang melewatinya. Menyunggingkan senyuman tanpa gigi di wajah keriputnya. Dua orang pria saling memeluk di tengah puing-puing bangunan, sementara petasan-petasan yang disulut oleh para pemuda di atas atap melesat, mendesis dan meledak di langit. Lagu kebangsaan membahana di mana-mana. Bersaing dengan klakson mobil.
“Lihat, Maryam!” Aziza menunjuk sekelompok anak laki-laki yang berlari sepanjang Jadeh Maywand. mereka mengacung-acungkan kepalan ke udara dan menyeret kaleng-kaleng berkarat yang diikat dengan senar. Mereka bersorak-sorai meneriakkan usiran bagi Massoud dan Rabbani.
Dimana-mana, orang-orang berseru: “Allahu Akbar!”
Mariam melihat sehelai seprai digantungkan di sebuah jendela di Jadeh Maywand. Di atasnya, seseorang menuliskan tiga kata dalam huruf-huruf hitam dan besar: ZENDA BAAD TALIBAN! Panjang Umur Taliban!
Ketika menyusuri jalan, Mariam melihat lebih banyak tanda. Ditulis di jendela, dipaku ke pintu, diikat di antenna mobil, memproklamasikan hal yang sama.
š

Siang itu, di Alun-Alun Pasthunistan bersama Rasheed, Laila, dan Aziza, untuk pertama kalinya, Mariam melihat Taliban. Banyak orang berkerumun disana. Mariam melihat orang-orang menjulurkan leher, orang-orang berkeliling di sekeliling air mancur biru yang terdapat di tengah alun-alun, orang-orang  menginjak-injak hamparan bunga kering. Mereka berusaha melihat sebaik mungkin ke ujung Alun-Alun, ke dekat bangunan tua Restoran Khyber.
Rasheed memanfaatkan ukuran tubuhnya untuk mendorong dan menjejalkan diri di antara para penonton, membawa Mariam dan Laila ke dekat pria yang berbicara dengan pengeras suara. Ketika melihat pria itu, Aziza langsung memekik dan membenamkan wajahnya ke burqa Maryam.
Suara yang membahana itu berasal dari pria muda ramping dan berjanggut yang menggunaan sorban hitam. Dia berdiri di atas semacam panggung darurat. Satu tangannya memegang pengeras suara, dan tangan yang lain menggenggam pelontar roket. Di sebelahnya, dua orang pria dengan tubuh bersimbah darah menggantung pada tali yang diikatkan ke tiang lampu lalu lintas. Pakaian mereka telah terkoyak-koyak. Wajah mereka mengembung dan berwarna biru keunguan.
“Aku tahu orang itu!” kata Maryam, “yang sebelah kiri” dan mengatakan bahwa pria itu adalah Najibullah. Pria yang lain adalah saudaranya. Maryam teringat pada wajah Najibullah yang bulat dan berkumis tebal, tersenyum lebar di baliho-baliho etalase-etalase toko selama pendudukan Sovyet.
Nantinya, Mariam mendengar bahwa Taliban menyeret Najibullah dari tempat persembunyiannya di Markas PBB di dekat Istana Darulaman. Setelah itu mereka menyiksanya selama berjam-jam, lalu mengikatkan kakinya ke sebuah truck dan menyeret tubuhnya yang tak lagi bernyawa di jalanan.
“Dia telah membunuh begitu banyak umat Muslim!” Talib muda itu berteriak dengan pengeras suara. Dia berbicara dengan bahasa Farsi berlogat Pashto dan sesekali menyelipkan kalimat-kalimat dalam bahasa Pashto. Dia menekankan kata-katanya dengan menunjuk-nunjuk ke dua mayat itu dengan senjatanya. “Semua orang tahu tentang kejahatannya. Dia adalah seorang komunis dan seorang kafir. Inilah yang harus kita lakukan pada orang-orang yang membangkang terhadap Islam!”
Rasheed tersenyum lebar.
Dalam pelukan Mariam, tangis Aziza mulai pecah.

š

Keesokan harinya, Kabul dibanjiri oleh truck. Di Khair khana, Shar-e-Nau, Karteh-Parwan, Wazir Akbar Khan, dan Taimani, truck-truck Toyota merah menyusuri jalanan. Para pria berjenggot den berserban hitam duduk di atas bangku-bangkunya. Dari setiap truck, sebuah pengeras suara meneriakkan pengumuman, pertama dalam bahasa Farsi dalu diulang dalam bahasa Pastho. Pesan yang sama diumumkan melalui pengeras suara yang ada di masjid-masjid juga di radio-radio, yang sekarang dikenal dengan VOICE OF SHARI’A. Pesan itu juga dicetak di atas selebaran yang ditempatkan di jalanan. Mariam menemukan salah satunya di halaman.
WATAN KITA SEKARANG BERNAMA EMIRAT ISLAM AFGHANISTAN. BERIKUT ADALAH UNDANG-UNDANG YANG KAMI SAHKAN DAN HARUS DIPATUHI SEMUA ORANG:
-SEMUA PENDUDUK DIWAJIBKAN MENUNAIKAN SHALAT LIMA WAKTU. MEREKA YANG TERTANGKAP SEDANG MELAKUKAN HAL LAIN KETIKA TIBA WAKTU SHALAT AKAN DICAMBUK
-SEMUA PRIA DIWAJIBKAN MEMELIHARA JANGGUT. PANJANG DAN TEPAT SETIDAKNYA SATU KEPALAN DIBAWAH DAGU. MEREKA YANG MEMBANGKANG DARI ATURAN INI AKAN DICAMBUK
-SEMUA ANAK LAKI-LAKI DIWAJIBKAN MENGGUNAKAN SERBAN. ANAK LAKI-LAKI DARI KELAS SATU HINGGA KELAS ENAM DIWAJIBKAN MENGGUNAKAN SERBAN HITAM.DAN ANAK LAKI-LAKI DARI KELAS YANG LEBIH TINGGI DIWAJIBKAN MENGGUNAKAN SERBAN PUTIH. SEMUA ANAK LAKI-LAKI DIWAJIBKAN MENGGUNAKAN PAKAIAN  ISLAMI. KERAH BAJU HARUS DIKANCINGKAN.
-DILARANG MENYANYI
-DILARANG MENARI
-DILARANG BERMAIN KARTU, BERMAIN CATUR DAN MENERBANGKAN LAYANG-LAYANG
-DILARANG MENULIS BUKU, MENONTON FILM DAN MELUKIS
-MEREKA YANG MEMELIHARA BURUNG PARKIT AKAN DICAMBUK. BURUNG PELIHARAAN HARUS DIBUNUH
-MEREKA YANG MENCURI AKAN DIHUKUM POTONG TANGAN. JIKA KEJAHATAN INI TERULANG KEMBALI PELAKUNYA AKAN DIHUKUM POTONG KAKI
-MEREKA YANG BUKAN MUSLIM DILARANG BERIBADAH DI DEPAN UMAT MUSLIM. MEREKA YANG MEMBANGKANG AKAN CICAMBUK DAN DIPENJARA. MEREKA YANG TERTANGKAP SEDANG BERUSAHA MENGGANGGU KEIMANAN SEORANG MUSLIM AKAN DIHUKUM MATI

KHUSUS BAGI WANITA:
-SEMUA WANITA DIWAJIBKAN TINGGAL DI DALAM RUMAH SEPANJANG WAKTU. WANITA TIDAK PANTAS BERKELIARAN TANPA TUJUAN DI JALANAN. SETIAP WANITA YANG PERGI KELUAR RUMAH HARUS DITEMANI OLEH SEORANG MUHRIM LAKI-LAKI. MEREKA YANG TERTANGKAP SENDIRIAN DI JALAN AKAN DICAMBUK DAN DIPULANGKAN
-SEMUA WANITA DALAM SITUASI APAPUN DILARANG MENUNJUKKAN WAJAH. SEMUA WANITA DIWAJIBKAN MENGENAKAN BURQA KETIKA BERADA DI LUAR RUMAH. MEREKA YANG TIDAK MENGENAKAN BURQA AKAN DIHUKUM CAMBUK
-DILARANG MENGENAKAN ALAT RIAS
-DILARANG MENGENAKAN PERHIASAN
-DILARANG MENGENAKAN PAKAIAN YANG INDAH
-DILARANG BERBICARA KECUALI ADA YANG MENGAJAK BERBICARA
-DILARANG MELALKUKAN KONTAK MATA DENGAN PRIA
-DILARANG TERTAWA DI DEPAN UMUM. MEREKA YANG MEMBANGKANG AKAN DICAMBUK
-DILARANG MENGECAT KUKU. MEREKA YANG MEMBANGKANG AKAN DIHUKUM POTONG JARI
-ANAK-ANAK PEREMPUAN DILARANG BERSEKOLAH. SEMUA SEKOLAH KHUSUS PEREMPUAN AKAN SEGERA DITUTUP
-SEMUA WANITA DILARANG BEKERJA
-MEREKA YANG DIDAPATI BERSALAH KARENA ZINA AKAN DIRAZAM HINGGA TEWAS
-DENGARLAH! DENGARLAH DENGAN BAIK. PATUHILAH. ALLAHU AKBAR !

Rasheed memastikan radio. Mereka sedang duduk di lantai ruang tamu, menyantap makan malam. Kurang dari seminggu setelah melihat mayat Najibullah di tali gantungan.
“Mereka tak bisa menyuruh setengah penduduk Afghanistan diam di rumah tanpa melakukan apa-apa,” kata Laila.
“Kenapa tidak?” tukas Rasheed. Maryam langsung menyetujuinya, lagipula dilihat dari segi efek, bukankah Rasheed juga melakukan hal yang sama kepadanya dan Laila? Tentunya Laila tahu akan hal itu.
“Tempat ini bukan kampung. Ini adalah Kabul. Wanita disini menjadi pengacara dan dokter, mereka memiliki posisi di pemerintahan.”
Taliban
Rasheed menyeringai, “Bicaramu seperti anak perempuan arogan pembaca puisi lulusan universitas. Ah, memang benar begitu bukan? Sangat urban, sangat tajik, kau ini. Kau pikir gagasan yang diusung Taliban in baru dan radikal? Apakah kau hidup diluar cangkang kecil berharka di Kabul? Apa kau pernah mengunjungi Afghanistan yang sebenarnya? Di selatan, di timur di sepanjang perbatasan suku dengan Pakistan? Tidak? Aku pernah. Dan aku bisa memberitahumu bahwa ada banyak tempat di negara ini yang selalu menjalani kehidupan dengan cara itu atau setidaknya mirip begitu. Tapi tentu saja kau tak tahu!”
“Aku tak bias mempercayainya,” kata Laila, “Tentunya mereka tidak serius”.
“Yang dilakukan Taliban terhadap Najibullah tampak serius di mataku,” kata Rasheed “Apa kau tak setuju?”
“Tapi dia komunis! Dia Kepala Polisi Rahasia”
Rasheed tergelak.
Mariam mendengar jawaban dalam tawa Rasheed bahwa di mata Taliban menjadi komunis dan pemimpin KHAD yang ditakuti membuat Najibullah hanya sedikit lebih hina dari wanita…

-  Mariam dan Laila adalah kedua istri Rasheed
Sumber: A THOUSAND SPLENDID SUNS, Khaled Hosseini.








Senin, 05 Agustus 2013

Gamal Al Banna (1920-2013)


Gamal Al Banna (adik Hasan Al Banna, pendiri Ihkwanul Muslimin) adalah aktivis muslim, anggota Ikhwanul Muslimin. Kita menyebutnya fundamentalis dan anti-Barat. Ia berjuang menegakkan “negara tauhid”, negara yang berdasarkan “La ilaha illallah”. Perjalanan hidupnya, riwayat perjuangannya dan kisah-kisah kegagalannya mengantarkan kepada sebuah refleksi yang mendalam. Ia “mengunjungi kembali” pemikiran Islamnya. Dibali terali penjara, dalam ancaman penguasa (Muslim) yang tidak berperikemanusiaan, di tengah hiruk-pikuk Kairo yang menyesakkan, ia menemukan epifani. Ia melihat dunia dengan cara yang baru. Begini hasil permenungannya:
Gamal Al Banna
“Di negara-negara yang tidak memeluk Islam, masyarakatnya bekerja dengan gigih dan ikhlas. Mereka memiliki kejujuran dalam berkata, profesionalisme, menepati janji, dan akhlak-akhlak baik lainnya. Mereka juga menganggap kebohongan pejabat dalam memberikan keterangan atas satu perkara di depan pengadilan atau institusi negara merupakan kejahatan besar yang tak terampuni kecuali dengan pemecatan. Contohnya adalah kasus yang menimpa Nixon yang menuduh lawan politiknya melakukan tindakan mata-mata. Begitu juga dengan Clinton yang memiliki “hubungan khusus” dgn salah satu pegawai Gedung Putih. Mereka menerima celaan, cacian dan denda yang tidak sedikit. Sedangkan sebagian besar pemimpin di negara-negara Muslim selalu melakukan kebohongan publik dan penyelewengan. Kerja mereka hanya menindas dan mengekang. Atas dasar alasan ini, maka masyarakat Eropa bisa jadi lebih dekat dengan Allah dan idealisme Islam dibanding banyak masyarakat yang mengaku sebagai pemeluk Islam.
Saya ingat masa ketika saya berada di tahanan Tursina bersama orang-orang Ikhwanul Muslimin di tahun 1948. Ketika itu tempat tahanan berada di tengah padang pasir yang di malam hari terang dengan berbagai cahaya lampu yang dipasang untuk memudahkan penjagaan. Pemasangan lampu itu dilakukan oleh tahanan yang memiliki keahlian kelistrikan. Mereka juga menggunakan listrik untuk memanaskan air, mandi dan memasak. Saya berkata pada mereka bahwa Thomas Alfa Edison akan masuk surga karena menemukan lampu yang kemudian digunakan manusia sebagai alat penerang. Mendengar ucapan saya mereka menolak keras, “Tidak! Karena dia tidak beriman kepada Allah dan Rasulnya”. Mereka menganggap bahwa Islam sudah di kenal di Amerika dan Rasulullah telah mengajak Edison kepada Islam. Oleh karena itu mereka menolak pendapat saya.
Sudah saatnya bagi para dai Islam untuk mengetahui bahwa mereka tidak dituntut untuk meng-Islamkan orang-orang yang beragama selain Islam. Mereka tidak berhak mengklaim bahwa orang-orang selain Islam masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan ditangan mereka. al-Ta’addudiyyah fi al Mujtama’ al-Islami
. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Taufik Damas Lc, Penerbit Menara,Bekasi, 2006>
Gamal al Banna berubah dari seorang ekslusif menjadi seorang inklusif pluralis. Secara sederhana, umat beragama ekslusif berpendapat hanya umatnya saja yang akan selamat dan masuk surga. Di luar lingkungan agama kita, semuanya masuk neraka. Dalam bahasa Gamal Al Banna, seorang ekslusivis merasa “menguasai gudang-gudang rahmat Tuhan”. Rakhmat Tuhan meliputi seluruh alam semesta, langit dan bumi. Untuk kaum ekslusif: “yang masuk surga hanya orang Islam. Tetapi umat Islam akan pecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang masuk surga, yang lainnya neraka. Dari satu golongan pun tidak semuanya masuk surga, hanya pengikut Ustadz Fulan saja lah yang akan masuk surga. Maka Rahkmat Allah yang meliputi langit dan bumi hanya diselipkan di sebuah mesjid yang sempit...  

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...