Minggu, 08 Februari 2015

Toleransi dan Intoleransi dalam Tradisi Islam (Perspektif Mohammad Arkoun)

“Toleransi tidak akan terwujud di dunia Islam
kecuali setelah mendekonstruksi ortodoksi”
~Mohammed Arkoun~


Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun (1 Februari 1928 – 14 September 2010) adalah pemikir Islam kelahiran Aljazair yang sangat berpengaruh dalam studi kritis Islam dan dialog lintas agama. Dia adalah guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne.  Banyak karya tulisannya yang mencerahkan, mengilhami juga memberikan sumbangan pemikiran dalam hal studi Islam. Dari banyak karya nya, wacana toleransi adalah hal yang sangat menyita perhatian Arkoun. Dalam hal ini, sehubungan dengan meningkatnya aksi-aksi terorisme dengan mengatas namakan Islam.  Dalam menyikapi stigma buruk terhadap Islam yang diakibatkan oleh terorisme, kaum Muslimin pada umumnya berapologi, secara normatif dengan didukung kutipan ayat dan hadis bahwa Islam sejatinya adalah agama toleransi. Menurut pandangan dogmatis arus utama, justru orang-orang  Yahudi dan Nasrani lah yang fanatik dan intoleran. Ini adalah pandangan yang subyektif bahwa agama mereka lah yang toleran, sementara pemeluk agama lain lah yang intoleran. Meskipun mengaku toleran, kaum Muslimin tersebut malah memilih diam seribu bahasa ketika kebebasan berpendapat dan kebebasan berkeyakinan di pegang oleh lembaga-lembaga pemegang otoritas resmi agama oleh kelompok-kelompok radikal.  Lembaga pemegang otoritas dan kelompok radikal sering sepakat bahwa pemikiran yang menyeleweng ataupun kelompok minoritas yang diklaim sesat boleh didiskriminasikan demi menjaga kesakralan agama dan kemurnian aqidah kaum mayoritas.
Pandangan dogmatis arus utama tersebut mendapat kritik tajam dari Mohammed Arkoun karena dinilai tidak obyektif. Arkoun berusaha jujur, bahwa dalam tradisi Islam terdapat elemen-elemen yang ekslusif-intoleran sekaligus inklusif- toleran.  Di dalam masa modern pun, toleransi masih merupakan isu langka di masyarakat Arab yang hingga kini masih dihegemoni oleh teologi abad pertengahan.  Itulah yang mengakibatkan begitu banyak komunitas Yahudi, Katolik, Protestan, Ortodoks Yunani, Ortodoks Armenia juga Ortodoks Spanyol memilih meninggalkan Maroko, Algeria, Tunisia, Mesir, dan Iran menuju negara-negara Barat. Begitulah realitas dunia Islam, tak terkecuali di Indonesia, dimana para pemeluk Islam masih terkungkung oleh fanatisme dan ortodoksi sehingga wacana pluralisme dan inklusivisme masih dimusuhi bahkan tak jarang diintimidasi dengan cara kekerasan.


Apakah Islam Agama Toleran?
            Setelah mencermati fakta-fakta intoleran tersebut, Arkoun enggan menggunakan istilah tolerance (al-tasāmuh)  pada Islam. Arkoun tidak mau terjebak dalam slogan Islam agama yang toleran (al- Islām dīn samhah). Atau semboyan yang sering digembar-gemborkan di media massa atau mesjid-mesjid, “Tidak ada paksaan dalam agama” (la ikrāha fī al-dīn).  Justifikasi dari para pengkhutbah ini adalah bahwa Islam adalah agama yang mendahului agama-agama lain dalam hal mengajarkan spirit bertoleransi. Namun, sayangnya, slogan tersebut tidak sejalan dengan kenyataan di dunia Islam yang selalu menampilkan kekerasan, terorisme juga bom-bom bunuh diri. Berdasarkan ambiguitas antara slogan dan realitas sosial ini, Arkoun hendak menawarkan pandangannya mengenai wacana toleransi juga syarat-syaratnya yang harus dipenuhi dalam dunia Islam.
Menurut Arkoun, semua tradisi agama pasti menawarkan ajaran dan semboyan yang terbangun dari system nalar tertentu. Ajaran dan semboyan semua agama mengalami proses perjalanan sejarah yang panjang. Dari mulai periode oral (marhalah safahi) pada masa nabi-nabi hingga periode kodifikasi (marhalah tadwīn) pada masa generasi penerusnya. Artinya, tidak semua ajaran dan semboyan agama ditulis pada masa para nabi.  Dalam proses perjalanan sejarah itu, tentu saja ada ajaran yang hilang, ditambahkan, diperdebatkan, bahkan dimanipulasi. Bahkan tradisi yang dijaga melalui memori hafalan manusia biasa bisa saja salah dan lupa. Sejarah Islam telah bercerita bahwa teks-teks agama sering dimanipulasi oleh sekte-sekte yang bertikai mempertarungkan ideologi dan kepentingan politik.
            Tradisi yang terkodifikasi dan termanipulasi ini pada akhirnya menjadi struktur nalar teologis yang otoritatif; ia dipelihara dan disakralkan oleh pemegang otoritas ortodoks. Para pemeluk agama kemudian diwajibkan tunduk dan patuh kepada tradisi yang terkodifikasi. Jika tidak patuh, akan dikucilkan dan didiskriminasi dengan klaim kafir, heterodoks, mulhid, bid’ah, heretic, zindiq, sesat, dan tuduhan negatif  lainnya. Dari sinilah akar kemunculan ekslusivisme dan fanatime beragama yang tak kenal belas kasihan kepada kelompok minoritas yang disesatkan. Ekslusivisme dan fanatisme merupakan penyakit kekakuan mental beragama yang disebabkan oleh doktrin dogmatis. Pemeluk agama yang terkena penyakit ini cenderung mudah mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pandangan karena dinilai tidak seiman. Pemeluk agama ekslusif tidak bisa menerima pemikiran kelompok lain dengan tuduhan sesat.  Pemikirannya yang berawal dari “wilayah terlarang untuk dipikirkan” (dairah mamnū’ al-takfīr fīh), akhirnya sikap ekslusif akan menuju proses berikutnya yaitu stagnansi pemikiran keagamaan (al-jumūd al-fikr). Hal ini disebabkan oleh wawasan agama yang tunggal, sempit dan tertutup. Nalar inilah yang memicu sikap-sikap intoleran dan tidakan-tindakan kekerasan atas nama agama.
            Nalar dogmatis ekslusif (al-‘aql al dughmaiy al-mughallaq) merupakan nalar yang terbentuk secara hegemonik dalam semua tradisi agama. Ia mengatas namakan dirinya sebagau otoritas resmi yang disakralkan. Otoritas resmi begitu gigih mengaku dirinya berhak benar atau sesatnya sebuah pemikiran atau aliran. Ia juga secara arogan mengklaim berhak menentukan apa-apa yang berhak dipikirkan dan apa-apa yang dilarang untuk dipikirkan. Hal- hal yang terlarang untuk dipikirkan patut disingkirkan karena dinilai sesat dan menyesatkan (dāllun mudillun). Otoritas resmi seakan-akan mempunyai stempel benar dan sesat. Pluralisme, liberalisme dan isme-isme lainnya disesatkan dan dilarang untuk dipikirkan (mamnū’ al-takfīr fih). Otoritas resmi selalu berusaha menjaga kewibawaannya dengan cara memfungsikan dan mengutip Al-Quran, hadist dan simbol-simbol agama berupa pendapat sahabat dan ulama salaf yang shaleh. Ciri khas otoritas resmi Islam, misalnya akan membiarkan orang-orang yang berusaha  mengungkapkan kebobrokan Barat dan otoritas agama lain. Namun, sebaliknya, otoritas resmi Islam secara ironis akan memusuhi siapa saja yang berani mengkritik kewibawaannya. Itulah arogansi dan intoleransi dalam tradisi agama. Nalar-nalar seperti ini harus didekonstruksi  dan didesakralisasi guna mewujudkan toleransi dan kebebasan berpendapat.
            Ciri khas lain nalar dogmatis ekslusif adalah penolakannya terhadap pemisahan antara aspek agama dan politik. Pemisahan agama dan politik adalah bentuk sekularisasi yang terlarang untuk dipikirkan menurut otoritas ortodoks. Penolakan-penolakan semacam ini lah yang menghalangi dunia Islam untuk memasuki gerbang modernitas. Konsekuensinya, keterbelakangan dan keterkucilan negara-negara Islam menjadi hal yang tak terhindarkan. Dan sebagai ungkapan kekecewaan dan rasa frustasi, tersulutlah kekerasan dan terorisme atas dalih ketidak adilan.
            Nalar dogmatis ekslusif senantiasa meyakini dan memonopoli kebenaran tunggal. Kebenaran hanya satu, sakral, statis, dan terjaga sampai hari kiamat. Kebenaran tunggal harus dilindungi oleh otoritas resmi dengan cara mengorbankan kelompok minoritas yang dinilai menyimpang dari konsensus (Ijma’). Demi melindungi kesakralan iman dan simbol agama, kelompok minoritas seakan-akan sah meminta korban-korban atas nama agama. Kata kuncinya adalah klaim kebenaran (truth claim). Para pemeluk agama yang ekslusif tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan rela mati untuk menjaga kebenaran dogma-dogma agamanya yang disakralkan dan diyakini absolut. Ini adalah nalar semua agama yang terideologisasi oleh otoritas resmi.
Radikalisme dan Solusinya
            Untuk mengantisipasi radikalisme (deradikalisasi), Arkoun menawarkan solusi berupa  “deideologisasi agama”. Deideologisasi adalah upaya membedakan antara agama autentik dengan agama yang terideologisasi oleh kelompok-kelompok radikal. Agama autentik adalah agama yang terbuka dan toleran, sedangkan agama yang terideologisasi adalah agama yang ditafsirkan secara harfiah, dangkal, kering, reduktif, manipulatif dan subyektif dan menjadikan agama sebagai sesuatu yang tertutup dan intoleran. Pandangan ini ada benarnya dengan bukti bahwa agama Yahudi autentik mengajarkan bahwa membunuh satu manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia. Agama Kristen autentik mengajarkan bahwa bila pipi kananmu ditampar maka berilah pipi kirimu. Rasulullah SAW pun mengajarkan untuk tidak membalas dendam jika disakiti. Nabi pernah menjenguk non muslim yang meludahinya, Nabi menyuapi pengemis Yahudi yang buta, Nabi memaafkan orang yang menjahilinya ketika berada di jalan. Sayangnya, etika toleran  dan akhlaq mulia (makarim al-akhlaq) seperti ini hampir “tak terpikirkan “ (al la mufakkar fīh) oleh kelompok-kelompok radikal.
            Deradikalisasi menuntut upaya desakralisai terhadap lembaga resmi, sistem hukum, dan sistem politik yang sering dimanipulasi dalam bentuk teokrasi. Desakralisasi inilah yang memungkinkan terjadinya perubahan demi perubahan pada system politik dan hukum masyarakat. Namun sayangnya, masyarakat muslim belum mampu melakukan revolusi pemikiran dan meninggalkan paradigma teokratis yang  notabene merupakan warisan tradisi politik abad pertengahan. Kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi masih dikafirkan, sementara sistem khilafah  tetap dipaksakan oleh kaum fundamentalis.
            Namun,  diakui bahwa proses deradikalisasi, desaklarisasi dan sekularisasi membutuhkan waktu yang panjang. Sebagaimana Eropa yang membutuhkan waktu kurang lebih seribu tahun.  Gagasan pencerahan di tengah dominasi para agamawan dalam perjalanan sejarahnya akhirnya memunculkan konsep toleransi di Eropa. Dengan latar belakang perjalanan sejarah Eropa inilah tampaknya kurang bijaksana jika para ulama seraca normatif mengklaim bahwa toleransi adalah murni konsep Islam.
Masa Depan Toleransi Islam
            Lalu bagaimana dengan masa depan Toleransi Islam? Arkoun dengan tegas menjawab bahwa “toleransi tidak akan bisa diwujudkan di dunia Islam kecuali setelah mendekostruksi bangunan ortodoksi teologi tradisional seperti yang pernah terjadi di Eropa modern”. Namun realitas berkata lain: dunia Islam justru gagal menanamkan benih-benih toleransi akibat dari monopoli-monopoli kebenaran yang dilakukan ulama-ulama dari kelompok konservatif. Masing-masing sekte/kelompok saling menyesatkan dan tanpa ragu-ragu bermain hakim sendiri bahkan sampai merusak properti,  tempat-tempat ibadah milik orang lain.
            Untuk menyikapinya, Negara harus menegakkan undang-undang yang menjamin kebebasan berfikir bagi seluruh agama, sekte serta aliran filsafat. Kebebasan berpendapat tidak boleh dikekang. Seperti misalnya seorang penulis memiliki kebebasan berpendapat dan harus mempertanggung jawabkan pendapatnya secara akademis melalui dialog yang inklusif. Selain itu, Negara membutuhkan masyarakat madani yang kaya wawasan agar memaklumi pandangan-pandangan yang berlainan dan Negara harus menegakkan kesetaraan hukum yang mengayomi seluruh warganya. Solusi inilah yang diterapkan di Negara-negara demokrasi di Eropa. Di sana, undang-undang anti penodaan agama sudah dihapus, setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya tanpa takut dianiaya. Kebijakan itu diambil berdasarkan kesadaran bahwa keyakinan merupakan sebuah wilayah yang privat, tidak bisa diintervensi oleh orang lain dan Negara. Realitas tersebut  sangat kontras dibandingkan dengan negara-negara di dunia Islam yang masih diwarnai dengan fenomena pengkafiran dan pembunuhan yang menimpa pemikir Islam progresif. Di Indonesia pun demikian, dimana orang-orang yang berpikiran Islam progresif   malah dituduh menodai agama dan bahkan diteror. Toleransi Islam, Quo Vadis? []


Selasa, 13 Januari 2015

Elie Wiesel


Pemenang hadiah Nobel beragama Yahudi Elie Wiesel menjalani hidup hanya untuk Tuhan selama masa kanak-kanaknya di Hungaria. Hidupnya telah dibentuk oleh ajaran-ajaran Talmud dan dia berharap suatu hari akan diinisiasi untuk masuk ke dalam misteri Kaballah. Sebagai seorang anak laki-laki, dia dibawa ke Auschwitz dan kemudian ke Buchenwald. Pada malam pertamanya di kamp maut itu, menyaksikan asap hitam menggulung ke angkasa dari ruang gas/krematorium tempat ibunya dan saudara-saudaranya dilemparkan, dia tahu bahwa nyala api telah memadamkan imannya untuk selamanya. Dia berada dalam sebuah dunia yang berhubungan secara obyektif dengan dunia tak bertuhan seperti yang dibayangkan Nietzcshe. “Tak pernah kulupakan keheningan malam yang membinasakan hasrat hidup dari diriku untuk selamanya” Tulisnya beberapa tahun kemudian. “Takkan pernah kulupakan saat-saat yang telah membunuh Tuhanku dan jiwaku, menghancurkan mimpi-mimpiku”.

Suatu hari Gestapo menggantung seorang anak. Bahkan SS terusik oleh bayangan menngantung seorang anak kecil di depan ribuan penonton. Seorang anak, kenang Wiesel, berwajah “malaikat dengan sorot mata sedih”, membisu, pucat dan sangat tenang ketika naik ke tiang gantungan. Di belakan  Wiesel, seorang tawanan lainnya bertanya “ Dimanakah gerangan Tuhan? Dimana Dia?” Setengah jam kemudian anak itu mati sementara para tawanan dipaksa untuk melihat wajahnya. Orang tadi bertanya lagi: ”Dimanakah gerangan Tuhan sekarang?”. Dan Weisel menjawab : “Dia disini. Dia digantung disini di tiang gantungan ini”.

Senin, 12 Januari 2015

Friedrich Nietzsche oleh Rakhmat Kamaruddin

“Membuat orang gelisah, itulah tugas saya.” (F. Nietzsche)

Friedrich Nietzsche adalah suara ganjil dari zaman modern. Filsuf yang satu ini dikenal sebagai pemberontak terhadapn kemapanan dan dogmatisme. Dialah orang pertama yang terang-terangan menyatakan bahwa “Tuhan telah mati”. Dengan tanpa gentar, dia juga menyuarakan nihilisme sebagai kebajikan utama, menggantikan nilai-nilai moralitas yang menurutnya telah usang.

Membaca pemikiran Nietzsche, kita akan dihadapkan pada satu sosok yang tak kenal lelah untuk mencari kebenaran. “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah!” katanya. Ia selalu memprovokasi pembacanya untuk tak berhenti pada suatu keyakinan. Ia mengajajak orang-orang untuk mempertanyakan ulang apa yang tabu, bukan haram, untuk disentuh.

Karena itu, ia begitu sering dicemooh. Ia dicap ateis, meskipun di akhir hidupnya ia terus menyebut-nyebut nama Tuhan dan begitu merindukannya. Ia juga dilabeli “gila”. Pikiran-pikirannya dianggap tak lebih dari lamunan kosong manusia tak waras.

Tapi betapapun kontroversialnya, Nietzsche memang hadir untuk mengguncang. Ia melawan arus zamannya, ketika orang begitu optimis pada dunia. Ia membalikkan keyakinan orang pada ilmu pengetahuan dan agama. Ia juga berteriak sinis terhadap kekuasaan, ketika banyak orang di zamannya takluk dan menghamba pada negara. Bagi Nietzsche, semua ini adalah rintangan yang harus diatasi agar manusia menjadi kuat. Semua ini hanyalah ilusi, yang akan membuat orang puas dan berhenti mencari.[1]


B.     Riwayat hidup Nietzsche

1)      latar belakang keluarga dan masa kecil

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken (Saxe-Prussia), 15 Oktober 1844, anak Karl Ludwig dan Franzizka Oehler. Ayahnya adalah pendeta Lutheran di kota Rocken. Kakek dan kakek buyut Nietzsche dari pihak ibu semuanya berprofesi sebagai pendeta. Adik perempuan Nietzsche (Elisabeth)—yang nantinya memiliki peran khusus untuk karya-karya Nietzsche yang diterbitkan setelah kematian Nistzsche—lahir dua tahun kemudian pada bulan Juli 1846. Belum genap Nietzsche berusia 5 tahun, ayahnya meninggal dunia pada tanggal 30 Juli 1849 pada usia 36 tahun.[2]

Di desa Rocken, keluarga Nietzsche terkenal amat saleh dan taat beribadah. Bahkan ibunya tergolong tipe orang Kristen yang tidak dapat memahami bahwa orang yang sudah membaca dan mempelajari Injil masih meragukan kebenaran yang ada di dalamnya. Sikap Franziska Oehler ini sering bertabrakan dengan sikap-sikap Nietzsche selanjutnya. Dan tragisnya, Fraziska adalah orang yang paling dekat dengan Nietzsche.

Usai peristiwa meninggalnya ayah Nietzsche, keluarga mereka kembali terpukul lagi ketika adik Nietzsche, Joseph, meninggal pada tahun berikutnya. Sejak itu seluruh keluarga pindah ke Naumburg, kota asal nenek moyang Nietzsche. Mereka mencoba memulai fase hidup baru di sana. Dan dalam keluarga ini, kini Nietzsche merupakan satu-satunya anak lelaki. Anggota keluarga yang lainnya adalah ibu, kakak perempuan dan kedua tante dan nenek.

Menjelang umur enam tahun, Nietzsche masuk sekolah gymnasium. Ketika itu sebenarnya dia sudah bisa membaca dan menulis, sebab dia sudah diajar oleh ibunya. Di sekolah, Nietzsche termasuk orang yang amat pandai bergaul. Dengan cepat ia dapat menjalin persahabatan dengan teman-teman sekolahnya. Melalui teman-temannya inilah ia mulai diperkenalkan dengan karya Goethe dan Wagner. Dari perkenalannya yang pertama dengan sastra dan musik, ia merasa bahwa dia cukup mempunyai bakat dalam bidang itu.

2)      Sebagai pelajar dan mahasiswa

Pada umur 14 tahun, Nietzsche pindah ke sekolah dan sekaligus asrama yang bernama Pforta. Sekolah ini dikenal cukup keras dan ketat. Acara-acara disusun sedemikian ketat sehingga seolah-olah para murid merasa hidup di penjara. Hanya pada hari Minggu anak-anak diberi sedikit kebebasan, yaitu tidur setengah jam lebih lama. Sedangkan jam-jam lainnya dipakai untuk mengadakan semacam pengulangan atau repetisi pelajaran-pelajaran yang sudah diterima selama seminggu yang baru saja berlalu.

Selama di Pforta Nietzsche belajar bahasa Yunani dan Latin secara intensif. Dari sinilah dia mendapatkan bekal yang kuat untuk menjadi seorang ahli filologi yang brilian. Di samping belajar kedua bahasa itu, ia juga masih belajar bahasa Hibrani, karena pada waktu itu ia masih tetap bermaksud menjadi pendeta sesuai dengan keinginan keluarganya. Namun, Nietzsche mengakui bahwa dia tidak berhasil menguasai bahasa Hibrani. Bagi Nietzsche, tata bahasa Hibrani yang termasuk rumpun bahasa Semit ini dirasa terlalu sulit.

Di kota Pforta inilah Nietzsche mulai merasa kagum dengan karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Bersama dengan dua temannya, Wilhelm Pinder dan Gustav Krug, Nietzsche membentuk semacam kelompok sastra yang diberi nama Germania. Dalam kelompok ini mereka berlatih mendiskusikan karya-karya bermutu, baik berupa artikel-artikel maupun puisi-puisi. Dengan cara inilah Nietzsche mulai tertarik melatih mengungkapkan gagasan-gagasan dan emosinya melalui puisi.

Pada tahun-tahun terakhir di Pforta, Nietzsche sudah menunjukkan sikap jalangnya. Dalam tulisannya, Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman), ia mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami.

Bersamaan dengan itu ia juga mempertanyakan iman Kristennya dan bahkan secara perlahan-lahan mulai meragukan kebenaran seluruh agama.

Pada Oktober 1864, Nietzsche melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk memperdalam filologi dan teologi. Di bidang filologi, Nietzsche diajar oelh Friedrich Ritschl, yang pada tahun-tahun selanjutnya banyak membantu kemahiran Nietzsche dalam filologi. Tetapi pada tahun 1865, Nietzsche sudah memutuskan untuk tidak belajar teologi lagi.

Keputusan itu amat erat kaitannya dengan kepercayaan Nietzsche yang sudah mulai pudar sejak ia masih tinggal di Pforta. Sampai saat ini ia bersedia belajar teologi hanya karena cintanya pada ibu dan ayahnya, sebab dengan belajar teologi, ia dapat menjadi pendeta dan denga demikian dapat meneruskan profesi ayahnya. Keputusan ini mendapat perlawanan keras dari ibunya. Di antara mereka pernah terjadi diskusi melalui surat tentang hal itu. Dalam satu suratnya Nietzsche pernah menulis: 

Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan maka: percayalah, jika engkau ingin menjadi murid kebenaran: carilah…!

Sejak di Pforta, Nietzsche merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan hidup. Berkali-kali ia menyatakan mau mengadakan semacam pencarian dan pecobaan (versuch) dengan hidupnya. Sikap ini nanti akan mempengaruhi seluruh filsafatnya, khususnya metode filsafatnya. Ia melakukan percobaan ini secara radikal dengan melepaskan teologi. Ia memilih menjadi seorang freethinker. Ia ingin bebas, tidak hanya bebas melepaskan beban, tetapi juga bebas memilih beban yang lebih berat.

Di Bonn, Nietzsche hanya bertahan selama dua semester. Pada pertengahan 1865, ia pindah ke Leipzig untuk belajar filologi selama empat semester. Di sana ia akrab dengan dosennya, F. Ritschl, yang diakui oleh dosennya sebagai mahasiswa yang paling berbakat di antara semua mahasiswa yang pernah diajarnya.

Pengalaman membaca karya Schopenhauer adalah salah satu peristiwa terpenting dalam kehidupan intelektual Nietzsche. Dan ini juga terjadi di Leipzig pada akhir Oktober 1865. Saat itu ia sedang mengalami kegelisahan dan kegundahan yang amat mendalam. Ia sedang merasa amat pesimis akan hidupnya. Ketika mengunjugi sebuah toko buku-buku bekas, ia tertarik pada salah satu buku bekas karya Schopenhauer (1788-1860), yaitu Die Welt als Wille und Vors-tellung (The World as Will and Idea, Dunia sebagai kehendak dan Ide, 1819). Semula ia membeli buku ini “iseng” saja. Tetapi setelah membaca buku itu sampai habis, ia segera menyatakan diri pada temannya bahwa ia sudah menjadi pengikut Schopenhauer.

Pada tahun 1867-1868, terjadi perang antara Jerman melawan Prancis. Ketika itu Nietzsche didaftar sebagai anggota dinas militer. Meskipun amat tidak senang dengan tugas itu, akhirnya ia tetap melaksanakannya. Selama menjalani dinas militer Nietzsche mendapatkan banyak pengalaman yang tak terduga sebelumnya. Ia mengalami kecelakaan (jatuh dari kuda) dan terpaksa dirawat selama satu bulan di Naumburg. Ia juga menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis sebagaimana terjadi pada setiap perang. Seluruh pengalaman ini menimbulkan kegoncangan dalam dirinya. Ia mulai bertanya pada dirinya: melanjutkan studi filologi atau studi lain. kini ia merasa bahwa belajar filologi itu hambar dan mati. Ia ingin belajar sesuatu yang menarik untuk hidup.

Sekalipun di Pforta Nietzsche sudah mengenal karya-karya musikus Richard Wagner, baru pada 1868 ia benar-benar merasa “jatuh cinta” pada musikus Jerman ini. Pengalaman ini terjadi ketika ia menyaksikan pementasan musik Tristen dan Meistersinger.

Dua belas hari kemudian ia dapat berjumpa dengan Wagner secara pribadi untuk pertama kalinya. Perjumpaan itu membuatnya yakin bahwa ternyata kebebasan dan karya yang sangat jenius itu masih mungkin dicapai. Dalam musik Wagner, Nietzsche melihat ada semangat kebudayaan Yunani sebagaimana terlihat dalam karya-karya tragedi. Kebudayaan, katanya, dapat menjadi perwujudan kembali kebudayaan Yunani, asal diresapi dengan semangat Wagner. Ia juga tahu bahwa Wagner tahu Wagner adalah pengagum Schopenhauer. Sejak itu, Nietzsche , menggabungkan dua tokoh itu, Wagner dan Schopenhauer, menjadi agama barunya.

3)      Sebagai profesor di Basel

Pada tahun 1869, Nietzsche mendapat panggilan dari Universitas Basel, Swiss, untuk menjadi dosen di sana. Ia sendiri merasa heran karena belum bergelar doktor. Tetapi hal itu rupanya tidak menjadi masalah karena Ritschl, bekas dosennya di Leipzig, memberikan rekomendasi pada Universitas Basel. Bahkan di luar dugaan Nietzsche, sebulan setelah ada panggilan itu ia mendapatkan gelar doktor dari Leipzig tanpa ujian dan formalitas apa pun.

Di Basel ia mengajar selama sepuluh tahun, 1869-1879, dan berhenti karena kesehatannya memburuk. Mata kuliah yang diajarkannya  terutama filologi dan bahasa Yunani. Di samping dalam bentuk ceramah, ia juga memberikan kuliah dalam bentuk seminar. Selain di universitas Nietzsche juga mengajar di SMA. Selama di Basel Nietzsche mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu dengan Wagner. Bahkan kadang-kadang ia sempat tinggal serunah dengannya untuk beberapa hari. Kesempatan semacam itu sangat menguntungkan Nietzsche untuk mengenal Wagner secara lebih dekat, dan hal ini sangat penting untuk mengembangkan pemikirannya.

Masa karirnya sebagai Dosen di Basel juga diwarnai kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Berkali-kali ia harus cuti dan istirahat demi kesembuhan dirinya. Misalnya saja, pada tahun 1870, ia jatuh sakit karena serangan desentri dan difteri. Pada tahun 1870, ia hanya sempat mengajar selama satu bulan, dan sisa waktu lainnya dipakai untuk pergi ke berbagai daerah dan kota untuk menyembuhkan dirinya yang semakin lemah. Sakit mata dan kepala mulai parah sejak 1875. Serangan paling parah dan lama dideritanya pada tahun 1879 sehingga ia terpaksa berhenti bertugas sebagai dosen.

Sepanjang sakit dideritanya, Nietzsche sangat produktif dalam menulis. Pada periode tersebut dia menghasilkan banyak karangan yang kemudian hari tergolong karya-karya terbaiknya. Buku Die Geburt de Tragodie aus dem Geiste der Musik (The Birth of Tragedy Out of the Spirit of Music; Lahirnya Tragedi dari Semangat Musik) terbit pada tahun 1872, setahun setelah ia beristirahat dan mencari kesembuhan di Lugano, Naumburg dan Leipzig. Pada tahun berikutnya, buku tentang tragedy Yunani ini disusul dengan terbitnya Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely Meditations; Permenungan yang Terlalu Awal). [3]
Prestasi Nietzsche ini sangat mengagumkan, karena tahun 1879 merupakan tahun kelabu baginya: ia menderita sakit yang paling berat selama 118 hari. Keadaan ini memaksa Nietzsche mau tidak mau mengundurkan diri sebagai dosen.

4)      Masa-masa pengembaraan dan kesepian

Sejak meninggalkan Basel, Juni 1879, hidup Nietzsche lebih banyak diwarnai dengan kesuraman dan kesepian. Ia lebih banyak menyendiri dan selalu menghindar dari hal-hal yang menyangkut tanggung jawab sosial. Untuk itu ia hidup berpindah-pindah di beberapa kota di Italia dan Swiss. Dalam pengembaraannya, Nietzsche sering ditemani Elisabeth (saudarinya), Lou Salome, dan Paul Ree. Ia juga pernah merencanakan akan menikahi novelis cantik dan “paling menyenangkan serta paling cerdas yang dijumpai oleh Nietzsche”.

 Lou menerima lamaran Nietzsche asal dia juga diperbolehkan menikahi Paul Ree!. Usul ini diajukan oleh Lou karena ia tahu bahwa di antara mereka sebetulnya terjadi cinta segitiga. Mendengar rencana ini Elisabeth menjadi berang. Ia lalu melaporkan rencana yang ‘immoral’ ini kepada ibunya. Kemarahan ibu dan saudarinya, ditambah kesehatannya yang semakin buruk, mendorong Nietzsche untuk hidup sendirian sampai akhir hidupnya.

Sampai dengan tahun 1889 saat menderita sakit jiwa, Nietzsche tak dapat menghentikan kegiatannya untuk selalu merenung dan menulis. Pada tahun 1881, dia berhasil menerbitkan buku Die Morgenrote Gedanken uber die moralischen Vorurteile(Fajar, Gagasan-Gagasan tentang Praanggapan Moral). Dengan bukunya ini Nietzsche bermaksud mau “mengawali perang melawan moralitas”. Tahun berikutnya, 1882, ia menerbitkan salah satu bukunya yang indah dan paling penting, yaitu Die Frohlice Wissenschaft (la gaya scienza; ilmu yang mengasyikkan). Dalam buku inilah Nietzsche memproklamasikan bahwa “Tuhan telah mati” (Gott is tot). Pada tahun 1883-1885 Nietzsche mempersiapkan karya besarnya, yaitu Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra). Buku yang seluruhnya ditulis secara puitis ini terbit pada akhir 1885.

Tahun 1889 adalah tahun paling menyedihkan Nietzsche. Ia ditimpa sakit jiwa. Oleh Franz Overbeck, sahabat karibnya, ia dibawa ke rumah ke klinik Universitas Basel. Seminggu kemudian, ia dipindahkan ke klinik Universitas Jena. Hampir semua usaha penyembuhan sia-sia saja. Nietzsche tak pernah dapat sembuh sama sekali. Sejak 1890 ia dipindahkan oleh ibunya ke Naumburg dan dirawat sendiri di sana. Tiga tahun kemudian, Elisabeth datang dari Paraguay karena suaminya, Forster, bunuh diri pada tahun 1889. Bersama ibunya, Elisabeth merawat Nietzsche yang semakin lemah. Keluarga ini semakin malang ketika pada tanggal 20 April 1897 sang ibu meninggal. Pada tahun itu juga Elisabeth memindahkan Nietzsche ke Weimar. Dan di sana Nietzsche meninggal pada tanggal 25 Agustus 1900.

Saat-saat terakhir hidup Nietzsche sungguh tragis. Selama dua tahun terakhir masa hidupnya, ia sudah tidak dapat mengetahui apa-apa dan tidak dapat lagi berpikir. Nahkan ia tidak tahu kalau ibunya sudah meninggal dan juga tidak tahu bahwa ia mulai menjadi termasyhur.

C.     Pokok Pemikiran Nietzsche

1)      Kehendak untuk berkuasa

Menurut pendapat Nietzsche, dalam tingkah laku manusia (dan sebenarnya juga dalam semua kejadian alam semesta) satu-satu faktor yang menentukan daya pendorong hidup atau hawa nafsu. Daya di sini tidak boleh dimengerti dalam arti monistis, tetapi harus dimengerti dalam arti pluralistis: tidak ada satu, tetapi ada banyak daya pendorong untuk hidup. Yang rohani pun mewujudkan daya pendorong hidup itu. pengenalan kita misalnya merupakan alat bagi “kehendak berkuasa”.

 Dengan pengenalan kita menguasai benda-benda alamiah. Tetapi sering terjadi bahwa daya pendorong hidup menampakan diri sebagai roh, karena orang merasa terlalu lemah untuk melampiaskan nafsunya. Sehubungan dengan itu, Nietzsche membedakan “moral tuan” dan “moral budak”. Manusia hidup menurut moral tuan memberanikan diri untuk mewujudkan hawa nafsunya. Ia tidak mencari dalih dalam roh atau tidak memakai sebagai topeng.  Sebaliknya, manusia yang hidup menurut moral budak, tidak memberanikan diri untuk melampiaskan hawa nafsunya, tetapi menyuruh roh untuk menaklukkan hawa nafsu.[4]

2)      Ubermensch

Bagi Nietzsche, kebutuhan orang yang paling mendesak adalah soal pemaknaan. Dia melihat, bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampai saat itu telah runtuh. Runtuhnya nilai-nilai ini disebabkan oleh jaminannya yang dianggap seolah-olah ada. Karena itulah Nietzsche, melalui tokoh Zarathustra, mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang. Nilai ini tidak lai adalah Ubermensch. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia. Dengan cara penilaian ini, Nietzsche tidak lagi menaruh kepercayaan kepada setiap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia.

Nietszche menilai bahwa pesimisme terhadap hidup disebabkan oleh kerisauan akan dorongan-dorongan hidup. Dan kerisauan ini muncul sebagai akibat ketidakberdayaan untuk mengatur dan menguasai dorongan-dorongan hidup yang pada hakikatnya adalah hidup itu sendiri. Bagi Nietzsche, satu-satunya penghargaan akan hidup adalah dengan berkata “ya” pada hidup itu. Sikap manusia yang dapat mengafirmasi hidupnya dapat diibaratkan seperti laut. Tanpa harus menjadi murni, laut bersedia menampung berbagai aliran sungai yang penuh dengan polusi. Sebelum orang dapat menagafirmasi segala dorongan hidupnya, tak mungkin Ubermensch tercipta.

Menurut Nietsche, penolakan hidup tidak hanya karena orang berhadapan dengan penderitaan yang menakutkan. Penolakan juga dapat terjadi karena orang merasakan mempunyai kekuatan yang sangat dahysat. Orang tidak berani mengakui bahwa dirinya adalah penyebab pengalaman ini. Kemudian, dia menggantikan penyebab yang sebenarnya dengan pribadi palsu yang dianggapnya jauh lebih kuat, yaitu yang Ilahi. Orang yang memaknai dunia lewat Ubermensnch tidak gentar menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang dahysat. Dia tidak merasa asing dengan dorongan-dorongan semacam ini. Dengan nilai Ubermensch, orang menjadi kerasan tinggal di dunia.

Dari uraian di atas, dapat diringkaskan bahwa bagi Nietzsche, Ubermensch adalah semacam pengganti Tuhan yang sudah dibunuhnya. Ubermensch adalah tujuan manusia di dunia ini yang diciptakan oleh manusia itu sendiri untuk menggantikan setiap tujuan yang ditentukan dari luar. Melalui Ubermensch, orang tak perlu lagi memberi makna pada dunia dan hidup dengan berpaling kepada suatu yang ada di seberang dunia. Ubermensch pada dasarnya adalah ajakan untuk mengafirmasikan hidup tanpa membiarkan sedikit sisa pun untuk ditolak. Afirmasi hidup ini secara konkret terwujud dalam pengakuan akan segala macam dorongan—baik yang menakutkan maupun yang mempesonakan—yang oleh orang-orang dekaden dipersonifikasikan sebagai Tuhan.[5]

3)      Tuhan telah mati (Goot is tot)

Nietzsche termasuk filsuf ateis yang paling ekstrim dalam jaman modern. Bagi Nietzsche, peristiwa paling menonjol dalam masyarakat Barat pada jaman modern adalah bahwa ‘Tuhan telah mati’. Dengan semboyan ini dimaksudkan bahwa kepercayaan Kristiani akan Tuhan di Eropa Barat pada waktu itu sudah layu dan hampir tidak punya peranan real lagi. Nietzsche sendiri seakan-akan menjadi nabi yang memproklamirkan suatu jaman baru, suatu jaman yang secara konsekuen ateistis. Dengan tajam ia menyerang agama Kristen, karena kepercayaan Kristiani akan Tuhan menampakkan kelemahan, kepengecutan, dan penolakan untuk mengiyakan kehidupan duniawi. Agama Kristen membuat manusia menjadi lemah, takluk, rendah hati, bersikap nrimo, dan sebagainya. Agama ini mengakibatkan manusia bergumul dengan hati nuraninya dan merintangi dia untuk mengembangkan hidupnya secara bebas.

Dalam konteks ini, ‘Tuhan sudah mati’ tidak boleh ditanggapi secara harfiah, bahwa ‘Tuhan secara fisik sudah mati’; atau sebaliknya, inilah cara Nietzsche mengatakan gagasan tentang Tuhan tak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apa pun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya.

Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan keyakinan kosmis atau tatanan fisik, tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri—kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hokum moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu. Cara ini membawa kepada nihilism, dan inilah yang diusahakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berrati mencari dasar-dasar yang yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.

Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya.  Pengakuan bahwa ‘Tuhan telah mati’ adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif—suatu kebebasan mutlak untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Orang-orang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu utahap baru yang baru dalam keberadaan manusia, sang Ubermensch. ‘Tuhan telah mati’ adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, ‘evaluasi terhadap semua nilai’.[6]




[1] St. Sunardi, Nietzsche, hal. Vi, Lkis, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
[2] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal. 4, Galang Press, cetakan pertama, Yogyakarta 2004
[3] St. Sunardi, Nietzsche, hal. 11-13, Lkis, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
[4] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hal.87, Kanisius, cetakan ke 15 (revisi), Yogyakarta 1998
[5] St. Sunardi, Nietzsche, hal. 143-147, Lkis, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
[6] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, hal 171-173, Ar-Ruzz Media, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011  

Kamis, 01 Januari 2015

Tentang Situs Faith Freedom

Surat kepada sorang teman
Saturday, December 6, 2008 at 5:26am

[Catatan: "Note" ini saya tulis untuk seorang kawan di Facebook yang menulis surat pribadi ke saya tentang kegundahannya karena membaca sejumlah bahan-bahan dalam situs Faithfreedom. Semoga catatan ini bermanfaat untuk teman-teman yang lain].

SECARA pribadi, saya kerapkali menerima email-email yang isinya menyerang Islam dan bahan-bahannya, antara lain, diambil dari situs yang terkenal, "Faithfreedom". Situs ini dikelola oleh seorang ex-Muslim bernama Ali Sina.

Menurut saya, Ali Sina, dalam beberapa hal, sama persis dengan Hj. Irena Handono, seorang yang konon mantan biarawati dan kemudian masuk Islam. Keduanya sama-sama meninggalkan agama yang mereka peluk, Islam dalam kasus Ali Sina dan Katolik dalam kasus Irena. Keduanya sama-sama menjelek-jelakkan "bekas agama" yang pernah mereka peluk. Perbedaannya, Ali Sina keluar dari Islam untuk kemudian menjadi agnostik, alias tak memeluk agama lain. Sementara, Irena meninggalkan Katolik untuk memeluk agama lain, yaitu Islam.
Sikap kedua orang ini sama sekali kurang saya sepakati. Saya tentu menghormati sikap seseorang yang pada tahap tertentu dalam hidupnya merasa tidak puas pada agama "warisan" yang ia peroleh dari keluarganya untuk kemudian meninggalkannya sama sekali; entah meninggalkan agama itu untuk memeluk agama baru yang lain, atau meninggalkan agama sama sekali. Itu adalah bagian dari kebebasan agama yang harus kita hormati pada masing-masing orang. Tetapi menjelek-jelekkan agama yang pernah anda peluk, tentu tak etis, sama tak etisnya dengan anda pindah kerja dari sebuah kantor ke kantor lain, seraya menjelek-jelekkan kantor sebelumnya.

Saya termasuk orang yang tak suka pada semangat di balik situs faithfreedom. Situs ini, menurut saya, secara tersembunyi ingin "menyerang Islam" dengan tujuan untuk mempromosikan agama Kristen, walaupun hal ini dilakukan secara tidak terang-terangan. Cara seperti ini sama dengan yang dilakukan oleh kelompok Islam apologetik atau fundamentalis yang juga gemar menyerang dan mencari segala kejelekan agama lain, terutama Kristen, seraya ingin mempromosikan Islam sebagai agama terbaik.

Kalau anda mencari kejelekan agama, maka anda dengan mudah bisa menjumpainya. Semua agama mengandung kelemahannya masing-masing. Saya tak pernah setuju dengan siapapun yang mengatakan bahwa agama yang ia peluk adalah terbaik secara mutlak. Menurut saya, pandangan seperti itu tidak tepat. Kalau kita mau jujur, ada banyak kelemahan dalam semua agama: Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Taoisme, Zen, Sikh, Jain, Zoroastrianisme, dll. Tetapi setiap agama juga memiliki kelebihannya masing-masing. Saya menyukai metafor dalam dunia tasawwuf atau mistik: kebenaran adalah seperti cermin yang retak; masing-masing agama memungut secuil dari pecahan cermin itu.

Kalau pengelola situs faithfreedom ingin menunjukkan kelemahan Islam, antara lain melalui orang-orang eks-Muslim, dan sekaligus secara sembunyi-sembunyi ingin menunjukkan bahwa Kristen adalah terbaik, maka mereka jelas salah sekali. Kita bisa menemukan kelemahan yang sama dalam Kristen. Kritik yang keras pada sejumlah kelemahan Kristen sudah terlalu banyak ditulis oleh sejumlah kalangan, mulai dari para filosof, saintis, sampai orang-orang biasa, bahkan kalangan "dalam" Kristen sendiri.

Sekali lagi, kalau anda mau mencari kelemahan suatu agama, anda akan dengan mudah bisa melakukannya. Sebagian orang Kristen mungkin saja gembira sekali membaca bahan-bahan dalam situs faithfreedom itu, sebab bisa dipakai sebagai alat menyerang agama Islam. Begitu juga orang Islam akan gembira membaca serangan-serangan terhadap agama Kristen yang ditulis oleh para sarjana Barat misalnya. Banyak kalangan penulis Muslim yang gemar sekali mengutip sejumlah kritik terhadap agama Kristen yang dilakukan oleh sarjana Barat yang sebagian juga seorang Kristen. Mereka seolah-olah hendak berkata, "Lihat saja, orang Kristen saja mengakui kelemahan agama itu."

Kalau kita mau memahami agama secara baik, maka cara seperti itu tidak terlalu banyak gunanya. Yang timbul dari sana hanya saling cerca dan ejek. Yang ingin saya kembangkan pada kalangan Islam adalah kesadaran positif bahwa masing-masing pihak harus sadar akan kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Sikap semacam ini juga relevan dikembangkan dalam semua agama.
BAGAIMANA kita menanggapi kritik-kritik terhadap Islam seperti dilakukan oleh orang-orang semacam Ali Sina yang tulisan-tulisannya banyak dimuat dalam situs faithfreedom itu?

Walaupun saya tidak sepakat dengan semangat di balik situs faithfreedom, saya kadang-kadang membaca secara sekilas beberapa artikel yang ditulis oleh Ali Sina dan kawan-kawan. Kritik-kritik mereka terhadap Islam, dalam banyak hal, bermanfaat, terutama untuk mengimbangi sejumlah kleim kalangan Islam yang kadang-kadang agak "kebablasan".
Kenapa saya tidak sepakat dengan semangat situs itu? Sebab situs itu mengajak umat Islam untuk keluar dari Islam dengan alasan bahwa Islam adalah agama yang sangat jahat dan buruk sekali. Sekali lagi saya katakan bahwa kalau kita mencari keburukan setiap agama, tentu saja ada saja celah-celahnya. Kita semua tahu, semua agama yang ada sekarang ini, lahir dari zaman pra-modern. Tidak mengherankan jika agama-agama yang ada itu mengandung banyak "kelemahan" dilihat dari sudut pandang kesadaran modern.
Tetapi jika kaca-mata seperti itu yang kita pakai, maka kita harus mengatakan bahwa sebaiknya semua orang harus meninggalkan semua agama, sebab pada semua agama itu akan kita jumpai banyak cacat dan kelemahan dilihat dari sudut pandang sensitifitas modern. Tentu saja, seseorang boleh saja mengambil kesimpulan seperti itu dan mengajak agar semua orang menjauhi agama. Di Barat saat ini sedang marak kecenderungan yang disebut "new atheism" yang memandang semua agama adalah jahat dan jelek. Para penggagas gerakan ini mengkritik semua agama tanpa pandang bulu, terutama Yahudi, Kristen dan Islam. Semua kejelekan agama dibongkar habis.
Contoh yang sangat baik adalah fakta tentang Nabi Muhammad yang mengawini Aisyah pada umur  9 tahun. Meskipun ada kalangan Islam apologetik yang mengingkari fakta itu, tetapi sumber-sumber Islam sendiri jelas mengakui kebenaran fakta tersebut. Apakah dengan demikian Nabi bisa kita sebut melakukan kejahatan pedofilia?
Dalam standar modern, jelas tindakan Nabi seperti itu bisa tampak janggal dan tak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang nabi melakukan tindakan seperti itu?
Saya sebagai seorang Muslim akan mencoba menafsirkan fakta itu sebagai berikut. Saya berpandangan sejak awal bahwa tidak semua tindakan Nabi tepat untuk ditiru "mentah-mentah" dalam konteks sekarang, sebab kesadaran manusia terus berkembang, dan karena itu kesadaran mereka mengenai "yang baik" dan "yang buruk" juga ikut berubah. Pada zaman Nabi, praktek menikahi gadis di bawah umur boleh jadi tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan tak pantas. Tetapi, zaman berubah, dan kita sekarang memandang tindakan seperti itu sudah tak pantas lagi ditiru secara harafiah.
Tetapi juga tidak seluruhnya tepat menghakimi Nabi berdasarkan standar modern. Sebab, jika hal itu kita lakukan, maka semua agama bisa kita anggap mengandung cacat. Itu adalah sejenis anakronisme.
Situs faithfreedom menurut saya seperti seorang yang menulis biografi seseorang, tetapi dengan semata-mata menyorot aspek keburukan orang itu, tanpa menyinggung sedikitpun kebaikan orang tersebut. Membaca bahan-bahan dalam faithfreedom memberi kesan bahwa Islam seolah-olah agama yang seluruhnya buruk dan tak menyumbangkan kebaikan apapun pada peradaban manusia.
Anda bisa melakukan hal yang sama seperti ditempuh oleh situs faithfreedom itu kepada semua agama. Anda bisa saja menulis sebuah buku khusus untuk mengorek-ngorek kesalahan Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dst. Anda bisa menulis buku seperti itu dan mengesankan bahwa agama-agama itu sama sekali tak mengandung kebaikan apapun, bahwa agama-agama itu seluruhnya jelek.
Sekali lagi, cara seperti ini sama sekali tidak tepat dan hanya akan menimbulkan sikap fobia, rasialisme, dan kebencian antar golongan.
Dengan mengatakan itu semua, bukan berarti saya ingin agar kita semua diam tak usah mengkritik agama apapun. Sikap terakhir ini juga tak tepat. Inilah sikap yang dalam konteks Amerika sekarang sering disebut sebagai "political correctness" atau "religious correctness". Menurut saya, setiap agama bisa dikritik dan seharusnya memang dikritik secara terus-menerus. Tetapi kritik di sini bukan dengan tujuan untuk mencari kejelekan semata-mata pada agama itu. Kritik di sini kita butuhkan untuk menyadarkan bahwa dalam agama yang kita peluk terdapat aspek-aspek yang lemah dan kita harus awas terhadap aspek itu agar tidak "lupa daratan".
Saya selama ini melakukan kritik terhadap sejumlah doktrin dan penafsiran dalam agama Islam, tetapi saya tidak kehilangan iman dan kepercayaan pada agama saya.
Kekeliruan umat bergama selama ini adalah membayangkan bahwa agama haruslah sempurna seluruhnya dan tak mengandung cacat. Manakala ada pihak lain menunjukkan kelemahan agama itu, maka orang bersangkutan marah bukan main dan berusaha menolak sekeras-kerasnya adanya kelemahan itu. Ini sikap apologetik yang menurut saya tidak sehat.
Saya tidak pernah mempunyai bayangan seperti itu. Saya tidak membayangkan bahwa Islam harus seluruhnya sempurna dan tanpa cacat. Sebagai agama yang lahir pada zaman pra-modern, tentu Islam memiliki beberapa ajaran yang tak seluruhnya tepat dengan zaman sekarang. Oleh karena itu Islam harus ditafsirkan terus-menerus. Kritik terhadap sejumlah ajaran dalam Islam harus ditanggapi secara positif agar kita terus mencari rumusan yang tepat dengan konteks yang terus berubah.
Selama ini, saya sering mendapat email dan tanggapan yang dikirim secara pribadi ke saya. Banyak yang bertanya: kalau Sdr. Ulil mengkritik sejumlah doktrin dan ajaran dalam Islam, kenapa anda tidak pindah agama saja? Buat apa mengikuti sebuah agama yang anda anggap mengandung kelemahan? Kenapa tidak mencari agama yang lain saja?

Tanggapan saya?

Kalaupun saya pindah ke agama lain, situasi serupa akan saya hadapi juga. Setiap agama mengandung kelemahan, selain, tentu, kelebihan masing-masing. Kalau saya meninggalkan Islam dan memeluk agama lain, saya akan memeluk agama yang akan memiliki kelemahan serupa.
Sikap yang terbaik, menurut saya, adalah bahwa setiap orang loyal pada agamanya masing-masing, mencoba memaksimalkan kebaikan-kebaikan yang ada pada masing-masing agama itu untuk membangun dunia yang lebih baik, seraya awas dan sadar pada kelemahan-kelemahan yang ada.
Saya tahu bahwa setiap umat beragama akan menganggap agamanya sebagai yang terbaik. Tak ada yang salah dalam sikap semacam itu, asal dalam proporsi yang wajar. Sikap seperti itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan mempunyai kecintaan yang mendalam pada agama yang dipeluknya itu.
Setiap orang tua tentu bisa dimaklumi jika beranggapan bahwa anaknya adalah anak terbaik, anak yang menakjubkan. Asal sikap semacam ini terjaga dalam "dosis" yang wajar, menurut saya sehat saja. Sudah seharusnya kita masing-masing sunguh-sungguh pada agama yang kita peluk, loyal pada agama itu, memperdalam komitmen kita padanya. Tetapi, kita juga tak boleh berlebihan. Kita harus jangan lupa bahwa agama yang kita cintai itu boleh jadi tidak sesempurna yang kita bayangkan. Oleh karena itu, kita harus membuka diri pada kritik.
Inilah sikap keislaman yang saya anut selama ini. Semoga surat saya ini bermanfaat.

Ulil Abshar Abdalla

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...