Jumat, 28 November 2014

Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara by Soekarno

Buat nomor Maulud ini Redaksi “Panji Islam” minta kepada saya supaya saya menulis satu artikel tentang: “Nabi Muhammad sebagai Pembangun Masyarakat!” Permintaan redaksi itu saya penuhi dengan segala kesenangan hati. Tetapi dengan sengaja saya memakai titel yang lain daripada yang dimin­tanya itu, yakni untuk memusatkan perhatian pembaca kepada pokoknya saya punya uraian nanti.

Nabi Muhammad memang salah seorang pembangun masyarakat yang maha-maha-haibat. Tetapi tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa masya­rakat abad ketujuh Masehi itu tidak sama dengan masyarakat abad keduapuluh yang sekarang ini.

Hukum-hukum diadakan oleh Nabi Muhammad untuk membangunkan dan memeliharakan masyarakat itu, tertulislah di dalam Qur’an dan Sunah (Hadits). Hurufnya Qur’an dan Hadits itu tidak berobah, sebagai juga tiap-tiap huruf yang sudah tertulis satu kali: buat hurufnya Qur’an dan Sunah malahan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas”.

Tetapi masyarakat selalu berobah, masyarakat selalu ber-evolusi. Sayang sekali ini tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, – sebab umpama­nya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidaklah selalu ada konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Qur’an dan Sunah itu, dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap!

Nabi Muhammad punya pekerjaan yang maha-maha-haibat itu bolehlah kita bahagikan menjadi dua bahagian: bahagian sebelum hijrah, dan bahagian sesudah hijrah.

Bahagian yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahan­nya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak: yakni orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang mulia perangainya. Hampir semua ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan di Mekkah itu adalah mengan­dung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid, percaya kepada Allah yang Esa dan Maha-Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta ke­pada si miskin, berani kepada kebenaran, takut kepada azabnya neraka, lazatnya ganjaran syurga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat men­jadi kehidupan manusia umurnnya, dan pandemen rohaninya perjoangan serta masyarakat di Madinah kelak.

Sembilanpuluh dua daripada seratus empatbelas surat, – hampir dua pertiga Qur’an – adalah berisi ayat-ayat Mekkah itu. Orang-orang yang dididik oleh Muhammad dengan ayat-ayat serta dengan sunah dan teladannya pula, menjadilah orang-orang yang tahan-uji, yang gilang-gemilang imannya serta akhlaknya, yang seakan-akan mutiara dikala damai, tetapi seakan-akan dinamit di masa berjoang. Orang-orang inilah yang menjadi material-pokok bagi Muhammad untuk menyusun Ia punya masyarakat kelak dan Ia punya perjoangan kelak.

Maka datanglah kemudian periode Madinah. Datanglah kemudian periodenya perjoangan-perjoangan dengan kaum Yahudi, perjoangan dengan kaum Mekkah. Datanglah saatnya Ia menggerakkan material itu, – ditambah dengan material baru, antaranya kaum Ansar mendina­miskan material itu ke alam perjoangan dan kemasyarakatan yang teratur. Bahan-bahan rohani yang Ia timbun-timbunkan di dalam dadanya kaum Muhajirin, kaum Ansar serta kaum-Islam baru itu, dengan satu kali perintah sahaja yang keluar dari mulutnya yang Mulia itu, menjadilah menyala-nyala berkobar-kobar menyinari seluruh dunia Arab.

“Pasir di padang-padang-pasir Arabia yang terik dan luas itu, yang beribu-ribu tahun diam dan seakan-akan mati, pasir itu sekonyong-konyong menjadilah ledakan mesiu yang meledak, yang kilatan ledakannya menyinari seluruh dunia”, – begitulah kira-kira perkataan pujangga Eropah Timur Thomas Carlyle tatkala ia membicarakan Muhammad.

Ya, pasir yang mati menjadi mesiu yang hidup, mesiu yang dapat meledak. Tetapi mesiu ini bukanlah mesiu untuk membinasakan dan menghancurkan sahaja, tidak untuk meleburkan sahaja perlawanannya orang yang kendati diperingatkan berulang-ulang, sengaja masih znendur­haka kepada Allah dan mau membinasakan agama Allah. Mesiu ini ju­galah mesiu yang boleh dipakai untuk mengadakan, mesiu yang boleh dipakai untuk scheppend-werk, sebagai dinamit di zaman sekarang bukan sahaja boleh dipakai untuk musuh, tetapi juga untuk membuat jalan biasa, jalan kereta-api, jalan irigasi,- jalannya keselamatan dan ke­makmuran. Mesiu ini bukanlah sahaja mesiu perang tetapi juga mesiu kesejahteraan.

Di Madinah itulah Muhammad mulai menyusun Ia punya masyarakat dengan tuntunan Ilahi yang selalu menuntun kepadanya. Di Madinah itulah turunnya kebanyakannya “ayat-ayat masyarakat” yang mengisi sepertiga lagi dari kitab Qur’an. Di Madinah itu banyak sekali dari Ia punya sunah bersifat “sunah-kemasyarakatan”, yang mengasih petun­juk ditentang urusan menyusun dan membangkitkan masyarakat.

Di Madinah itu Muhammad menyusun satu kekuasaan “negara”, yang mem­buat orang jahat menjadi takut menyerang kepadaNya, dan membuat orang balk menjadi gemar bersatu kepadaNya. Ayat-ayat tentang zakat, sebagai semacam payak untuk membelanjai negara, ayat-ayat merobah qiblah dari Baitulmuqaddis ke Mekkah, ayat-ayat tentang hukum-hukum­nya perang, ayat-ayat tentang pendirian manusia terhadap kepada manusia yang lain, ayat-ayat yang demikian itulah umumnya sifat ayat-ayat Madinah itu.

Di Mekkah turunlah terutama sekali ayat-ayat iman, di Madinah ayat-ayat mengamalkan itu iman. Di Mekkah diatur perhubungan manusia dengan Allah, di Madinah perhubungan manusia dengan manusia sesama­nya. Di Mekkah dijanjikan kemenangan orang yang beriman, di Madina dibuktikan kemenangan orang yang beriman.

Tetapi tidak periode dua ini terpisah sama sekali sifatnya satu dengan lain, tidak dua periode ini sama sekali tiada “penyerupaan” satu kepada yang lain. Di Mekkah adalah turun pula ayat-ayat iman. Tetapi bolehlah kita sebagai garis-umum mengatakan: Mekkah adalah persediaan masyarakat, Madinah adalah pelaksanaan masyarakat itu.

Itu semua terjadi di dalam kabutnya zaman yang purbakala. Hampir empatbelas kali seratus tahun memisahkan zaman itu dengan zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad di Madinah itu sudahlah dihimpunkan oleh Sayidina Usman bersama­-sama ayat-ayat yang lain menjadi kitab yang tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas, sehingga sampai sekarang masihlah kita kenali dia presis sebagai keadaannya yang asli. Syari’at yang termaktub di dalam ayat-ayat serta sunah-sunah Nabi itu, syari’at itu diterimakanlah oleh angkatan­-angkatan dahulu kepada angkatan-angkatan sekarang, turun-temurun, bapak kepada anak, anak kepada anaknya lagi. Syari’at ini menjadilah satu kumpulan hukum, yang tidak sahaja mengatur masyarakat padang­ pasir di kota Jatrib empatbelas abad yang lalu, tetapi menjadilah satu kumpulan hukum yang musti mengatur kita punya masyarakat di zaman sekarang.

Maka konflik datanglah! Konflik antara masyarakat itu sendiri dengan pengertian manusia tentang syari’at itu. Konflik antara masya­rakat yang selalu berganti corak, dengan pengertian manusia yang beku. Semakin masyarakat itu berobah, semakin besarlah konfliknya itu.

Belum pernah masyarakat begitu cepat robahnya sebagai di akhir abad yang kesembilanbelas di permulaan abad yang keduapuluh ini. Sejak orang mendapatkan mesin-uap di abad yang lalu, maka roman-muka dunia bero­bahlah dengan kecepatan kilat dari hari ke hari. Mesin-uap diikuti oleh mesin-minyak, oleh electriciteit, oleh kapal-udara, oleh radio, oleh kapal­kapal-selam, oleh tilpun dan telegraf, oleh televisi, oleh mobil dan mesin-tulis, oleh gas racun dan sinar yang dapat membakar. Di dalam limapuluh tahun sahaja roman-muka dunia, lebih berobah daripada di­ dalam limaratus tahun yang terdahulu. Di dalam limapuluh tahun inipun sejarah-dunia seakan-akan melompati jarak yang biasanya dilalui sejarah itu di dalam limaratus tahun. Masyarakat seakan-akan bersayap kilat.

Tetapi pengertian tentang syari’at seakan-akan tidak bersayap, seakan-akan tidak berkaki, – seakan-akan tinggal beku, kalau umpamanya tidak selalu dihantam bangun oleh kekuatan-kekuatan-muda yang selalu mengentrok-entrokkan dia, mengajak dia kepada “rethinking of Islam” di waktu yang akhir-akhir ini. Belum pernah dia ada konflik yang begitu besar antara masyarakat dan pengertian syari’at, seperti di zaman yang akhir-akhir ini.

Belum pernah Islam menghadapi krisis begitu haibat, sebagai di zaman yang akhir-akhir ini. “Islam pada saat ini,” - begitulah Prof. Tor Andrea menulis di dalam sebuah majalah -, “Islam pada saat ini adalah sedang menjalani “ujian-apinya” sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia alah, ia akan me­rosot ke tingkatan yang kedua buat selama-lamanya”.

Ya, dulu “zaman Madinah”, – kini zaman 1940. Di dalam ciptaan kita nampaklah Nabi duduk dengan sahabat-sahabatnya di dalam rumah­nya. Hawa sedang panas terik, tidak ada kipas listrik yang dapat menyegarkan udara, tidak ada es yang dapat menyejukkan kerongkongan, Nabi tidak duduk di tempat penerimaan tamu yang biasa, tetapi bersan­darlah Ia kepada sebatang puhun kurma tidak jauh dari rumahnya itu.

Wajah mukanya yang berseri-seri itu nampak makin sedaplah karena rambutnya yang berombak-ombak dan panjang, tersisir rapih ke belakang, sampai setinggi pundaknya. Sorot matanya yang indah itu seakan-akan “mimpi”, – seperti memandang kesatu tempat yang jauh sekali dari alam yang fana ini, melayang-layang di satu alam-gaib yang hanya dikenali Tuhan.

Maka datanglah orang-orang tamunya, orang-orang Madinah atau luar ­Madinah, yang sudah masuk Islam atau yang mau masuk Islam. Mereka semuanya sederhana, semuanya membawa sifatnya zaman yang kuno itu. Rambutnya panjang-panjang, ada yang sudah sopan, ada yang belum sopan. Ada yang membawa panah, ada yang mendukung anak, ada yang jalan kaki, ada yang naik onta, ada yang setengah telanjang. Mereka datanglah minta keterangan dari hal pelbagai masalah agama, atau minta petunjuk ditentang pelbagai masalah dunia sehari-hari. Ada yang mena­nyakan urusan ontanya,

ada yang menanyakan urusan pemburuan, ada yang mengadukan hal pencurian kambing, ada yang minta obat, ada yang minta didamaikan perselisihannya dengan isteri di rumah.

Tetapi tidak seorang­pun menanyakan boleh tidaknya menonton bioskop, boleh tidaknya mendirikan bank, boleh tidaknya nikah dengan perantaraan radio, tidak seorang­pun membicarakan hal mobil atau bensin atau obligasi bank atau telegraf atau kapal-udara atau gadis menjadi dokter …

Nabi mendengarkan segala pertanyaan dan pengaduan itu dengan tenang dan sabar, dan mengasihlah kepada masing-masing penanya jawabnya dengan kata-kata yang menuju terus ke dalam rokh-semangatnya semua yang hadir.  Di sinilah syari’atul Islam tentang masyarakat lahir kedunia, di sinilah buaian wet kemasyarakatan Islam yang nanti akan dibawa oleh zaman turun-temurun, melintasi batasnya waktu dan batasnya negeri dan samudra.

Di sinilah Muhammad bertindak sebagai pembuat wet, bertindak sebagai wetgever, dengan pimpinannya Tuhan, yang kadang-kadang langsung mengasih pimpinannya itu dengan ilham dan wahyu. Wet ini harus cocok dan mengasih kepuasan kepada masyarakat di waktu itu, dan cukup “karat”, – cukup elastis, cukup supel, – agar dapat tetap dipakai sebagai wet buat zaman-zaman di kelak kemudian hari. Sebab Nabi, di dalam maha-kebijaksanaannya itu insyaflah, bahwa Ia sebenarnya tidak mengasih jawaban kepada si Umar atau si Zainab yang duduk di hadapannya di bawah puhun kurma pada saat itu sahaja, – Ia insyaf, bahwa Ia sebenarnya mengasih jawaban kepada Seluruh Peri- kemanusiaan.

Dan seluruh peri kemanusiaan, bukan sahaja dari zamannya Nabi sendiri, tetapi juga seluruh peri kemanusiaan dari abad-abad yang ke­mudian, abad kesepuluh, abad keduapuluh, ketigapuluh, keempatpuluh, kelimapuluh dan abad-abad yang masih kemudian-kemudian : Lagi yang masyarakatnya sifatnya lain, susunannya lain, kebutuhannya lain, hukum perkembangannya lain.

Maka di dalam maha-kebijaksanaan Nabi itu, pada saat Ia mengasih jawaban kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun yang lalu itu, Ia adalah juga mengasih jawaban kepada kita. Kita, yang hidup ditahun 1940! Kita, yang hajat kepada radio dan listrik, kepada sistim politik yang modern dan hukum-hukum ekonomi yang modern, kepada kapal-udara dan telegraf, kepada bioskop dan universitas! Kita, yang alat-alat penyenangkan hidup kita berlipat­-lipat ganda melebihi jumlah dan kwaliteitnya alat-alat hidup si Umar dan si Zainab dari bawah puhun kurma tahadi itu, yang masalah-masalah hidup kita berlipat-lipat ganda lebih sulit, lebih berbelit-belit, daripada si Umar dan si Zainab itu. Kita yang segala-galanya lain dari si Umar dan si Zainab itu.

Ya, juga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala ucapan-ucapan Muhammad tentang hukum-hukum masyarakat itu bersifat syarat-syarat minimum, yakni tuntutan-tuntutan “paling sedikitnya”, dan bukan tuntutan-tuntutan yang “musti presis begitu”, bukan tuntutan­tuntutan yang mutlak. Maka oleh karena itulah Muhammad bersabda pula, bahwa ditentang urusan dunia “kamulah lebih mengetahui”.

Halide Edib Hanum kira-kira limabelas tahun yang lalu pernah menulis satu artikel di dalam surat-surat-bulanan “Asia”. Yang antaranya ada berisi kalimat: “Di dalam urusan ibadat, maka Muhammad adalah amat keras sekali. Tetapi di dalam urusan yang lain, di dalam Ia punya sistim masya­rakat, Ia, sebagai seorang wetgever yang jauh penglihatan, adalah menga­sih hukum-hukum yang sebenarnya “liberal”. Yang membuat hukum-­hukum masyarakat itu menjadi sempit dan menyekek nafas ialah con­sensus ijma’ ulama.”

Renungkanlah perkataan Halide Edib Hanum ini. Hakekatnya tidak berbedaan dengan perkataan Sajid Amir All tentang “kekaretan” wet-wet Islam itu, tidak berbedaan dengan pendapatnya ahli-tarikh-ahli-tarikh yang kesohor pula, bahwa yang membuat agama menjadi satu kekuasaan reaksioner yang menghambat kemajuan masyarakat manusia itu, bukan­lah pembikin agama itu, bukanlah yang mendirikan agama itu, tetapi ialah ijma’nya ulama-ulama yang terkurung di dalam tradisi-pikiran ijma’-ijma’ yang sediakala.

Maka jikalau kita, di dalam abad keduapuluh ini, tidak bisa mengunyah dengan kita punya akal apa yang dikatakan kita punya oleh Nabi kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun,- jikalau kita tidak bisa mencernakan dengan akal apa yang disabdakan kepada si Umar dan si Zainab itu di atas basisnya perbandingan-perbandingan abad keduapuluh dan kebutuhan-kebutuhan  abad keduapuluh, – maka janganlah kita ada harapan menguasai dunia, seperti yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala sendiri di dalam surat-surat ayat 29. Janganlah kita ada pengiraan, bahwa kita me­warisi pusaka Muhammad, sebab yang sebenarnya kita warisi hanyalah pusaka ulama-ulama faqih yang sediakala sahaja.

Di dalam penutup saya punya artikel tentang “Memudakan Pengertian Islam”saya sudah peringatkan pembaca, bahwa segala hal itu boleh asal tidak nyata dilarang.

Ambillah kesempatan tentang bolehnya segala hal ini yang tak ter­larang itu, agar supaya kita bisa secepat-cepatnja mengejar zaman yang telah jauh meninggalkan kita itu. Dari tempat-tempat-interniran saya yang terdahulu, dulu pernah saya serukan via tuan A. Hassan dari Per­satuan Islam, di dalam risalah kecil “Surat-surat Islam dari Endeh”

“Kita tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati”, – tetapi hidup mengalir, berobah senantiasa, maju, dinamis, ber-evolusi. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah menjadikan urusan dunia, menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram atau makruh. Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat – kafir; radio dan kedokteran – kafir; sendok dan garpu dan kursi – kafir; tulisan Latin – kafir; yang bergaulan dengan bangsa yang bukan bangsa Islam-pun – kafir!

Padahal apa,- apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang berkobar-kobar, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi … dupa dan karma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangan­nya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubalmya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar, – dia, dialah yang kita namakan Islam.

Astagafirullah, inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-uptodate-an? Yang mau tinggal mesum sahaja, tinggal kuno sahaja, tinggal terbelakang sahaja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahaja, seperti di zaman Nabi-nabi.

Islam is progress, - Islam itu kemajuan, begitulah telah saya tuliskan di dalam salah satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardhu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui batasnya­ zaman. Progress berarti barang baru, yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu. Progress berarti pembikinan baru, ciptaan baru, creation baru,- bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama.

Di dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy sahaja barang-barang yang lama, tidak boleh mau mengulangi sahaja segala sistim-sistimnya zaman “khalifah-khalifah yang ‘besar”. Kenapa orang-orang Islam di sini selamanya menganjurkan political system “seperti di zamannya khalifah-khalifah besar” itu?

Tidakkah di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu peri-kemanusiaan mendapatkan sistim-sistim baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjel­makan sistim-sistim baru yang cocok dengan keperluannya, – cocok dengan keperluan zaman itu sendiri? Apinya zaman “khalifah-khalifah yang besar” itu?

Akh, lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang “menganggitkan”? Bahwa mereka “menyutat” sahaja api itu dari barang yang juga kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunahnya Rasul?

Tetapi apa yang kita “cutat” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan! Abunya, debunya, akh ya, asapnya! Abunya yang berupa celak mata dan sorban, abunya yang menyintai ke­menyan dan tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam-muluk dan Islam ibadat-zonder-taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil sahaja,- tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu keujung zaman yang lain.”

Begitulah saya punya seruan dari Endeh. Marilah kita camkan di­ dalam kita punya akal dan perasaan, bahwa kini bukan masyarakat onta, tetapi masyarakat kapal-udara. Hanya dengan begitulah kita dapat me­nangkap inti arti yang sebenarnya dari warta Nabi yang mauludnya kita rayakan ini hari. Hanya dengan begitulah kita dapat menghormati Dia di dalam artinya penghormatan yang hormat sehormat-hormatnya. Hanya dengan begitulah kita dengan sebenar-benarnya boleh menamakan diri kita umat Muhammad, dan bukan umat kaum faqih atau umat kaum ulama.

Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di­ dekat sumur. Saya punya anak Ratna Juami berteriak: “Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci!” Saya menjawab: “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”

Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya: “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah?”

Saya menjawab: “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.” Muka Ratna menjadi terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.

Maha-Besarlah Allah Ta’ala, maha-mulialah Nabi yang Ia suruh!

“Panji Islam”

Islam Sontoloyo by Soekarno

Koran Pemandangan 6 April 1940
“Di dalam surat kabar Pemandangan beberapa waktu yang lalu , saya membaca satu perkabaran yang ganjil: seorang guru agama dijebloskan ke dalam bui tahanan karena ia memperkosa kehormatan salah seorang muridnya yang masih gadis kecil. Bahwa orang dijebloskan ke dalam tahanan kalau ia memperkosa gadis itu tidaklah ganjil. Dan tidak terlalu ganjil pula kalau seorang guru memperkosa seorang muridnya. Bukan karena ini perbuatan tidak bersifat kebinatangan, jauh dari itu, tetapi oleh karena memang kadang-kadang terjadi kebinatangan semacam itu. Yang saya katakana ganjil ialah caranya si guru itu “menghalalkan” ia punya perbuatan. Sungguh, kalau reportase di surat kabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah di sini kita melihat Islam Sontoloyo….!!! Suatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh.”“Cobalah kita mengambil satu contoh. Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, menfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan Yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terbesar, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba Tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, menfitnah orang lain, musyrik di dalam Tuan punya pikiran dan perbuatan. Maka tidak banyak orang yang akan menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asam pun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir. Inilah gambarnya jiwa Islam sekarang ini, terlalu mementingkan kulitnya saja, tidak mementingkan isi. Terlalu terikat kepada “uiterlijke vormen” saja, tidak menyalah-nyalahkan “intrinsieke waarde”.,ah, saya meniru perkataan Budiman Kwadjda Kamaludin: alangkah baiknya kita disamping fiqh itu mempelajari juga sungguh-sungguh etiknya Quran,intrinsieke waardennya Quran. Alangkah baiknya pula kita meninjau sejarah yang telah lampau, mempelajari sejarah itu, melihat dimana letaknya garis menaik dan dimana letaknya garis menurun dari masyarakat Islam, akan menguji kebenaran perkataan Prof. Tor Andrea yang mengatakan bahwa juga Islam terkena fatum kehilangan jiwanya yang dinamis, sesudah lebih ingat kepada ia punya system perundang-undangan kepada ia punya ajaran jiwa. Dulupun dari Ende pernah saya tuliskan: “umumnya kita punya kyai-kyai dan kita punya ulama-ulama tak ada sedikitpun “feeling” kepada sejarah. Ya boleh saya katakana kebanyakan tak mengetahui sedikitpun sejarah itu. Mereka punya minat hanya kepada agama khusus saja, dan dari agama ini, terutama sekali bagian fiqh. Sejarah, apalagi bagian “yang lebih dalam”, yakni yang mempelajari kekuatan-kekuatan masyarakat yang menyebabkan kemajuannya atau kemunduran suatu bangsa, -sejarah itu sama sekali tak menarik mereka punya perhatian. Padahal di sini, di sinilah penyelidikan yang maha penting! Apa sebab mundur? Apa sebab maju? Apa sebab bangsa ini di jaman ini begini? Apa sebab bangsa itu di jaman itu begitu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang maha penting yang harus berputar, terus-menerus di dalam kita punya ingatan kalau kita mempelajari naik turunnya sejarah itu.Tetapi bagaimana kita punya kyai-kyai dan ulama-ulama? Tajwid membaca Quran, hafal ratusan hadits, mahir dalam ilmu syarak, tetapi pengetahuannya tentang sejarah umumnya nihil. Paling mujur mereka hanya mengetahui “tartich Islam” saja. Dan inipun terambil dari buku-bukunya tarich Islam yang kuno, yang tak dapat tahan ujiannya ilmu pengetahuan modern.Padahal dari tarich Islam inipun saja mereka sudah akan dapat menggali juga banyak ilmu yang berharga. Kita Umumnya mempelajari Hukum, tetapi tidak mempelajari caranya orang dulu mentanfizkan Hukum itu..“fiqh pada waktu itu hanyalah kendaraan saja, tetapi kendaraan ini dikusiri oleh rohnya etik Islam serta tauhid yang hidup, dan ditarik oleh kuda sembrani yang di atas tubuhnya ada tertulis ayat Quran: “janganlah kamu lembek dan janganlah kamu mengeluh sebab kamu akan menang, asal kamu mukmin sejati”. Fiqh ditarik oleh agama hidup, dikendarai oleh agama hidup, disemangati agama hidup, roh agama hidup yang berapi-api dan menyala-nyala. Dengan fiqh yang demikian itu umat Islam menjadi cakrawati di separuh dunia.Kebalikannya, bahwa sejak islam studiedijadikan fiqh studie garis kenaikan itu menjadi membelok ke bawah. Menjadi garis yang menurun. Di situlah lantas islam membeku menurut kata Essad Bey, membeku menjadi satu system formil belaka. Lenyaplah ia punya tenaga yang hidup. Lenyaplah ia punya jiwa penarik, lenyaplah ia punya ketangkasan yang mengingatkan kepada ketangkasannya harimau. Kendaraan tiada lagi punya kuda, tiada lagi punya kusir. Ia tiada bergerak lagi, ia mandeg!Dan bukan saja mandeg! Kendaraan mandeg pun lama-lama menjadi amoh. Fiqh bukan lagi menjadi petunjuk dan pembatas hidup, fiqh kini kadang-kadang menjadi penghalalnya perbuatan-perbuatan kaum sontoloyooo…! Maka benarlah perkataannya Halide Edib Hanoum, bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini “bukan lagi agama pemimpin hidup, tetapi agama prokol-bambu”

Parit

Ketika di Madinah, Nabi terlibat konflik2 politik dgn kaum Yahudi, selain siap2 menerima serbuan Militer dari Mekkah pimpinan Abu Sufyan
Langkah brilian Nabi berdasarkan perundingan2 intens yg menghasilkan kesepakatan bahwa penduduk madinah akan saling bahu-membahu mempertahankan kota Madinah. Pakta perjanjian itu disebut "Piagam Madinah"
Bahasa cepetnya, temanmu adalah temanku, musuhmu adalah musuhku.
Berbagai suku Yahudi akan membantu kaum Muslim, demikian juga sebaliknya...
Akibat "kerusuhan politik" akibat perang Badar dan Uhud, Maka Abu Sufyan berhasil membentuk pasukan Mekkah yang kuat ditambah pasukan sekutu Suku2 Badui. Jumlah pasukan yg besar dgn persenjataan lengkap seperti ancaman air bah yg siap menghancurkan sebuah kota
Nabi mengingatkan Piagam Madinah kpd orang2 Yahudi, mari kita hadapi bersama tantangan serbuan itu. Selama kita percaya kpd Allah, Allah pasti akan membantu kita dgn caraNya.
Krn Kaum Yahudi sebagian besar berprofesi sbg pedagang,  juga mrk  berpikiran rasional bahwa melawan pasukan mekkah yg besar itu adalah bunuh diri......maka banyak kaum Yahudi yg menolak bergabung untuk membantu Nabi dlm menghadapi serbuan Abu Sufyan tsb
Hal tsb membuat kaum Muslim marah, dan menyebut kaum yahudi dgn sebutan "kaum munafik". Kaum munafik ini arti dasarnya adalah orang2 yg tidak percaya kpd Nabi (pd saat itu)
*kaum Muslim adalah gabungan pribumi kota madinah (anshar) juga kaum pendatang dr Mekkah (muhajirin)
Nabi sendiri tidak gentar dgn ancaman Abu Sufyan dan akan menghadapi sampai titik darah penghabisan. (Pada saat itu, kondisi psikilogis kaum Muslim adalah  mungkin lebih baik mati drpd hidup tak memiliki arti, terus dibawah ancaman, hidup miskin krn tindakan represif)
Ketika rapat bersama para sahabat, Nabi membuka perundingan utk mengumpulkan ide2 & strategi (militer). Dari berbagai ide, muncullah ide yg "aneh" tp sangat efektif. Ide tsb berasal dari budak persia bernama Salman. Salman mengungkapkan kalau salah satu strategi perang di negaranya adalah membuat parit.
Singkat cerita, berdasarkan ide Salman itu. Nabi mengalami kemenangan besar dgn membuat malu pasukan Mekkah dgn tidak bisa masuknya "pasukan sekutu" ke kota Madinah. Petinggi Mekkah sangat marah, karena cara strategi itu sangat memalukan dan hina, "sangat tidak Arab". Akhirnya pengepungan itu gagal..
Perang ini disebut Perang Khandaq (Parit)
Berhasil menahan pasukan Mekkah tidak demikian selesai hubungan kaum Muslim dgn suku2 Yahudi yg menolak kata2 Nabi.
Perang urat syaraf itu menghasilkan pengusiran suku2 yahudi keluar dari madinah. Harta (rumah, ternak) dll dianggap sbg pampasan perang diambil oleh suku2 Muslim
Ada satu suku yg benar2 mempertahankan integritas keimanan dan harga dirinya. Mrk mempertahankan tanah & hartanya. Suku Yahudi ini adalab Bani Quraizah. Dgn berat hati, berdasarkan hukum jahiliah Arab pd saat itu, nasib mrk berakhir dgn pembataian suku (genosida). Sekitar 700 orang Yahudi dibantai oleh kaum Muslim
Nabi sendiri mengetahui kejadian ini, tp dia mmg harus mempertahankan integritas dan persatuan kaum Muslim. Akhirnya beliau bersabda :

The Name Of The Rose

Saya hanya ingin menuliskan sedikit resensi mengenai "The Name of The Rose". Suatu saat saya ingin menuliskannya dlm tulisan yang lebih panjang. Ada perbedaan mendasar, sebuah jurang yang lebar antara sebuah karya tulis dan sebuah karya film. Karya tulis membuat imajinasi para pembacanya menjadi terbuka seluas-luasnya tanpa batas. Berbeda dengan karya film, apalagi yang kisahnya diadaptasi berdasarkan karya tulis (novel). Diceritakan bahwa Biara yang didatangi oleh William dan Adso muridnya adalah sebuah biara kaya. Memiliki sebuah perpustakaan dengan ribuan buku. Perpustakaan tersebut adalah salah satu kekayaan agama kristen yang diceritakan memiliki banyak buku mengalahkan perpustakaan Baghdad. Penggambaran inilah yang tidak divisualisasikan dalam film,  padahal ini merupakan inti dari kisah "The Name of The Rose". 

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...