Sabtu, 01 Desember 2012

Tirto Adhi Soerjo


Siapakah Minke yg diceritakan dalam “tetralogi buru” Pramoedya Ananta Toer?  Dia adalah R.M Tirto Adhi Soerjo (TAS). Pada tanggal 10 November 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional melalui Kepres RI No. 85/TK/2006. Meski sebelumnya pemerintah sudah memberikan gelar Bapak Pers Nasional pada tahun 1973.
TAS dilahirkan di Blora pada tahun 1880, dia adalah cucu Bupati Bojonegoro. Setelah lulus H.B.S, TAS melanjutkan sekolah kedokteran jawa STOVIA di Batavia.  Ia tak sampai lulus di sekolah kedokteran tsb. Kemudian dia pindah ke Bandung dan menikah di Bandung.
Ketika di Bandung, TAS mendirikan surat kabar “Soenda Berita” (1903-1905). Dan kemudian pada tahun 1907, TAS mendirikan koran “Medan Prijaji”, sebuah koran yang menggunakan bahasa Melayu. Dengan koran inilah cikal bakal penerbitan yang semua awaknya adalah bangsa pribumi dan “berdiri sendiri”. Pada saat itu “Medan Prijaji” merupakan ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda. Karena koran tersebut begitu berani  dengan kritikan-kritikan tajamnya tentang kolonialisme. Juga pendidikan “kewarganegaraan” yang mengarah kepada nasionalisme tentang persamaan derajat suatu bangsa.
Selain berjuang dalam pena, TAS pun berjuang dalam pergerakan nasional, dia mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) bersama H. Samanhudi dan bersama HOS Cokroaminoto SDI berubah menjadi Serikat Islam (SI). Walaupun hanya berawal dari niat melindungi pedagang pribumi dari gempuran pedagang tionghoa, dengan anggota melebihi 360.000 menjadikan SI memasuki gerakan politik yang menandai gerakan “Kebangkitan Nasional”. Selain organisasi SI yang bercirikan pedagang, organisasi lain yang mengiringi adalah Boedi Oetomo yang bercirikan kaum terpelajar.
Lantaran TAS dalam pemberitaannya sering menyudutkan pemerintah Hindia Belanda, ia pun tersandung masalah hukum, yakni terkena delik pers atau persdelict saat TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A Simon tahun 1909. TAS dituduh menghina pejabat Belanda, dan terkena Drukpersregliment 1856 (ditambah UU Pers tahun 1906). Hingga akhirnya, pengadilan menjatuhkan hukuman dengan cara dibuang di Teluk Betung, Lampung selama dua bulan. Meski TAS mempunyai hak istimewa di depan hukum (forum privilegiatum) lantaran ia keturunan Bupati Bojonegoro, ia kembali tersandung kasus delik pers.
 Tahun 1912, ia dituduh menghina Residen Rasenswaai dan Residen Boissevain karena menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami R.A Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun harus kembali menjalani kehidupannya di tempat pembuangan di Pulau Bacan dekat Halmahera, Maluku Utara.
Kesehatan TAS sering terganggu setelah kembali dari pembuangannya di Ambon. Pada 7 Desember 1917 TAS akhirnya meninggal. Dia awalnya dimakamkan di Mangga Dua Jakarta. Oleh keluarganya, jasadnya kemudian dipindahkan ke pemakaman Blender, Kebon Pedes, Bogor tahun 1973. Tanggal kematian itulah, 7 Desember, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pers Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepada TAS, dan tahun berdirinya Medan Prijaji, 1907, dijadikan sebagai awal tahun pers kebangsaan.
***
.”Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Dimanapun ada yang mulia dan jahat.... Kau sudah lupakan kiranya Nak, yang kolonial adalah iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu,.....
Perjalanan ini, membiakkan ingatan satire, bahwa kita adalah bangsa yang kaya tapi lemah. Bangsa yang sejak lama bermental diperintah bangsa lain. Sejarah mengatakan tragedi terbesar terkoyaknya kita sebagai sebuah bangsa yang kawasannya luas, kaya. Tapi selalu kalah dalam segala hal,.... PRAMOEDYA ANANTA TOERhttp://www.youtube.com/watch?NR=1&v=eYUafG82Al0&feature=endscreen 

Tirto Adhi Suryo

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...