Oleh
: Abdurrahman Wahid
Di
tahun-tahun lima puluhan, beredar terjemahan noveler Damon Runyon, "Hantu
dan Daniel Webster". Isinya tetang seorang Amerika abad lalu yang
menggadaikan jiwanya kepada setan agar berhasil gemilang dalam profesi. Diakhir
masa gadai, sang setan datang untuk menagih: orang itu harus hidup dalam bentuk
lain. Menjadi kupu yang ditaruh dalam sebuah tabung, mengutuki nasibnya yang
jelek, menjadi hamba setan.
Untungnya,
melalui berbagai argumen dalam perdebatan antara pembela hukumnya - Daniel
Webster - dan sang setan, dalam sebuah ‘peradilan spiritual' yang unik orang
itu akhirnya dibebaskan dari sanksi.
Bagi
kita, penggadaian jiwa kepada setan bukan dongeng aneh. Sekian banyak
kepercayaan akan "pesugihan" sudah menjadi pengetahuan umum - dari
soal monyet di Gunung Kawi, yang dikatakan penjelmaan dari mereka yang dulu
dianugerahi kekayaan luar biasa, hingga babi jadi-jadian yang konon kembali
menjadi manusia dikala mati dibunuh orang. Juga tuyul, yang kemarin dipopulerkan
itu.
Menarik,
bangsa-bangsa Barat pun memiliki
perbendaharaan cerita seperti itu, seperti dibuktikan Damon Runyon dalam
noveletnya (cerita-pendek panjang) yang tadi. Tetapi ada perbedaan mendasar
dalam pendekatan kepada materi pokoknya. Kepercayaan bangsa kita itu menunjukkan sikap pasrah kepada
‘intervensi supranatural': paling jauh hanya mengambil intisari moral dari
cerita atau kepercayaan itu, yaitu imbauan agar kita tidak menggadaikan jiwa
kepada setan. Para penulis Barat, Seperti Damon Runyon tekanannya justru pada
upaya membebaskan diri dari ‘sanksi hukum' setan.
Ini
tentu dibawakan oleh nilai yang melandasi sikap hidup yang berbeda. Kita tidak
mementingkan kebebasan manusia, sebagai peperangan,dari cengkeraman nasib,
karena kita memang berwatak pasrah. Manusia Barat setidak-tidaknya sebagai
prototipe justru menghardik nasib dan merebut inisiatif dari tangannya. Karenanya, setan pun harus di lawan.
Sikap
berani menentang surtan takdir seperti itu sudah tentu tidak tumbuh dalam
sekejab: ia merupakan hasil perjalanan sejarah
panjang. Pun bukan merupakan sikap terbaik yang dapat dirumuskan manusia
bagi hidupnya, karena sekularisme yang dihasilkannya juga membawakan krisisnya
sendiri kepada ‘manusia Barat' saat ini. Namun, tak dapat diingkari ‘Manusia
Barat' berwatak ingin menentukan nasibnya sendiri, bebas dari campur tangan
siapapun juga.
Dalam
perjalanan kian-kemari, penulis menonton di sebuah tempat sebuah filem menarik,
dengan tema seperti itu. Film berjudul "Oh God, You Devil" menampilakan gambaran baru dari tema lama
damon Runyon di atas. Hanya saja penyelesaiannya idak dilakukan melalui sidang
‘pengadilan spiritual'.
Seorang
musikus, yang belum berhasil mengangkat karier dalam usia 30 tahun, bertemu
dengan sang setan. Makhluk ini berkuasa ini tampil dalam sosok seorang agen yang menjanjikan promosi
serba tuntas bagi sang musikus. Dalam keputsasaan akibat kebuntuan karier, si
musikus menerima keagenan setan atas dirinya. Maka ia pun ditukar secara fisik, dengan seorang penyanyi rock sangat tenar -
yang sudah sampai ‘masa perjanjian' nyadengan sang setan. Jiwa mereka bertukar
tempat, alias bertukar raga.
Bintang
rock tenar menjdi musikus yang mendampingi istri musikus yang tak maju-maju
itu, tanpa sang istri menyadarinya. Sang musikus lokal, sebaliknya, langsung
menjadi bintang tenar, dengan segala kesenangan hedonistiknya. Itu berjalan
cukup lama. Namun, kemewahan berlimpah yang dimilikinya tidak dapat
melupakannya dari kenangan kepada istrinya.
Ketika
suatu ketika ia nekat mengintip sang istri makan di restoran kesayangan mereka
berdua, didampingi musikus yang dulunya bintang rock tenar itu, tak dapat lagi
dicegah keinginannya untuk membebaskan diri dari pengendalian setan. Dan dalam
kekalutan jiwa itu ia berupaya mencari Tuhan. Dan Tuhanpun muncul -dalam
personifikasi seorang pengkhotbah sederhana, dan kemudian lagi, seorang
penduduk desa yang bersahaja.
Karena
kesungguhan mencari Tuhan itulah maka sang Tuhan berbentuk manusia itu merasa
belas kasihan. Lebih-lebih, karena sewaktu musikus-lalu-bintang rock terkenal
itu masih anak-anak ayahnya pernah bekerja menanamkan kepercayaan dan cinta
kepada Tuhan dan sesama. Tuhan berterima kasih kepada ayahnya itu - dengan
jalan menolong diri musikus-lau-bintang-rock-tenar itu. Pertolongan Tuhan itu
dinyatakan dalam bentuk sangat unik. Kedua personifikasi Setan dan Tuhan
bertanding dalam permainan poker. Taruhannya: kalau setan menang, bintang rock
tenar akan tetap dikuasainya: kalau sebaliknya ia akan diperbolehkan menjadi
musikus sederhana.
Ternyata,
Tuhan menang (bagaimana Tuhan dapat digambarkan kalah?) dan bebaslah sang
makhluk dari cengkeraman setan. Caranya? Sang bintang rock tenar bunuh diri -
dengan obat terlarang, dalam dosis berlebihan. Jiwanya keluar, menjelma menjadi
musikus semula. Kebetulan musikus yang menempati raganya sebelum itu bertugas
meliput kegiatan bintang rock tenar itu sebelum kematiannya.
Jiwa
dipertukarkan. Bintang rock tenar dipulangkan sukmanya ke neraka, untuk
memenuhi perjanjiannya dengan setan. Sang musikus langsung pulang ke rumah -
kedalam kebebasan, ke dalam kekurangan dan kemelaratan. Tetapi juga kepada
istrinya yang dicintainya, yang tengah mengandung tua dari benihnya dahulu.
Kandungan tua istrinya itulah yang menyebabkan ia berontak dari kemewahan dan
mencari pertolongan Tuhan untuk menjadi musikus miskin.
Siklus
kehidupan yang positif: kembalinya sang pengembara, yang menyadari bahwa
kemewahan tidak sebanding nilainya dengan kebebasan diri sebagai insan.
(Sumber:
TEMPO, 21 Desember 1985)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar