Selasa, 19 November 2013

Perlu Keterbukaan

Pada tahun 399 sebelum kelahiran Nabi Isa a.s, de sebuah penjara kuno, seorang laki-laki tua meminum racun dengan tenang. Kawan-kawannya tak sanggup menahan tangis. Ruang penjara yang pengap itu  segera dipenuhi oleh tangisan. "Raungan aneh apa ini?" kata seorang lelaki bercambang lebat itu. "Aku suruh perempuan keluar supaya mereka tidak menggangu aku seperti ini. Bukankah orang mati harus dengan damai? Tenanglah. Bersabarlah" Yang menangis menghentikan tangisan mereka. Perlahan-lahan robohlah orang tua itu.

Ketika muridnya menuliskan peristiwa kematiannya, dia masih juga terharu: " Itulah akhir hidup sahabat kami. Aku dapat menyebutnya sebagai orang yang paling bijak, paling adil, paling baik dari semua orang yang aku kenal". Orang tua itu bernama Socrates. Murid yang setia dan menceritakan peristiwa itu adalah Plato. Mengapa orang bijak ini mesti mati? Dosa apa yang ia lakukan?

Socrates bukan penjahat, bukan pula koruptor. Dia hidup sangat sederhana, sehingga istrinya Xantippe sering mengomel. "Aku ini dukun beranak yang membantu orang melahirkan. Bukan melahirkan anak, tapi melahirkan gagasan", kata Socrates. Dia memang disenangi anak-anak muda. Setiap kalio dia memberikan ceramah, ratusan anak muda Yunani yang cerdas berkumpul di sekitarnya. Dia mengajak mereka berpikir kritis. Dia mendorong mereka untuk membuka diri terhadap gagasan-gagasan baru. Jiwa-jiwa muda yang bersih terpesona. Mata mereka terbuka melihat dunia, persis seperti bayi yang baru lahir.

Socrates memang dukun beranak. Untuk "profesi"nya itu. dia harus mati. Dia pun rela mati demi sebuah keterbukaan. "Socrates meresahkan masyarakat" kata pemuka masyarakat. Dia dipanggil ke pengadilan. Tapi Orakel di Delphi, juga Plato dan para pemikir sepanjang sejarah, menyebutnya orang yang paling bijak. Dia mempengaruhi ribuan orang sesudah dia mati.

Lewat Plato, kira-kira seribu lima ratus tahun kemudian, ada anak muda Islam yang memilih hidup seperti Socrates. Dia menjelajahi sudut-sudut negeri Persia dan menyauk hikmah Persia yang ditinggalkan orang. Dia menelusuri pelosok -pelosok Anatolia dan Syria dan berguru kepada orang-orang Sufi yang arif. Dia pun mendatangi kota-kota besar wilayah Islam waktu itu; berbincang dengan para filosof pecinta hikmah Yunani.

Akhirnya anak muda ini "terdampar" di istana Malik Zhahir, putra Salahuddin Al Ayyubi. Dia dicintai Malik karena kecerdasannya, kearifannya dan terutama skali karena keterbukaan. Dia menyuruh orang untuk belajar filsafat, dan pada saat yang sama mendorong orang untuk menyucikan dirinya lewat tasawuf. Dia mengajak orang Islam untuk memperkaya dirinya dengan berbagai hikmah yang datang dari manapun_Yunani, India, Persia. Anak-anak muda menyukainya tetapi tidak denga para ulama. Mereka menuduh pemuda ini meresahkan masyarakat, merusak aqidah, dan menyesatkan umat. Mereka medesak Malik untuk menangkapnya. Sang Pangeran yang sudah tercerahkan tidak ingin menangkap sahabatnya. Para ulama pergi "ke atas", kepada Salahuddin Al Ayyubi. yang tengah memerlukan ulama, didesak untuk menghukum pemuda itu. Pada tahun 587 Hijri, seperti Socrates, anak muda ini mati di penjara kerena dicekik atau karena kelaparan.

Delapan ratus tahun kemudian, Henry Corbin, filosof Prancis menemukan peninggalan dia. Syihabuddin Suhrawardi. Anak muda yang mati terbunuh di usia 39 tahun itu ternyata manusia yang sangat luar biasa. Bila Al Farabi adalah Magister Secundus (Guru Kedua) yang menghidupkan  ajaran Aristoteles yang rasional, maka Suhrawardi adalah Magister Secundus ajaran Plato yang ideal. Suhrawardi adalah pendiri aliran Isyraqiyyah (iluminasionisme) dalam filsafat Islam. Dalam hidupnya yang singkat, dia menulis puluhan buku tebal. Dia filosof yang dikaruniai Allah kemampuan menulis seorang novelis. Salah satu bukunya adalah Al-Ghurbah Al Gharbiyyah (Keterasingan Barat) adalah novel filsafat yang lebih mempesonakan daripada Also Spranch Zarathustra karya Nietszche.

Genius besar ini mati dalam usia muda. Dosa nya sama denga dosa Socrates. Dia menganjurkan keterbukaan. Dia mengajak orang melepaskan diri dari sekat-sekat mazhab yang sempit. Dia bberwawasan nonsektarian. Socrates mati. Suhrawardi mati dan boleh jadi ratusan pemikir nonsektarian mati atau dimatikan. Namun keterbukaan selalu dirindukan orang, khususnya oleh anak muda yang cerdas.

Kang Jalal

Jumat, 15 November 2013

Perjanjian Dengan Setan



Oleh : Abdurrahman Wahid

Di tahun-tahun lima puluhan, beredar terjemahan noveler Damon Runyon, "Hantu dan Daniel Webster". Isinya tetang seorang Amerika abad lalu yang menggadaikan jiwanya kepada setan agar berhasil gemilang dalam profesi. Diakhir masa gadai, sang setan datang untuk menagih: orang itu harus hidup dalam bentuk lain. Menjadi kupu yang ditaruh dalam sebuah tabung, mengutuki nasibnya yang jelek, menjadi hamba setan.
Untungnya, melalui berbagai argumen dalam perdebatan antara pembela hukumnya - Daniel Webster - dan sang setan, dalam sebuah ‘peradilan spiritual' yang unik orang itu akhirnya dibebaskan dari sanksi.
Bagi kita, penggadaian jiwa kepada setan bukan dongeng aneh. Sekian banyak kepercayaan akan "pesugihan" sudah menjadi pengetahuan umum - dari soal monyet di Gunung Kawi, yang dikatakan penjelmaan dari mereka yang dulu dianugerahi kekayaan luar biasa, hingga babi jadi-jadian yang konon kembali menjadi manusia dikala mati dibunuh orang. Juga tuyul, yang kemarin dipopulerkan itu.
Menarik, bangsa-bangsa  Barat pun memiliki perbendaharaan cerita seperti itu, seperti dibuktikan Damon Runyon dalam noveletnya (cerita-pendek panjang) yang tadi. Tetapi ada perbedaan mendasar dalam pendekatan kepada materi pokoknya. Kepercayaan bangsa kita  itu menunjukkan sikap pasrah kepada ‘intervensi supranatural': paling jauh hanya mengambil intisari moral dari cerita atau kepercayaan itu, yaitu imbauan agar kita tidak menggadaikan jiwa kepada setan. Para penulis Barat, Seperti Damon Runyon tekanannya justru pada upaya membebaskan diri dari ‘sanksi hukum' setan.
Ini tentu dibawakan oleh nilai yang melandasi sikap hidup yang berbeda. Kita tidak mementingkan kebebasan manusia, sebagai peperangan,dari cengkeraman nasib, karena kita memang berwatak pasrah. Manusia Barat setidak-tidaknya sebagai prototipe justru menghardik nasib dan merebut inisiatif dari tangannya.  Karenanya, setan pun harus di lawan.
Sikap berani menentang surtan takdir seperti itu sudah tentu tidak tumbuh dalam sekejab: ia merupakan hasil perjalanan sejarah  panjang. Pun bukan merupakan sikap terbaik yang dapat dirumuskan manusia bagi hidupnya, karena sekularisme yang dihasilkannya juga membawakan krisisnya sendiri kepada ‘manusia Barat' saat ini. Namun, tak dapat diingkari ‘Manusia Barat' berwatak ingin menentukan nasibnya sendiri, bebas dari campur tangan siapapun juga.
Dalam perjalanan kian-kemari, penulis menonton di sebuah tempat sebuah filem menarik, dengan tema seperti itu. Film berjudul "Oh God, You Devil"  menampilakan gambaran baru dari tema lama damon Runyon di atas. Hanya saja penyelesaiannya idak dilakukan melalui sidang ‘pengadilan spiritual'.
Seorang musikus, yang belum berhasil mengangkat karier dalam usia 30 tahun, bertemu dengan sang setan. Makhluk ini berkuasa ini tampil dalam  sosok seorang agen yang menjanjikan promosi serba tuntas bagi sang musikus. Dalam keputsasaan akibat kebuntuan karier, si musikus menerima keagenan setan atas dirinya. Maka ia pun  ditukar secara fisik,  dengan seorang penyanyi rock sangat tenar - yang sudah sampai ‘masa perjanjian' nyadengan sang setan. Jiwa mereka bertukar tempat, alias bertukar raga.
Bintang rock tenar menjdi musikus yang mendampingi istri musikus yang tak maju-maju itu, tanpa sang istri menyadarinya. Sang musikus lokal, sebaliknya, langsung menjadi bintang tenar, dengan segala kesenangan hedonistiknya. Itu berjalan cukup lama. Namun, kemewahan berlimpah yang dimilikinya tidak dapat melupakannya dari kenangan kepada istrinya.
Ketika suatu ketika ia nekat mengintip sang istri makan di restoran kesayangan mereka berdua, didampingi musikus yang dulunya bintang rock tenar itu, tak dapat lagi dicegah keinginannya untuk membebaskan diri dari pengendalian setan. Dan dalam kekalutan jiwa itu ia berupaya mencari Tuhan. Dan Tuhanpun muncul -dalam personifikasi seorang pengkhotbah sederhana, dan kemudian lagi, seorang penduduk desa yang bersahaja.
Karena kesungguhan mencari Tuhan itulah maka sang Tuhan berbentuk manusia itu merasa belas kasihan. Lebih-lebih, karena sewaktu musikus-lalu-bintang rock terkenal itu masih anak-anak ayahnya pernah bekerja menanamkan kepercayaan dan cinta kepada Tuhan dan sesama. Tuhan berterima kasih kepada ayahnya itu - dengan jalan menolong diri musikus-lau-bintang-rock-tenar itu. Pertolongan Tuhan itu dinyatakan dalam bentuk sangat unik. Kedua personifikasi Setan dan Tuhan bertanding dalam permainan poker. Taruhannya: kalau setan menang, bintang rock tenar akan tetap dikuasainya: kalau sebaliknya ia akan diperbolehkan menjadi musikus sederhana.
Ternyata, Tuhan menang (bagaimana Tuhan dapat digambarkan kalah?) dan bebaslah sang makhluk dari cengkeraman setan. Caranya? Sang bintang rock tenar bunuh diri - dengan obat terlarang, dalam dosis berlebihan. Jiwanya keluar, menjelma menjadi musikus semula. Kebetulan musikus yang menempati raganya sebelum itu bertugas meliput kegiatan bintang rock tenar itu sebelum kematiannya.
Jiwa dipertukarkan. Bintang rock tenar dipulangkan sukmanya ke neraka, untuk memenuhi perjanjiannya dengan setan. Sang musikus langsung pulang ke rumah - kedalam kebebasan, ke dalam kekurangan dan kemelaratan. Tetapi juga kepada istrinya yang dicintainya, yang tengah mengandung tua dari benihnya dahulu. Kandungan tua istrinya itulah yang menyebabkan ia berontak dari kemewahan dan mencari pertolongan Tuhan untuk menjadi musikus miskin.
Siklus kehidupan yang positif: kembalinya sang pengembara, yang menyadari bahwa kemewahan tidak sebanding nilainya dengan kebebasan diri sebagai insan.
(Sumber: TEMPO, 21 Desember 1985)

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...