Minggu, 08 Februari 2015

Toleransi dan Intoleransi dalam Tradisi Islam (Perspektif Mohammad Arkoun)

“Toleransi tidak akan terwujud di dunia Islam
kecuali setelah mendekonstruksi ortodoksi”
~Mohammed Arkoun~


Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun (1 Februari 1928 – 14 September 2010) adalah pemikir Islam kelahiran Aljazair yang sangat berpengaruh dalam studi kritis Islam dan dialog lintas agama. Dia adalah guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne.  Banyak karya tulisannya yang mencerahkan, mengilhami juga memberikan sumbangan pemikiran dalam hal studi Islam. Dari banyak karya nya, wacana toleransi adalah hal yang sangat menyita perhatian Arkoun. Dalam hal ini, sehubungan dengan meningkatnya aksi-aksi terorisme dengan mengatas namakan Islam.  Dalam menyikapi stigma buruk terhadap Islam yang diakibatkan oleh terorisme, kaum Muslimin pada umumnya berapologi, secara normatif dengan didukung kutipan ayat dan hadis bahwa Islam sejatinya adalah agama toleransi. Menurut pandangan dogmatis arus utama, justru orang-orang  Yahudi dan Nasrani lah yang fanatik dan intoleran. Ini adalah pandangan yang subyektif bahwa agama mereka lah yang toleran, sementara pemeluk agama lain lah yang intoleran. Meskipun mengaku toleran, kaum Muslimin tersebut malah memilih diam seribu bahasa ketika kebebasan berpendapat dan kebebasan berkeyakinan di pegang oleh lembaga-lembaga pemegang otoritas resmi agama oleh kelompok-kelompok radikal.  Lembaga pemegang otoritas dan kelompok radikal sering sepakat bahwa pemikiran yang menyeleweng ataupun kelompok minoritas yang diklaim sesat boleh didiskriminasikan demi menjaga kesakralan agama dan kemurnian aqidah kaum mayoritas.
Pandangan dogmatis arus utama tersebut mendapat kritik tajam dari Mohammed Arkoun karena dinilai tidak obyektif. Arkoun berusaha jujur, bahwa dalam tradisi Islam terdapat elemen-elemen yang ekslusif-intoleran sekaligus inklusif- toleran.  Di dalam masa modern pun, toleransi masih merupakan isu langka di masyarakat Arab yang hingga kini masih dihegemoni oleh teologi abad pertengahan.  Itulah yang mengakibatkan begitu banyak komunitas Yahudi, Katolik, Protestan, Ortodoks Yunani, Ortodoks Armenia juga Ortodoks Spanyol memilih meninggalkan Maroko, Algeria, Tunisia, Mesir, dan Iran menuju negara-negara Barat. Begitulah realitas dunia Islam, tak terkecuali di Indonesia, dimana para pemeluk Islam masih terkungkung oleh fanatisme dan ortodoksi sehingga wacana pluralisme dan inklusivisme masih dimusuhi bahkan tak jarang diintimidasi dengan cara kekerasan.


Apakah Islam Agama Toleran?
            Setelah mencermati fakta-fakta intoleran tersebut, Arkoun enggan menggunakan istilah tolerance (al-tasāmuh)  pada Islam. Arkoun tidak mau terjebak dalam slogan Islam agama yang toleran (al- Islām dīn samhah). Atau semboyan yang sering digembar-gemborkan di media massa atau mesjid-mesjid, “Tidak ada paksaan dalam agama” (la ikrāha fī al-dīn).  Justifikasi dari para pengkhutbah ini adalah bahwa Islam adalah agama yang mendahului agama-agama lain dalam hal mengajarkan spirit bertoleransi. Namun, sayangnya, slogan tersebut tidak sejalan dengan kenyataan di dunia Islam yang selalu menampilkan kekerasan, terorisme juga bom-bom bunuh diri. Berdasarkan ambiguitas antara slogan dan realitas sosial ini, Arkoun hendak menawarkan pandangannya mengenai wacana toleransi juga syarat-syaratnya yang harus dipenuhi dalam dunia Islam.
Menurut Arkoun, semua tradisi agama pasti menawarkan ajaran dan semboyan yang terbangun dari system nalar tertentu. Ajaran dan semboyan semua agama mengalami proses perjalanan sejarah yang panjang. Dari mulai periode oral (marhalah safahi) pada masa nabi-nabi hingga periode kodifikasi (marhalah tadwīn) pada masa generasi penerusnya. Artinya, tidak semua ajaran dan semboyan agama ditulis pada masa para nabi.  Dalam proses perjalanan sejarah itu, tentu saja ada ajaran yang hilang, ditambahkan, diperdebatkan, bahkan dimanipulasi. Bahkan tradisi yang dijaga melalui memori hafalan manusia biasa bisa saja salah dan lupa. Sejarah Islam telah bercerita bahwa teks-teks agama sering dimanipulasi oleh sekte-sekte yang bertikai mempertarungkan ideologi dan kepentingan politik.
            Tradisi yang terkodifikasi dan termanipulasi ini pada akhirnya menjadi struktur nalar teologis yang otoritatif; ia dipelihara dan disakralkan oleh pemegang otoritas ortodoks. Para pemeluk agama kemudian diwajibkan tunduk dan patuh kepada tradisi yang terkodifikasi. Jika tidak patuh, akan dikucilkan dan didiskriminasi dengan klaim kafir, heterodoks, mulhid, bid’ah, heretic, zindiq, sesat, dan tuduhan negatif  lainnya. Dari sinilah akar kemunculan ekslusivisme dan fanatime beragama yang tak kenal belas kasihan kepada kelompok minoritas yang disesatkan. Ekslusivisme dan fanatisme merupakan penyakit kekakuan mental beragama yang disebabkan oleh doktrin dogmatis. Pemeluk agama yang terkena penyakit ini cenderung mudah mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pandangan karena dinilai tidak seiman. Pemeluk agama ekslusif tidak bisa menerima pemikiran kelompok lain dengan tuduhan sesat.  Pemikirannya yang berawal dari “wilayah terlarang untuk dipikirkan” (dairah mamnū’ al-takfīr fīh), akhirnya sikap ekslusif akan menuju proses berikutnya yaitu stagnansi pemikiran keagamaan (al-jumūd al-fikr). Hal ini disebabkan oleh wawasan agama yang tunggal, sempit dan tertutup. Nalar inilah yang memicu sikap-sikap intoleran dan tidakan-tindakan kekerasan atas nama agama.
            Nalar dogmatis ekslusif (al-‘aql al dughmaiy al-mughallaq) merupakan nalar yang terbentuk secara hegemonik dalam semua tradisi agama. Ia mengatas namakan dirinya sebagau otoritas resmi yang disakralkan. Otoritas resmi begitu gigih mengaku dirinya berhak benar atau sesatnya sebuah pemikiran atau aliran. Ia juga secara arogan mengklaim berhak menentukan apa-apa yang berhak dipikirkan dan apa-apa yang dilarang untuk dipikirkan. Hal- hal yang terlarang untuk dipikirkan patut disingkirkan karena dinilai sesat dan menyesatkan (dāllun mudillun). Otoritas resmi seakan-akan mempunyai stempel benar dan sesat. Pluralisme, liberalisme dan isme-isme lainnya disesatkan dan dilarang untuk dipikirkan (mamnū’ al-takfīr fih). Otoritas resmi selalu berusaha menjaga kewibawaannya dengan cara memfungsikan dan mengutip Al-Quran, hadist dan simbol-simbol agama berupa pendapat sahabat dan ulama salaf yang shaleh. Ciri khas otoritas resmi Islam, misalnya akan membiarkan orang-orang yang berusaha  mengungkapkan kebobrokan Barat dan otoritas agama lain. Namun, sebaliknya, otoritas resmi Islam secara ironis akan memusuhi siapa saja yang berani mengkritik kewibawaannya. Itulah arogansi dan intoleransi dalam tradisi agama. Nalar-nalar seperti ini harus didekonstruksi  dan didesakralisasi guna mewujudkan toleransi dan kebebasan berpendapat.
            Ciri khas lain nalar dogmatis ekslusif adalah penolakannya terhadap pemisahan antara aspek agama dan politik. Pemisahan agama dan politik adalah bentuk sekularisasi yang terlarang untuk dipikirkan menurut otoritas ortodoks. Penolakan-penolakan semacam ini lah yang menghalangi dunia Islam untuk memasuki gerbang modernitas. Konsekuensinya, keterbelakangan dan keterkucilan negara-negara Islam menjadi hal yang tak terhindarkan. Dan sebagai ungkapan kekecewaan dan rasa frustasi, tersulutlah kekerasan dan terorisme atas dalih ketidak adilan.
            Nalar dogmatis ekslusif senantiasa meyakini dan memonopoli kebenaran tunggal. Kebenaran hanya satu, sakral, statis, dan terjaga sampai hari kiamat. Kebenaran tunggal harus dilindungi oleh otoritas resmi dengan cara mengorbankan kelompok minoritas yang dinilai menyimpang dari konsensus (Ijma’). Demi melindungi kesakralan iman dan simbol agama, kelompok minoritas seakan-akan sah meminta korban-korban atas nama agama. Kata kuncinya adalah klaim kebenaran (truth claim). Para pemeluk agama yang ekslusif tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan rela mati untuk menjaga kebenaran dogma-dogma agamanya yang disakralkan dan diyakini absolut. Ini adalah nalar semua agama yang terideologisasi oleh otoritas resmi.
Radikalisme dan Solusinya
            Untuk mengantisipasi radikalisme (deradikalisasi), Arkoun menawarkan solusi berupa  “deideologisasi agama”. Deideologisasi adalah upaya membedakan antara agama autentik dengan agama yang terideologisasi oleh kelompok-kelompok radikal. Agama autentik adalah agama yang terbuka dan toleran, sedangkan agama yang terideologisasi adalah agama yang ditafsirkan secara harfiah, dangkal, kering, reduktif, manipulatif dan subyektif dan menjadikan agama sebagai sesuatu yang tertutup dan intoleran. Pandangan ini ada benarnya dengan bukti bahwa agama Yahudi autentik mengajarkan bahwa membunuh satu manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia. Agama Kristen autentik mengajarkan bahwa bila pipi kananmu ditampar maka berilah pipi kirimu. Rasulullah SAW pun mengajarkan untuk tidak membalas dendam jika disakiti. Nabi pernah menjenguk non muslim yang meludahinya, Nabi menyuapi pengemis Yahudi yang buta, Nabi memaafkan orang yang menjahilinya ketika berada di jalan. Sayangnya, etika toleran  dan akhlaq mulia (makarim al-akhlaq) seperti ini hampir “tak terpikirkan “ (al la mufakkar fīh) oleh kelompok-kelompok radikal.
            Deradikalisasi menuntut upaya desakralisai terhadap lembaga resmi, sistem hukum, dan sistem politik yang sering dimanipulasi dalam bentuk teokrasi. Desakralisasi inilah yang memungkinkan terjadinya perubahan demi perubahan pada system politik dan hukum masyarakat. Namun sayangnya, masyarakat muslim belum mampu melakukan revolusi pemikiran dan meninggalkan paradigma teokratis yang  notabene merupakan warisan tradisi politik abad pertengahan. Kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi masih dikafirkan, sementara sistem khilafah  tetap dipaksakan oleh kaum fundamentalis.
            Namun,  diakui bahwa proses deradikalisasi, desaklarisasi dan sekularisasi membutuhkan waktu yang panjang. Sebagaimana Eropa yang membutuhkan waktu kurang lebih seribu tahun.  Gagasan pencerahan di tengah dominasi para agamawan dalam perjalanan sejarahnya akhirnya memunculkan konsep toleransi di Eropa. Dengan latar belakang perjalanan sejarah Eropa inilah tampaknya kurang bijaksana jika para ulama seraca normatif mengklaim bahwa toleransi adalah murni konsep Islam.
Masa Depan Toleransi Islam
            Lalu bagaimana dengan masa depan Toleransi Islam? Arkoun dengan tegas menjawab bahwa “toleransi tidak akan bisa diwujudkan di dunia Islam kecuali setelah mendekostruksi bangunan ortodoksi teologi tradisional seperti yang pernah terjadi di Eropa modern”. Namun realitas berkata lain: dunia Islam justru gagal menanamkan benih-benih toleransi akibat dari monopoli-monopoli kebenaran yang dilakukan ulama-ulama dari kelompok konservatif. Masing-masing sekte/kelompok saling menyesatkan dan tanpa ragu-ragu bermain hakim sendiri bahkan sampai merusak properti,  tempat-tempat ibadah milik orang lain.
            Untuk menyikapinya, Negara harus menegakkan undang-undang yang menjamin kebebasan berfikir bagi seluruh agama, sekte serta aliran filsafat. Kebebasan berpendapat tidak boleh dikekang. Seperti misalnya seorang penulis memiliki kebebasan berpendapat dan harus mempertanggung jawabkan pendapatnya secara akademis melalui dialog yang inklusif. Selain itu, Negara membutuhkan masyarakat madani yang kaya wawasan agar memaklumi pandangan-pandangan yang berlainan dan Negara harus menegakkan kesetaraan hukum yang mengayomi seluruh warganya. Solusi inilah yang diterapkan di Negara-negara demokrasi di Eropa. Di sana, undang-undang anti penodaan agama sudah dihapus, setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya tanpa takut dianiaya. Kebijakan itu diambil berdasarkan kesadaran bahwa keyakinan merupakan sebuah wilayah yang privat, tidak bisa diintervensi oleh orang lain dan Negara. Realitas tersebut  sangat kontras dibandingkan dengan negara-negara di dunia Islam yang masih diwarnai dengan fenomena pengkafiran dan pembunuhan yang menimpa pemikir Islam progresif. Di Indonesia pun demikian, dimana orang-orang yang berpikiran Islam progresif   malah dituduh menodai agama dan bahkan diteror. Toleransi Islam, Quo Vadis? []


1 komentar:

  1. kak saya mau tahu .artikel diatas, kakak ambil dari buku judulnya apa?

    BalasHapus

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...