Pemenang hadiah Nobel beragama
Yahudi Elie Wiesel menjalani hidup hanya untuk Tuhan selama masa kanak-kanaknya
di Hungaria. Hidupnya telah dibentuk oleh ajaran-ajaran Talmud dan dia berharap
suatu hari akan diinisiasi untuk masuk ke dalam misteri Kaballah. Sebagai
seorang anak laki-laki, dia dibawa ke Auschwitz dan kemudian ke Buchenwald.
Pada malam pertamanya di kamp maut itu, menyaksikan asap hitam menggulung ke
angkasa dari ruang gas/krematorium tempat ibunya dan saudara-saudaranya
dilemparkan, dia tahu bahwa nyala api telah memadamkan imannya untuk selamanya.
Dia berada dalam sebuah dunia yang berhubungan secara obyektif dengan dunia tak
bertuhan seperti yang dibayangkan Nietzcshe. “Tak pernah kulupakan keheningan
malam yang membinasakan hasrat hidup dari diriku untuk selamanya” Tulisnya
beberapa tahun kemudian. “Takkan pernah kulupakan saat-saat yang telah membunuh
Tuhanku dan jiwaku, menghancurkan mimpi-mimpiku”.
Suatu hari Gestapo menggantung
seorang anak. Bahkan SS terusik oleh bayangan menngantung seorang anak kecil di
depan ribuan penonton. Seorang anak, kenang Wiesel, berwajah “malaikat dengan
sorot mata sedih”, membisu, pucat dan sangat tenang ketika naik ke tiang
gantungan. Di belakan Wiesel, seorang
tawanan lainnya bertanya “ Dimanakah gerangan Tuhan? Dimana Dia?” Setengah jam
kemudian anak itu mati sementara para tawanan dipaksa untuk melihat wajahnya.
Orang tadi bertanya lagi: ”Dimanakah gerangan Tuhan sekarang?”. Dan Weisel
menjawab : “Dia disini. Dia digantung disini di tiang gantungan ini”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar