“Membuat orang gelisah, itulah tugas saya.” (F. Nietzsche)
Friedrich Nietzsche adalah suara ganjil dari zaman modern. Filsuf yang satu ini dikenal sebagai pemberontak terhadapn kemapanan dan dogmatisme. Dialah orang pertama yang terang-terangan menyatakan bahwa “Tuhan telah mati”. Dengan tanpa gentar, dia juga menyuarakan nihilisme sebagai kebajikan utama, menggantikan nilai-nilai moralitas yang menurutnya telah usang.
Membaca pemikiran Nietzsche, kita akan dihadapkan pada satu sosok yang tak kenal lelah untuk mencari kebenaran. “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah!” katanya. Ia selalu memprovokasi pembacanya untuk tak berhenti pada suatu keyakinan. Ia mengajajak orang-orang untuk mempertanyakan ulang apa yang tabu, bukan haram, untuk disentuh.
Karena itu, ia begitu sering dicemooh. Ia dicap ateis, meskipun di akhir hidupnya ia terus menyebut-nyebut nama Tuhan dan begitu merindukannya. Ia juga dilabeli “gila”. Pikiran-pikirannya dianggap tak lebih dari lamunan kosong manusia tak waras.
Tapi betapapun kontroversialnya, Nietzsche memang hadir untuk mengguncang. Ia melawan arus zamannya, ketika orang begitu optimis pada dunia. Ia membalikkan keyakinan orang pada ilmu pengetahuan dan agama. Ia juga berteriak sinis terhadap kekuasaan, ketika banyak orang di zamannya takluk dan menghamba pada negara. Bagi Nietzsche, semua ini adalah rintangan yang harus diatasi agar manusia menjadi kuat. Semua ini hanyalah ilusi, yang akan membuat orang puas dan berhenti mencari.[1]
B. Riwayat hidup Nietzsche
1) latar belakang keluarga dan masa kecil
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken (Saxe-Prussia), 15 Oktober 1844, anak Karl Ludwig dan Franzizka Oehler. Ayahnya adalah pendeta Lutheran di kota Rocken. Kakek dan kakek buyut Nietzsche dari pihak ibu semuanya berprofesi sebagai pendeta. Adik perempuan Nietzsche (Elisabeth)—yang nantinya memiliki peran khusus untuk karya-karya Nietzsche yang diterbitkan setelah kematian Nistzsche—lahir dua tahun kemudian pada bulan Juli 1846. Belum genap Nietzsche berusia 5 tahun, ayahnya meninggal dunia pada tanggal 30 Juli 1849 pada usia 36 tahun.[2]
Di desa Rocken, keluarga Nietzsche terkenal amat saleh dan taat beribadah. Bahkan ibunya tergolong tipe orang Kristen yang tidak dapat memahami bahwa orang yang sudah membaca dan mempelajari Injil masih meragukan kebenaran yang ada di dalamnya. Sikap Franziska Oehler ini sering bertabrakan dengan sikap-sikap Nietzsche selanjutnya. Dan tragisnya, Fraziska adalah orang yang paling dekat dengan Nietzsche.
Usai peristiwa meninggalnya ayah Nietzsche, keluarga mereka kembali terpukul lagi ketika adik Nietzsche, Joseph, meninggal pada tahun berikutnya. Sejak itu seluruh keluarga pindah ke Naumburg, kota asal nenek moyang Nietzsche. Mereka mencoba memulai fase hidup baru di sana. Dan dalam keluarga ini, kini Nietzsche merupakan satu-satunya anak lelaki. Anggota keluarga yang lainnya adalah ibu, kakak perempuan dan kedua tante dan nenek.
Menjelang umur enam tahun, Nietzsche masuk sekolah gymnasium. Ketika itu sebenarnya dia sudah bisa membaca dan menulis, sebab dia sudah diajar oleh ibunya. Di sekolah, Nietzsche termasuk orang yang amat pandai bergaul. Dengan cepat ia dapat menjalin persahabatan dengan teman-teman sekolahnya. Melalui teman-temannya inilah ia mulai diperkenalkan dengan karya Goethe dan Wagner. Dari perkenalannya yang pertama dengan sastra dan musik, ia merasa bahwa dia cukup mempunyai bakat dalam bidang itu.
2) Sebagai pelajar dan mahasiswa
Pada umur 14 tahun, Nietzsche pindah ke sekolah dan sekaligus asrama yang bernama Pforta. Sekolah ini dikenal cukup keras dan ketat. Acara-acara disusun sedemikian ketat sehingga seolah-olah para murid merasa hidup di penjara. Hanya pada hari Minggu anak-anak diberi sedikit kebebasan, yaitu tidur setengah jam lebih lama. Sedangkan jam-jam lainnya dipakai untuk mengadakan semacam pengulangan atau repetisi pelajaran-pelajaran yang sudah diterima selama seminggu yang baru saja berlalu.
Selama di Pforta Nietzsche belajar bahasa Yunani dan Latin secara intensif. Dari sinilah dia mendapatkan bekal yang kuat untuk menjadi seorang ahli filologi yang brilian. Di samping belajar kedua bahasa itu, ia juga masih belajar bahasa Hibrani, karena pada waktu itu ia masih tetap bermaksud menjadi pendeta sesuai dengan keinginan keluarganya. Namun, Nietzsche mengakui bahwa dia tidak berhasil menguasai bahasa Hibrani. Bagi Nietzsche, tata bahasa Hibrani yang termasuk rumpun bahasa Semit ini dirasa terlalu sulit.
Di kota Pforta inilah Nietzsche mulai merasa kagum dengan karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Bersama dengan dua temannya, Wilhelm Pinder dan Gustav Krug, Nietzsche membentuk semacam kelompok sastra yang diberi nama Germania. Dalam kelompok ini mereka berlatih mendiskusikan karya-karya bermutu, baik berupa artikel-artikel maupun puisi-puisi. Dengan cara inilah Nietzsche mulai tertarik melatih mengungkapkan gagasan-gagasan dan emosinya melalui puisi.
Pada tahun-tahun terakhir di Pforta, Nietzsche sudah menunjukkan sikap jalangnya. Dalam tulisannya, Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman), ia mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami.
Bersamaan dengan itu ia juga mempertanyakan iman Kristennya dan bahkan secara perlahan-lahan mulai meragukan kebenaran seluruh agama.
Pada Oktober 1864, Nietzsche melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk memperdalam filologi dan teologi. Di bidang filologi, Nietzsche diajar oelh Friedrich Ritschl, yang pada tahun-tahun selanjutnya banyak membantu kemahiran Nietzsche dalam filologi. Tetapi pada tahun 1865, Nietzsche sudah memutuskan untuk tidak belajar teologi lagi.
Keputusan itu amat erat kaitannya dengan kepercayaan Nietzsche yang sudah mulai pudar sejak ia masih tinggal di Pforta. Sampai saat ini ia bersedia belajar teologi hanya karena cintanya pada ibu dan ayahnya, sebab dengan belajar teologi, ia dapat menjadi pendeta dan denga demikian dapat meneruskan profesi ayahnya. Keputusan ini mendapat perlawanan keras dari ibunya. Di antara mereka pernah terjadi diskusi melalui surat tentang hal itu. Dalam satu suratnya Nietzsche pernah menulis:
“Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan maka: percayalah, jika engkau ingin menjadi murid kebenaran: carilah…!”
Sejak di Pforta, Nietzsche merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan hidup. Berkali-kali ia menyatakan mau mengadakan semacam pencarian dan pecobaan (versuch) dengan hidupnya. Sikap ini nanti akan mempengaruhi seluruh filsafatnya, khususnya metode filsafatnya. Ia melakukan percobaan ini secara radikal dengan melepaskan teologi. Ia memilih menjadi seorang freethinker. Ia ingin bebas, tidak hanya bebas melepaskan beban, tetapi juga bebas memilih beban yang lebih berat.
Di Bonn, Nietzsche hanya bertahan selama dua semester. Pada pertengahan 1865, ia pindah ke Leipzig untuk belajar filologi selama empat semester. Di sana ia akrab dengan dosennya, F. Ritschl, yang diakui oleh dosennya sebagai mahasiswa yang paling berbakat di antara semua mahasiswa yang pernah diajarnya.
Pengalaman membaca karya Schopenhauer adalah salah satu peristiwa terpenting dalam kehidupan intelektual Nietzsche. Dan ini juga terjadi di Leipzig pada akhir Oktober 1865. Saat itu ia sedang mengalami kegelisahan dan kegundahan yang amat mendalam. Ia sedang merasa amat pesimis akan hidupnya. Ketika mengunjugi sebuah toko buku-buku bekas, ia tertarik pada salah satu buku bekas karya Schopenhauer (1788-1860), yaitu Die Welt als Wille und Vors-tellung (The World as Will and Idea, Dunia sebagai kehendak dan Ide, 1819). Semula ia membeli buku ini “iseng” saja. Tetapi setelah membaca buku itu sampai habis, ia segera menyatakan diri pada temannya bahwa ia sudah menjadi pengikut Schopenhauer.
Pada tahun 1867-1868, terjadi perang antara Jerman melawan Prancis. Ketika itu Nietzsche didaftar sebagai anggota dinas militer. Meskipun amat tidak senang dengan tugas itu, akhirnya ia tetap melaksanakannya. Selama menjalani dinas militer Nietzsche mendapatkan banyak pengalaman yang tak terduga sebelumnya. Ia mengalami kecelakaan (jatuh dari kuda) dan terpaksa dirawat selama satu bulan di Naumburg. Ia juga menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis sebagaimana terjadi pada setiap perang. Seluruh pengalaman ini menimbulkan kegoncangan dalam dirinya. Ia mulai bertanya pada dirinya: melanjutkan studi filologi atau studi lain. kini ia merasa bahwa belajar filologi itu hambar dan mati. Ia ingin belajar sesuatu yang menarik untuk hidup.
Sekalipun di Pforta Nietzsche sudah mengenal karya-karya musikus Richard Wagner, baru pada 1868 ia benar-benar merasa “jatuh cinta” pada musikus Jerman ini. Pengalaman ini terjadi ketika ia menyaksikan pementasan musik Tristen dan Meistersinger.
Dua belas hari kemudian ia dapat berjumpa dengan Wagner secara pribadi untuk pertama kalinya. Perjumpaan itu membuatnya yakin bahwa ternyata kebebasan dan karya yang sangat jenius itu masih mungkin dicapai. Dalam musik Wagner, Nietzsche melihat ada semangat kebudayaan Yunani sebagaimana terlihat dalam karya-karya tragedi. Kebudayaan, katanya, dapat menjadi perwujudan kembali kebudayaan Yunani, asal diresapi dengan semangat Wagner. Ia juga tahu bahwa Wagner tahu Wagner adalah pengagum Schopenhauer. Sejak itu, Nietzsche , menggabungkan dua tokoh itu, Wagner dan Schopenhauer, menjadi agama barunya.
3) Sebagai profesor di Basel
Pada tahun 1869, Nietzsche mendapat panggilan dari Universitas Basel, Swiss, untuk menjadi dosen di sana. Ia sendiri merasa heran karena belum bergelar doktor. Tetapi hal itu rupanya tidak menjadi masalah karena Ritschl, bekas dosennya di Leipzig, memberikan rekomendasi pada Universitas Basel. Bahkan di luar dugaan Nietzsche, sebulan setelah ada panggilan itu ia mendapatkan gelar doktor dari Leipzig tanpa ujian dan formalitas apa pun.
Di Basel ia mengajar selama sepuluh tahun, 1869-1879, dan berhenti karena kesehatannya memburuk. Mata kuliah yang diajarkannya terutama filologi dan bahasa Yunani. Di samping dalam bentuk ceramah, ia juga memberikan kuliah dalam bentuk seminar. Selain di universitas Nietzsche juga mengajar di SMA. Selama di Basel Nietzsche mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu dengan Wagner. Bahkan kadang-kadang ia sempat tinggal serunah dengannya untuk beberapa hari. Kesempatan semacam itu sangat menguntungkan Nietzsche untuk mengenal Wagner secara lebih dekat, dan hal ini sangat penting untuk mengembangkan pemikirannya.
Masa karirnya sebagai Dosen di Basel juga diwarnai kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Berkali-kali ia harus cuti dan istirahat demi kesembuhan dirinya. Misalnya saja, pada tahun 1870, ia jatuh sakit karena serangan desentri dan difteri. Pada tahun 1870, ia hanya sempat mengajar selama satu bulan, dan sisa waktu lainnya dipakai untuk pergi ke berbagai daerah dan kota untuk menyembuhkan dirinya yang semakin lemah. Sakit mata dan kepala mulai parah sejak 1875. Serangan paling parah dan lama dideritanya pada tahun 1879 sehingga ia terpaksa berhenti bertugas sebagai dosen.
Sepanjang sakit dideritanya, Nietzsche sangat produktif dalam menulis. Pada periode tersebut dia menghasilkan banyak karangan yang kemudian hari tergolong karya-karya terbaiknya. Buku Die Geburt de Tragodie aus dem Geiste der Musik (The Birth of Tragedy Out of the Spirit of Music; Lahirnya Tragedi dari Semangat Musik) terbit pada tahun 1872, setahun setelah ia beristirahat dan mencari kesembuhan di Lugano, Naumburg dan Leipzig. Pada tahun berikutnya, buku tentang tragedy Yunani ini disusul dengan terbitnya Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely Meditations; Permenungan yang Terlalu Awal). [3]
Prestasi Nietzsche ini sangat mengagumkan, karena tahun 1879 merupakan tahun kelabu baginya: ia menderita sakit yang paling berat selama 118 hari. Keadaan ini memaksa Nietzsche mau tidak mau mengundurkan diri sebagai dosen.
4) Masa-masa pengembaraan dan kesepian
Sejak meninggalkan Basel, Juni 1879, hidup Nietzsche lebih banyak diwarnai dengan kesuraman dan kesepian. Ia lebih banyak menyendiri dan selalu menghindar dari hal-hal yang menyangkut tanggung jawab sosial. Untuk itu ia hidup berpindah-pindah di beberapa kota di Italia dan Swiss. Dalam pengembaraannya, Nietzsche sering ditemani Elisabeth (saudarinya), Lou Salome, dan Paul Ree. Ia juga pernah merencanakan akan menikahi novelis cantik dan “paling menyenangkan serta paling cerdas yang dijumpai oleh Nietzsche”.
Lou menerima lamaran Nietzsche asal dia juga diperbolehkan menikahi Paul Ree!. Usul ini diajukan oleh Lou karena ia tahu bahwa di antara mereka sebetulnya terjadi cinta segitiga. Mendengar rencana ini Elisabeth menjadi berang. Ia lalu melaporkan rencana yang ‘immoral’ ini kepada ibunya. Kemarahan ibu dan saudarinya, ditambah kesehatannya yang semakin buruk, mendorong Nietzsche untuk hidup sendirian sampai akhir hidupnya.
Sampai dengan tahun 1889 saat menderita sakit jiwa, Nietzsche tak dapat menghentikan kegiatannya untuk selalu merenung dan menulis. Pada tahun 1881, dia berhasil menerbitkan buku Die Morgenrote Gedanken uber die moralischen Vorurteile(Fajar, Gagasan-Gagasan tentang Praanggapan Moral). Dengan bukunya ini Nietzsche bermaksud mau “mengawali perang melawan moralitas”. Tahun berikutnya, 1882, ia menerbitkan salah satu bukunya yang indah dan paling penting, yaitu Die Frohlice Wissenschaft (la gaya scienza; ilmu yang mengasyikkan). Dalam buku inilah Nietzsche memproklamasikan bahwa “Tuhan telah mati” (Gott is tot). Pada tahun 1883-1885 Nietzsche mempersiapkan karya besarnya, yaitu Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra). Buku yang seluruhnya ditulis secara puitis ini terbit pada akhir 1885.
Tahun 1889 adalah tahun paling menyedihkan Nietzsche. Ia ditimpa sakit jiwa. Oleh Franz Overbeck, sahabat karibnya, ia dibawa ke rumah ke klinik Universitas Basel. Seminggu kemudian, ia dipindahkan ke klinik Universitas Jena. Hampir semua usaha penyembuhan sia-sia saja. Nietzsche tak pernah dapat sembuh sama sekali. Sejak 1890 ia dipindahkan oleh ibunya ke Naumburg dan dirawat sendiri di sana. Tiga tahun kemudian, Elisabeth datang dari Paraguay karena suaminya, Forster, bunuh diri pada tahun 1889. Bersama ibunya, Elisabeth merawat Nietzsche yang semakin lemah. Keluarga ini semakin malang ketika pada tanggal 20 April 1897 sang ibu meninggal. Pada tahun itu juga Elisabeth memindahkan Nietzsche ke Weimar. Dan di sana Nietzsche meninggal pada tanggal 25 Agustus 1900.
Saat-saat terakhir hidup Nietzsche sungguh tragis. Selama dua tahun terakhir masa hidupnya, ia sudah tidak dapat mengetahui apa-apa dan tidak dapat lagi berpikir. Nahkan ia tidak tahu kalau ibunya sudah meninggal dan juga tidak tahu bahwa ia mulai menjadi termasyhur.
C. Pokok Pemikiran Nietzsche
1) Kehendak untuk berkuasa
Menurut pendapat Nietzsche, dalam tingkah laku manusia (dan sebenarnya juga dalam semua kejadian alam semesta) satu-satu faktor yang menentukan daya pendorong hidup atau hawa nafsu. Daya di sini tidak boleh dimengerti dalam arti monistis, tetapi harus dimengerti dalam arti pluralistis: tidak ada satu, tetapi ada banyak daya pendorong untuk hidup. Yang rohani pun mewujudkan daya pendorong hidup itu. pengenalan kita misalnya merupakan alat bagi “kehendak berkuasa”.
Dengan pengenalan kita menguasai benda-benda alamiah. Tetapi sering terjadi bahwa daya pendorong hidup menampakan diri sebagai roh, karena orang merasa terlalu lemah untuk melampiaskan nafsunya. Sehubungan dengan itu, Nietzsche membedakan “moral tuan” dan “moral budak”. Manusia hidup menurut moral tuan memberanikan diri untuk mewujudkan hawa nafsunya. Ia tidak mencari dalih dalam roh atau tidak memakai sebagai topeng. Sebaliknya, manusia yang hidup menurut moral budak, tidak memberanikan diri untuk melampiaskan hawa nafsunya, tetapi menyuruh roh untuk menaklukkan hawa nafsu.[4]
2) Ubermensch
Bagi Nietzsche, kebutuhan orang yang paling mendesak adalah soal pemaknaan. Dia melihat, bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampai saat itu telah runtuh. Runtuhnya nilai-nilai ini disebabkan oleh jaminannya yang dianggap seolah-olah ada. Karena itulah Nietzsche, melalui tokoh Zarathustra, mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang. Nilai ini tidak lai adalah Ubermensch. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia. Dengan cara penilaian ini, Nietzsche tidak lagi menaruh kepercayaan kepada setiap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia.
Nietszche menilai bahwa pesimisme terhadap hidup disebabkan oleh kerisauan akan dorongan-dorongan hidup. Dan kerisauan ini muncul sebagai akibat ketidakberdayaan untuk mengatur dan menguasai dorongan-dorongan hidup yang pada hakikatnya adalah hidup itu sendiri. Bagi Nietzsche, satu-satunya penghargaan akan hidup adalah dengan berkata “ya” pada hidup itu. Sikap manusia yang dapat mengafirmasi hidupnya dapat diibaratkan seperti laut. Tanpa harus menjadi murni, laut bersedia menampung berbagai aliran sungai yang penuh dengan polusi. Sebelum orang dapat menagafirmasi segala dorongan hidupnya, tak mungkin Ubermensch tercipta.
Menurut Nietsche, penolakan hidup tidak hanya karena orang berhadapan dengan penderitaan yang menakutkan. Penolakan juga dapat terjadi karena orang merasakan mempunyai kekuatan yang sangat dahysat. Orang tidak berani mengakui bahwa dirinya adalah penyebab pengalaman ini. Kemudian, dia menggantikan penyebab yang sebenarnya dengan pribadi palsu yang dianggapnya jauh lebih kuat, yaitu yang Ilahi. Orang yang memaknai dunia lewat Ubermensnch tidak gentar menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang dahysat. Dia tidak merasa asing dengan dorongan-dorongan semacam ini. Dengan nilai Ubermensch, orang menjadi kerasan tinggal di dunia.
Dari uraian di atas, dapat diringkaskan bahwa bagi Nietzsche, Ubermensch adalah semacam pengganti Tuhan yang sudah dibunuhnya. Ubermensch adalah tujuan manusia di dunia ini yang diciptakan oleh manusia itu sendiri untuk menggantikan setiap tujuan yang ditentukan dari luar. Melalui Ubermensch, orang tak perlu lagi memberi makna pada dunia dan hidup dengan berpaling kepada suatu yang ada di seberang dunia. Ubermensch pada dasarnya adalah ajakan untuk mengafirmasikan hidup tanpa membiarkan sedikit sisa pun untuk ditolak. Afirmasi hidup ini secara konkret terwujud dalam pengakuan akan segala macam dorongan—baik yang menakutkan maupun yang mempesonakan—yang oleh orang-orang dekaden dipersonifikasikan sebagai Tuhan.[5]
3) Tuhan telah mati (Goot is tot)
Nietzsche termasuk filsuf ateis yang paling ekstrim dalam jaman modern. Bagi Nietzsche, peristiwa paling menonjol dalam masyarakat Barat pada jaman modern adalah bahwa ‘Tuhan telah mati’. Dengan semboyan ini dimaksudkan bahwa kepercayaan Kristiani akan Tuhan di Eropa Barat pada waktu itu sudah layu dan hampir tidak punya peranan real lagi. Nietzsche sendiri seakan-akan menjadi nabi yang memproklamirkan suatu jaman baru, suatu jaman yang secara konsekuen ateistis. Dengan tajam ia menyerang agama Kristen, karena kepercayaan Kristiani akan Tuhan menampakkan kelemahan, kepengecutan, dan penolakan untuk mengiyakan kehidupan duniawi. Agama Kristen membuat manusia menjadi lemah, takluk, rendah hati, bersikap nrimo, dan sebagainya. Agama ini mengakibatkan manusia bergumul dengan hati nuraninya dan merintangi dia untuk mengembangkan hidupnya secara bebas.
Dalam konteks ini, ‘Tuhan sudah mati’ tidak boleh ditanggapi secara harfiah, bahwa ‘Tuhan secara fisik sudah mati’; atau sebaliknya, inilah cara Nietzsche mengatakan gagasan tentang Tuhan tak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apa pun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya.
Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan keyakinan kosmis atau tatanan fisik, tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri—kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hokum moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu. Cara ini membawa kepada nihilism, dan inilah yang diusahakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berrati mencari dasar-dasar yang yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Pengakuan bahwa ‘Tuhan telah mati’ adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif—suatu kebebasan mutlak untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Orang-orang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu utahap baru yang baru dalam keberadaan manusia, sang Ubermensch. ‘Tuhan telah mati’ adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, ‘evaluasi terhadap semua nilai’.[6]
[1] St. Sunardi, Nietzsche, hal. Vi, Lkis, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
[2] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal. 4, Galang Press, cetakan pertama, Yogyakarta 2004
[3] St. Sunardi, Nietzsche, hal. 11-13, Lkis, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
[4] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hal.87, Kanisius, cetakan ke 15 (revisi), Yogyakarta 1998
[5] St. Sunardi, Nietzsche, hal. 143-147, Lkis, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
[6] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, hal 171-173, Ar-Ruzz Media, cetakan ke empat, Yogyakarta 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar