Wednesday,
December 10, 2008 at 4:10am
Saya
baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya
dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori
konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan
orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya
akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.
Ketika
transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa
orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul.
Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak
saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap
ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar
belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari
sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang
senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.
Saya
masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke
terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke
tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya “more jewish than me.” Dalam
jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan
dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.
Tentu
saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada
satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab:
hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti
itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab:
kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar
mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3
yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat
jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.
Kecerdasan
itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul
dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang
Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian
peraih nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.
Yang
membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para
pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya
jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali
mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami
merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi
Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di
parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.
Kebijakan
resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar
mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai
bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai
orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang
dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan
hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa
bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi
yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa
Arab.
Bahwa
Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di
airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan
benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas,
kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru
angin oleh musuh-musuhnya.
Saya
sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk
kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah
60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel
Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang
pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel
adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas
ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.
Bangsa
Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori
holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang
berdaulat, tapi karena mereka betul-betul bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan
yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan
begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah. Setiap melihat
keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:
Engkau
ciptakan gulita
Aku
ciptakan pelita
Engkau
ciptakan tanah
Aku
ciptakan gerabah
Dalam
Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani
menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama
Israel (Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan) disematkan kepada Jacob. Di
Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.
Orang-orang
Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang
tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk
melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict
Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan
kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin
Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.
Melihat
indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “orang-orang Arab
itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi
sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka
sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948
adalah bahwa mereka tak bisa menerima “two state solution,” meski itu adalah
satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orang-orang
Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain,
mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak
akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab,
Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel,
orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.
Sekarang
saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan
pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang
saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah.
Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung
sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan
yang membentuknya seperti sekarang ini. Tapi, jangan bayangkan ia seperti
Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan
dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak
rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.
Sebelum
menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran
seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu
besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya
berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak
ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik.
Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin
al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang
berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan
salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.
Oleh
Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur
yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua
menjadi bagian dari Israel. “Dulu,” katanya, “ada tembok tinggi yang membelah
Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun,
setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun
bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan
Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan
kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh
sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.
Saya
protes kepada Guide itu, “Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel
membiarkan diskriminasi itu?” Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua
patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua
neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda
orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak
jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa
kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur
gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: “What went wrong?”
Ada
banyak pertanyaan “what went wrong” setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di
Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter):
Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin
al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan
tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan
Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong
di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan
di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.
Jika
pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak
terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian
uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya
hasrat menipu.
Namun,
di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah
pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif).
Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari
sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk
ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa
pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.
Tapi
begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania
dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan
mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka
ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan
kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan
bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.
Saya
ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa
Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup,
cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk
kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah
wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen
rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua
pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.
Tapi
para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa
superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening
yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif.
Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh.
Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat
al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini
begitu sepi dari pengunjung.
Tentu
saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk
wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca
al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim
adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.
Saya
tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes
kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak
masuk akal.