Pagi itu semua berlangsung cepat, membuatku sulit
mencerna hal lain selain suara gaduh dan rasa nyeri di sekujur tubuh akibat
tekanan atau empasan. Yang kulihat terakhir kali adalah gerumbul semak yang
berlari kencang ke arahku. Lalu semua gelap.
Mataku kembali terbuka setelah kulit tubuh yang tergores
dan lebam ini merasakan jilatan matahari siang. Kutemukan diriku tersangkut
belukar di tubir jurang. Syukurlah semua anggota badanku masih utuh.
Perlahan-lahan kucoba menyimpulkan apa yang baru terjadi.
Rupanya kusir gagal mengembalikan keseimbangan setelah
menikung tajam dari atas bukit, sehingga kereta pos yang kami tumpangi jatuh ke
juram curam berundak, lalu terbanting beberapa kali ke atas padas sebelum salah
satu poros rodanya terlepas menjadi semacam penggada raksasa yang meremukkan
kepala kusir sekaligus menggilas kaki porter. Sungguh, lima menit yang ingar
bingar. Penarik garis tegas antara kehidupan dan kematian.
Dan kini, sebuah erangan
lemah menjadi isyarat bahwa masih ada yang harus kukerjakan di bawah sana.
Portir itu. Sama seperti yang kualami, sisi tebing bertabur semak lebat telah
menjadi jala penyelamat tubuhnya.
Kudekati dia. Kuraba lutut kirinya yang menggembung. Ia
menjerit seperti perempuan. Ketika kusobek celananya, terlihat pangkal tulang
keringnya pecah, mengoyak daging, bertonjolan seperti gigi-gigi serigala.
“Namamu Jozep, bukan?” kudekatkan bibirku ke telinganya.
Anak muda itu mengangguk di sela deritanya.
“Nah, Joep, jangan lihat kakimu. Kukatakan sejujurnya:
keadaanya sangat buruk. Mungkin tulang pinggulmu juga bergeser, jadi jangan
banyak bergerak. Biar kubebat kakimu. Setelah itu, aku akan membuat tandu. Kita
pergi ke perkampungan terdekat, mencari bantuan agar tiba di Batavia esok
pagi.”
Mudah mengatakannya, tapi butuh dari dua jam
melaksanakannya. Yang tersulit adalah menarik tandu melewati undakan tebing.
Meski landai, tetap saja gesekan tali yang terikat antara bahu dan pinggang
terasa bagai sekawanan pisau jagal. Membuatku menyesal memiliki tubuh tambun.
Sampai diatas, aku berbaring mengatur napas sebelum
memeriksa Joep. Ia demam tinggi. Kuanggap itu sebagai pertanda bagus mengingat
tak kujumpai isyarat kehidupan yang lebih jelas dari nadi leher maupun pupil
matanya.
Kembali kupasang tali, lalu mulai berjalan. Sesaat
sebelum peristiwa naas tadi, Joep sempat berseru bahwa kami telah memasuki
daerah Balaraja. Masih jauhkah Batavia? Benar-benar tak punya gambaran, mesti
kuayun kemana kaki ini.
Aku baru tiba dari Rotterdam minggu lalu. Dan karena
Bandar Sunda Kelapa sedang diperbaiki, kapalku harusa merapat di Banten. Perlu
tiga hari perjalanan kereta pos untuk ke Batavia. Lusa aku harus menghadap
Gubernur Jendral Speelman membicarakan jabatan baruku sebagai Ketua Dewan
Kesehatan Batavia. Siapa sangka tertahan disini.
Kulirik arloji rantaiku. Setengah enam petang. Belum
terlalu lama melangkah saat kusadari bahwa tanah berkerikil, yang menjadi
penanda bahwa daerah ini pernah dilalui orang, mulai tampak mengabur tertutup
rerumputan. Lebih parah lagi, kemampuan pandangku juga terganggu seiring
memudarnya sinar matahari.
Aku mulai cemas. Seorang kawan pernah berkisah tentang
gerombolan penyamun yang banyak berkeliaran di hutan Jawa. Mereka gemar
merampok dan membantai saudagar Belanda atau Tionghoa yang kebetulan memintas
hutan. Tapi apa yang hendak mereka rampok? Semua hartaku ada di dasar jurang.
Kupilih satu arah, lalu kutempuh beberapa kelokan sebelum
akhirnya tunggang –langgang terganjal akar pohon. Sia-sia merambah kegelapan.
Lebih baik mencari sudut aman untuk bermalam. Sebuah gua atau pohon. Mungkin
dekat sungai, agar aku bisa terus mengompres dahi Joep.
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda. Lebih dari seekor dan semakin keras bertukar tempat
dengan kesunyian alam. Tak lama, belukar di depanku terkuak. Pepohonan menyala
oleh cahaya obor. Aku bergegas berdiri. Dua penunggang kuda terdepan yang
agaknya merupakan pimpinan barisan, membelokkan kuda ke arahku sampai tinggal
berjarak dua atau tiga langkah.
Jantungku
berdebar. Inikah gerombolan penyamun itu? Belasan penunggang kuda di belakang
kedua orang itu memang cukup mewakili
gambaran umum penyamun: berkumis tebal, berkulit legam, serta menyimpan
kelewang panjang di punggung.
Mereka
membawa sejumlah kuda yang dipasangi penarik beban. Di atas penarik-penarik itu terikat beberapa ekor menjangan. Ada pula
gerobak berisi makanan dan senjata. Rupanya mereka baru selesai berburu.
Kami
sama-sama terpaku. Angin petang mangantarkan bau anyir leher menjangan yang
tergorok, membuat hatiku semakin ciut. Ah, mungkin aku berlebihan. Lihatlah
kedua pemimpin mereka. Terutama pria yang bermata harimau yang sedang
mengamatiku dari atas sampai ke bawah. Ia seorang pemuda tampan berkuli terang
dengan bayang-bayang kumis kumis di atas bibirnya yang tipis. Bibir bangsawan.
Rambutnya sebahu. Menjulur liar dari himpitan ikat kepala merah bersulam benang
emas.
“Selamat
Petang Tuan,” kuangkat topi seraya menyapa dalam bahasa Melayu yang kupelajari
susah payah selama setahun perjalananku ke Hindia. “Aku Jorijs Handlanger.
Dokter. Semacam tabib dalam adat Anda mungkin? Semoga aku tidak keliru memilih
kata. Keretaku masuk jurang. Portir ini butuh bantuan kesehatan. Kami akan
sangat berterima kasih bila Tuan bersedia menunjukkan jalan ke Batavia.”
Si
pemuda melepaskan tatapan matanya. Ketegangan mencair.
“Aku
pernah tinggal bersama keluarga Belanda yang kerap berurusan dengan chirurgijnen *tenaga kesehatan, medis,
juru bedah;sering merangkap dengan tukang cukur. Aku tahu benar
pekerjaanmu,Tuan Dokter,” ujarnya dalam bahasa Belanda. Ya, Belanda!
“Donder
en bliksem!” aku melompat mundur. “Betapa fasih. Pujianku untuk anda” lanjutku.
Kali ini sepenuhnya dalam Bahasa Belanda.
Barangkali
tubuh tambunku tampak tolol saat melompat tadi. Kedua penunggang itu tertawa,
diikuti dengan yang lain. Saat itu lah kusadari bahwa si tampan berkulit
langsat yang sejak tadi membisu di
samping si mata harimau, ternyata seorang wanita. Ia juga menggunakan ikat
kepala lebar. Mengamati bentuk yang tercipta dari balutan baju lengan panjang
hitam serta celana pendekar berlapis sarung biru itu, kupastikan ada tubuh yang
lencir tapi kokoh disana.
“Mereka
memanggilku Pangeran Kebatinan”, si pemuda menunjuk barisan belakangnya denga
ibu jari kanan. Warna suaranya berada di batas anggun dan kasar. “Kami sedang
menyiapkan bekal perjalanan ke Cirebon saat melihat puing jereta disana.
Sebaiknya anda ikut kami. Biarkan porter itu mendapatkan perawatan. Besok pagi
kami tunjukkan jalan tersingkat ke Batavia.”
“Betapa
budiman,” aku membungkuk. “Joep dan aku akan selalu mengingat kebaikan Tuan.”
Pangeran
melempar senyum. Kutangkap kembali sorot ganjil lewat tarikan bibir dan
matanya, seperti saat pertama melihatku tadi. Berhati-hatilah dengan pribumi,
kepala mereka penuh muslihat. Terngiang lagi nasihat temanku. Tapi, adakah
penawaran yang lebih baik? Joep sekarat dan saat ini aku tak lebih dari
gelandangan sial yang sedang dipenuhi rasa syukur karena tak jadi tersesat di
hutan. Ya. Aku akan selamat. Adakah penyamun fasih berbahasa Belanda?
Seseorang
menyerahkan kudanya kepadaku, yang lain memindahkan Joep ke atas gerobak.
Pangeran member isyarat agar aku berkuda di sampingnya, lalu segera kami
bergerak menembus jantung hutan.
“Apa
yang akan Anda lakukan di Batavia?” Pangeran menoleh kepadaku.
“Pimpinan
Kompeni memintaku meneruskan pekerjaan yang dirintis Jacobus Bontius. Pernah
dengar? Ia dokter resmi di Batavia,” aku menundukkan wajah. Sepasang pisau pada
mata orang ini benar-benar tak terbendung. “Menurut laporan, belakangan ini
Batavia didera penyakit perut dan beri-beri parah, sementara mutu para chirurgijnen semakin merosot. Banyak
pendahulu mereka yang lebih terampil turut menjadi korban penyakit-penyakit
itu,” lanjutku. “Itulah tugasku di Batavia, Pangeran. Menyiapkan tenaga bermutu
dalam waktu singkat. Kuharap dokter-dokter lain segera menyusul. Mustahil
kukerjakan sendiri.”
“Tuan!”.
Sang Pangeran menggeleng. “Kuhabiskan masa kecilku di Batavia. Aku melihat
semuanya. Kurasa penduduk di sana pun melihat, bahwa sejak direbut Kompeni enam
puluh tahun silam, kota itu menjelma menjadi kota terkutuk. Sungai Ciliwung
dicabik menjadi puluhan kanal sehingga arusnya lemah. Lumpur mengendap di
sana-sini., menciptakan dinding-dinding parit yang becek. Kalau sedang pasang,
seisi laut menerjang kota. Saat surut, bangkai ikan serta kotoran manusia
terperangkap di parit-parit tadi. Menebarkan udara yang tidak sehat.”
“Anda
sangat jeli. Udara busuk dan lumpur sampah memang dibahas Bontius dalam
jurnalnya. Dan kurasa anda benar, pembesar Batavia mungkin orang-orang romantis
yang rindu kampung halaman. Bermimpi memindahkan Negeri Belanda ke sini.
Padahal iklim dan tanahnya sangat berbeda. Kanal yang semula digali untuk
kepentingan pengairan dan lalu lintas justru mempercepat penyebaran
penyakit ke seluruh kota.”
“Itulah
yang terjadi. Belanda membawa kebiasaan buruk belaka. Makan banyak daging,
minum banyak arak, saling sikut mengejar kemuliaan. Celakanya, bangsawan
pribumi bukan tidak sedikit yang terpengaruh. Kerajaan Mataram yang dulu
ditakuti, kini sibuk berebut mahkota. Raja-raja mereka pun tak lagi gemar olah
kanuragan. Malas. Tambun Jelas bukan tandingan Panembahan Senopati atau Sultan
Agung.”
“Orang
kota memang kurang bergerak. Terutama di negeri sepanas ini”, agak tersipu
kulirik perutku yang menggunung. “Apakah anda putra mahkota Cirebon?”
Pangeran
tak segera menjawab. Di depan hutan karet yang luas tiba-tiba di menahan tali
kekang.
“Tuan
Dokter”, ujarnya. “Pengikutku banyak, tapi aku bukan raja atau putra mahkota
manapun. Kami ke Cirebon hanya mampir sebentar ke kerabat dekat. Nah dibalik sana
kami tinggal. Tak banyak orang luar yang bisa masuk dengan mudah. Tapi kami
juga tidak bisa membiarkan teman Anda seperti itu bukan?”
Kutoleh
Joep. Masih terbaring layu.
“Pangeran
sungguh berhati mulia,” aku mengangguk, lalu
bergegas mengejar kudanya yang dipacu kencang.
Saat
pepohonan terlewati, segugus panorama mencengangkan melanda mataku:
perkampungan luas. Tenda-tenda. Kandang ternak. Tercium wangi masakan bercampur
aroma kopi yang baru diseduh, membuat perutku meronta. Lebih ke dalam, di
antara nyala obor dan api unggun, kulihat sejumlah besar manusia. Para lelaki
dengan tombak dan parang, pria lanjut usia, wanita-wanita yang nyaris tidak
menutupi bagian atas tubuhnya, serta segerombolan anak kecil yang berlarian
menyambut kedatangan kami. Beberapa anak menarik baju dan menepuk kaki ku
sambil terkikik. Sangat berbeda dengan orang tua mereka yang berdiri tanpa
suara. Ada aura tak bersahabat pada mata dan lengkung bibir mereka.
Di
muka tenda kulit yang besar namun bersahaja, Pangeran turun. Ada banyak bilik
di dalam tenda itu. Punggawa membaringkan Jozep ke dalam sebuah bilik. Seorang
lelaki tua sigap mengompres dahinya dengan dedaunan yang ditumbuk halus.
Agaknya dia seorang tabib. Aku sungguh merasa tertantang. Namun ajakan Pangeran
untuk berkumpul di bilik depan mengurungkan niatku menyaksikan tabib beraksi.
Kutemani
Pangeran duduk di atas tikar. Beberapa pria dalam rombongan berburu tadi juga
hadir. Tapi lebih banyak para lanjut usia. Mungkin penasihat Pangeran. Mereka
mengunyah sirih sambil berbisik-bisik, membuatku salah tingkah. Syukurlah
sebentar kemudian disuguhkan kopi, air, dan makan malam. Aku menyantap semuanya
dengan lahap, namun segera berhenti demi menyaksikan kecilnya porsi yang
diambil Pangeran dan pengikutnya.
“Teruskan,”
Pangeran tergelak. “Anda membutuhkannya”
Aku
ingin mengatakan sesuatu, namun jeritan Joep dari bilik tidur membuatku
melompat ke sana tanpa peduli tata karma. Pangeran tergopoh mengejarku.
Dalam
bilik kusaksikan Joep menggelepar
seperti ayam disembelih. Air mata dan keringat membanjiri wajahnya, sementara
si tabib dengan beringas mengurut kakinya.
“Apa
yang anda lakukan? Ia bisa lumpuh” kurenggut tangan si tabib seraya memaki
dalam bahasa Melayu. Kutumpahkan pula amarahku kepada Pangeran. Ia diam, tapi mendadak
jarinya mematuk bahuku, membuat lenganku
gontai.
“Anda
harus percaya kepada Kiai Ebun,” Kata Pangeran. “Telah ratusan kali ia
melakukan pengobatan semacam ini. Memang sakit, tapi lihat hasilnya!”
“Pengobatan?”
kutatap wajah-wajah dalam ruangan itu. Gila. Aku seorang sarjana. Penjaga api
Prometheus. Penerus sumpah Hippocrates. Mati kutu di hadapan para duta dari
lorong gelap ilmu pengetahuan.
“Sudah,
anda tidur saja!” Pangeran membentak. “Biarkan Kiai bekerja”.
Kuhela
nafas panjang.
Keesokan
harinya, kujenguk Joep. Wajahnya pucat tapi matanya mulai bersinar.
“Aku
merasa lebih sehat, Heer Doctor,”
bisiknya. Kuraba kakinya yang dibebat. Tulang-tulang pecah itu tak bertonjolan
lagi. Bagaimana mereka melakukannya?
“Orang
Belanda mengobati sakit dari luar. Kami membiarkan tubuh menyembuhkannya dari
dalam,” Pangeran berdiri di belakangku dengan dua gelas kopi panas.
Diangsurkannya segelas kepadaku.” Sebentar lagi anda berangkat ke Batavia.”
Kuperiksa
situasi di perkemahan. Seluruh penghuninya sibuk berkemas. Sejumlah tenda sudah
dibongkar.
Ternak dikumpulkan dan puluhan gerobak telah
rapi dibariskan. Sungguh, orang-orang ini bekerja dengan kecepatan mengagumkan.
“Gerobakmu
ada di belakang. Kurasa sebelum malam kalian akan tiba disana.”
“Apakah
anda tidak lelah berkelana?” tanyaku.
“Siapa
mau tua di jalan?” mata Pangeran menerawang jauh. Aku ingin menetap di sebuah
rumah sederhana. Melihat anak-anakku tumbuh. Menyiapkan mereka menjadi pengikut
agama Allah, menjauhi kemuliaan palsu. Sayang, tak mungkin terlaksana.”
“Mengapa?
Gadis perkasa itu istrimu bukan?”
Pangeran
menggeleng perlahan,”Dia Raden Gusik, kerabat Sultan,” gumamnya, lalu melangkah
pergi, dan tak pernah muncul lagi sampai keberangkatanku ke Batavia.
Setiba
di Batavia, sekitar sepuluh malam. Kuketuk pintu rumah sobat lamaku, Vuijborn.
Ia kini hidup mentereng sebagai Asisten Sekretaris Dewan Hindia. Kuceritakan
petualangan dashyatku di hutan. Atas nama Kompeni, Vuijborn berjanji menanyakan
jati diri Pangeran kepada Sultan
Cirebon. Vuijborn juga mengijinkanku menumpang
di rumahnya sampai Kompeni memberiku jatah rumah tinggal. Dua kamar
segera disiapkan untukku dan Joep.
“Maaf
sempit. Ada barang-barang tititpan pengadilan.” Vuijborn menyalakan lampu
kamar. “Tapi ranjangnya cukup besar bukan?”
Kuedarkan
pandangan.Benar, ruangan ini dipenuhi pelbagai macam barang. Dan bukan barang
biasa. Perabot Jepang yang dipernis halus, lampu-lampu Kristal, ratusan
peralatan makan dari perak serta beberapa lukisan ukuran besar. Kurasa
pemiliknya bisa membeli satu kastil besar di Gelderland kalau mau.
“Barang-barang
siapakah ini?” tanyaku.
“Barang-barang
siapa?” Vuijborn melepas kacamata, tatapannya seolah mengatakan “bodoh sekali
kau tak mengetahui hal ini”
“Doctor,
ini kisah pertengkaran rumah tangga terdashyat yang pernah terjadi di tanah
Hindia, mungkin bahkan di Belanda. Cornelia van Nijenroode, janda jutawan besar
Pieter Cnoll, melawan suami keduanya,
Johann Bitter. Kini semakin jelas Bitter
hanya menginginkan harta istrinya.
Padahal ia sudah memperoleh lebih dari 30.000 ringgit sebagai jaminan
nafkahnya ketika menikahi Cornelia.”
Aku
menautkan alis.” Pengadilan sudah turun tangan?”
“Ya.
Mereka saling serang dan samakin lama semakin banyak yang dilibatkan sebagai
saksi. Membuat Batavia terbelah dua. Tapi aku pribadi mendukung Cornelia. Si
Bitter ini menurut kesaksian para budak gemar menyiksa istrinya. Di sidang
terakhir kemarin, keputusan Cornelia sudah bulat: menuntut cerai. Sementara Bitter
jelas tak menginginkan hal itu terjadi.”
Aku
tak begitu tertarik mendengar cerita Vuijborn. Adakah hal baru dalam kehidupan
berkeluarga? Lajang atau bukan, bila kau memilih pasangan yang tepat, kau boleh
mati tenang di rumahmu sendiri, dikelilingi orang-orang tercinta. Tetapi sekali
salah pilih?
Kuamati
lukisan di depanku. Alangkah bagus. Menggambarkan keluarga kaya di Hindia,
terdiri dari seorang pria gagah, dengan topi dan jas hitam berkancing emas,
dikelilingi tiga wanita. Mungkin istri dan anak-anaknya. Aku kerap mendengar
bahwa pelukis-pelukis yang dikirim ke Hindia kebanyakan pecundang. Tetapi
kurasa yang ini punya kelas.
“Perkenalkan:
Keluarga Cnoll, dilukis oleh Jacob Janz Coeman, pelukis termahal di Hindia,”
Vuijborn memegang bingkai lukisan. “Yang bergaun hitam itu Cornelia.”
Kuamati
lebih dekat. Tiba-tiba aku tersentak!. Disana, di belakang Cornelia. Dilukis
dalam nuansa hijau kecoklatan. Seorang pemuda berambut panjang memanggul payung
militer di bahu kanan, sementara tangan kirinya denga jenaka mengutil jeruk
yang dibawa seorang budak wanita.
“MijnGod!” “Tak salah!” aku nyaris
histeris. “Sang Pangeran”
Vuijborn
menyorongkan wajahnya mendekati kanvas, ajaib sekali kau bisa lolos,” gumamnya.
“Ia pemimpin penyamun. Pembenci Belanda. Membunuh banyak tentara sejak lolos
dari Stadhuis. Buronan Kompeni nomor satu. Minggat dari rumah Cnoll karena
tidak boleh lagi menjadi pemegang paying oleh anak laki-laki Cnoll. Konon ia
dipelihara oleh Edeleer Moor, (*edeleer=pangkat dalam Dewan Hindia). Dan
membuat skandal cinta dengan Suzanne, anak gadis Moor.
“Betapa
berwarna hidupnya,” entah mengapa aku tersenyum geli. “Bagaimana keluarga Cnoll
memanggil namanya?”
“Oentoeng
atau semacam itu. Entahlah, ia hanya seorang budak.”
Vuijborn
mengangkat bahu. “Kau bisa memanggilnya siapa saja”
“Ya.
Tentu saja,” aku menghela nafas. Kusimak lagi sesosok kecil dalam lukisan itu.
Sepasang alis yang kuat, mata yang tajam dan segelas kopi panas tadi pagi.
Tiba-tiba
aku merasa kesepian.
Jakarta,
Desember 2007
·
Roman Surapati karya Abdoel Moeis maupun Van
Slaaf tot Vorst karya Nicolina Maria Sloot menyebutkan Untung Surapati sejak
kanak-kanak dipelihara oleh keluarga Moor. Tetapi catatan dari Leonard Blusse,
yang diperkuat surat wasiat Pieter dan lukisan Coeman, menyatakan bahwa Untung
menghabiskan masa kecil hingga remaja bersama keluarga Pieter Cnoll.
·
Selepas kunjungan ke Cirebon. Untung menikah
dengan Raden Gusik yang resmi bercerai dengan suaminya, Pangeran Purbaya.
Sumber: Semua Untuk Hindia,
Iksaka Banu, hal 117-129, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar