Rabu, 24 Desember 2014

PENUNJUK JALAN


            Pagi itu semua berlangsung cepat, membuatku sulit mencerna hal lain selain suara gaduh dan rasa nyeri di sekujur tubuh akibat tekanan atau empasan. Yang kulihat terakhir kali adalah gerumbul semak yang berlari kencang ke arahku. Lalu semua gelap.
            Mataku kembali terbuka setelah kulit tubuh yang tergores dan lebam ini merasakan jilatan matahari siang. Kutemukan diriku tersangkut belukar di tubir jurang. Syukurlah semua anggota badanku masih utuh. Perlahan-lahan kucoba menyimpulkan apa yang baru terjadi.
            Rupanya kusir gagal mengembalikan keseimbangan setelah menikung tajam dari atas bukit, sehingga kereta pos yang kami tumpangi jatuh ke juram curam berundak, lalu terbanting beberapa kali ke atas padas sebelum salah satu poros rodanya terlepas menjadi semacam penggada raksasa yang meremukkan kepala kusir sekaligus menggilas kaki porter. Sungguh, lima menit yang ingar bingar. Penarik garis tegas antara kehidupan dan kematian.
Dan kini, sebuah erangan lemah menjadi isyarat bahwa masih ada yang harus kukerjakan di bawah sana. Portir itu. Sama seperti yang kualami, sisi tebing bertabur semak lebat telah menjadi jala penyelamat tubuhnya.
            Kudekati dia. Kuraba lutut kirinya yang menggembung. Ia menjerit seperti perempuan. Ketika kusobek celananya, terlihat pangkal tulang keringnya pecah, mengoyak daging, bertonjolan seperti gigi-gigi serigala.
            “Namamu Jozep, bukan?” kudekatkan bibirku ke telinganya.
            Anak muda itu mengangguk di sela deritanya.
            “Nah, Joep, jangan lihat kakimu. Kukatakan sejujurnya: keadaanya sangat buruk. Mungkin tulang pinggulmu juga bergeser, jadi jangan banyak bergerak. Biar kubebat kakimu. Setelah itu, aku akan membuat tandu. Kita pergi ke perkampungan terdekat, mencari bantuan agar tiba di Batavia esok pagi.”
            Mudah mengatakannya, tapi butuh dari dua jam melaksanakannya. Yang tersulit adalah menarik tandu melewati undakan tebing. Meski landai, tetap saja gesekan tali yang terikat antara bahu dan pinggang terasa bagai sekawanan pisau jagal. Membuatku menyesal memiliki tubuh tambun.
            Sampai diatas, aku berbaring mengatur napas sebelum memeriksa Joep. Ia demam tinggi. Kuanggap itu sebagai pertanda bagus mengingat tak kujumpai isyarat kehidupan yang lebih jelas dari nadi leher maupun pupil matanya.
            Kembali kupasang tali, lalu mulai berjalan. Sesaat sebelum peristiwa naas tadi, Joep sempat berseru bahwa kami telah memasuki daerah Balaraja. Masih jauhkah Batavia? Benar-benar tak punya gambaran, mesti kuayun kemana kaki ini.
            Aku baru tiba dari Rotterdam minggu lalu. Dan karena Bandar Sunda Kelapa sedang diperbaiki, kapalku harusa merapat di Banten. Perlu tiga hari perjalanan kereta pos untuk ke Batavia. Lusa aku harus menghadap Gubernur Jendral Speelman membicarakan jabatan baruku sebagai Ketua Dewan Kesehatan Batavia. Siapa sangka tertahan disini.
            Kulirik arloji rantaiku. Setengah enam petang. Belum terlalu lama melangkah saat kusadari bahwa tanah berkerikil, yang menjadi penanda bahwa daerah ini pernah dilalui orang, mulai tampak mengabur tertutup rerumputan. Lebih parah lagi, kemampuan pandangku juga terganggu seiring memudarnya sinar matahari.
            Aku mulai cemas. Seorang kawan pernah berkisah tentang gerombolan penyamun yang banyak berkeliaran di hutan Jawa. Mereka gemar merampok dan membantai saudagar Belanda atau Tionghoa yang kebetulan memintas hutan. Tapi apa yang hendak mereka rampok? Semua hartaku ada di dasar jurang.
            Kupilih satu arah, lalu kutempuh beberapa kelokan sebelum akhirnya tunggang –langgang terganjal akar pohon. Sia-sia merambah kegelapan. Lebih baik mencari sudut aman untuk bermalam. Sebuah gua atau pohon. Mungkin dekat sungai, agar aku bisa terus mengompres dahi Joep.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Lebih dari seekor dan semakin keras bertukar tempat dengan kesunyian alam. Tak lama, belukar di depanku terkuak. Pepohonan menyala oleh cahaya obor. Aku bergegas berdiri. Dua penunggang kuda terdepan yang agaknya merupakan pimpinan barisan, membelokkan kuda ke arahku sampai tinggal berjarak dua atau tiga langkah.
Jantungku berdebar. Inikah gerombolan penyamun itu? Belasan penunggang kuda di belakang kedua orang itu memang  cukup mewakili gambaran umum penyamun: berkumis tebal, berkulit legam, serta menyimpan kelewang panjang di punggung.
Mereka membawa sejumlah kuda yang dipasangi penarik beban. Di atas penarik-penarik  itu terikat beberapa ekor menjangan. Ada pula gerobak berisi makanan dan senjata. Rupanya mereka baru selesai berburu.
Kami sama-sama terpaku. Angin petang mangantarkan bau anyir leher menjangan yang tergorok, membuat hatiku semakin ciut. Ah, mungkin aku berlebihan. Lihatlah kedua pemimpin mereka. Terutama pria yang bermata harimau yang sedang mengamatiku dari atas sampai ke bawah. Ia seorang pemuda tampan berkuli terang dengan bayang-bayang kumis kumis di atas bibirnya yang tipis. Bibir bangsawan. Rambutnya sebahu. Menjulur liar dari himpitan ikat kepala merah bersulam benang emas.
“Selamat Petang Tuan,” kuangkat topi seraya menyapa dalam bahasa Melayu yang kupelajari susah payah selama setahun perjalananku ke Hindia. “Aku Jorijs Handlanger. Dokter. Semacam tabib dalam adat Anda mungkin? Semoga aku tidak keliru memilih kata. Keretaku masuk jurang. Portir ini butuh bantuan kesehatan. Kami akan sangat berterima kasih bila Tuan bersedia menunjukkan jalan ke Batavia.”
Si pemuda melepaskan tatapan matanya. Ketegangan mencair.
“Aku pernah tinggal bersama keluarga Belanda yang kerap berurusan dengan chirurgijnen *tenaga kesehatan, medis, juru bedah;sering merangkap dengan tukang cukur. Aku tahu benar pekerjaanmu,Tuan Dokter,” ujarnya dalam bahasa Belanda. Ya, Belanda!
“Donder en bliksem!” aku melompat mundur. “Betapa fasih. Pujianku untuk anda” lanjutku. Kali ini sepenuhnya dalam Bahasa Belanda.
Barangkali tubuh tambunku tampak tolol saat melompat tadi. Kedua penunggang itu tertawa, diikuti dengan yang lain. Saat itu lah kusadari bahwa si tampan berkulit langsat yang sejak tadi membisu  di samping si mata harimau, ternyata seorang wanita. Ia juga menggunakan ikat kepala lebar. Mengamati bentuk yang tercipta dari balutan baju lengan panjang hitam serta celana pendekar berlapis sarung biru itu, kupastikan ada tubuh yang lencir tapi kokoh disana.
“Mereka memanggilku Pangeran Kebatinan”, si pemuda menunjuk barisan belakangnya denga ibu jari kanan. Warna suaranya berada di batas anggun dan kasar. “Kami sedang menyiapkan bekal perjalanan ke Cirebon saat melihat puing jereta disana. Sebaiknya anda ikut kami. Biarkan porter itu mendapatkan perawatan. Besok pagi kami tunjukkan jalan tersingkat ke Batavia.”
“Betapa budiman,” aku membungkuk. “Joep dan aku akan selalu mengingat kebaikan Tuan.”
Pangeran melempar senyum. Kutangkap kembali sorot ganjil lewat tarikan bibir dan matanya, seperti saat pertama melihatku tadi. Berhati-hatilah dengan pribumi, kepala mereka penuh muslihat. Terngiang lagi nasihat temanku. Tapi, adakah penawaran yang lebih baik? Joep sekarat dan saat ini aku tak lebih dari gelandangan sial yang sedang dipenuhi rasa syukur karena tak jadi tersesat di hutan. Ya. Aku akan selamat. Adakah penyamun fasih berbahasa Belanda?
Seseorang menyerahkan kudanya kepadaku, yang lain memindahkan Joep ke atas gerobak. Pangeran member isyarat agar aku berkuda di sampingnya, lalu segera kami bergerak menembus jantung hutan.
“Apa yang akan Anda lakukan di Batavia?” Pangeran menoleh kepadaku.
“Pimpinan Kompeni memintaku meneruskan pekerjaan yang dirintis Jacobus Bontius. Pernah dengar? Ia dokter resmi di Batavia,” aku menundukkan wajah. Sepasang pisau pada mata orang ini benar-benar tak terbendung. “Menurut laporan, belakangan ini Batavia didera penyakit perut dan beri-beri parah, sementara mutu para chirurgijnen semakin merosot. Banyak pendahulu mereka yang lebih terampil turut menjadi korban penyakit-penyakit itu,” lanjutku. “Itulah tugasku di Batavia, Pangeran. Menyiapkan tenaga bermutu dalam waktu singkat. Kuharap dokter-dokter lain segera menyusul. Mustahil kukerjakan sendiri.”
“Tuan!”. Sang Pangeran menggeleng. “Kuhabiskan masa kecilku di Batavia. Aku melihat semuanya. Kurasa penduduk di sana pun melihat, bahwa sejak direbut Kompeni enam puluh tahun silam, kota itu menjelma menjadi kota terkutuk. Sungai Ciliwung dicabik menjadi puluhan kanal sehingga arusnya lemah. Lumpur mengendap di sana-sini., menciptakan dinding-dinding parit yang becek. Kalau sedang pasang, seisi laut menerjang kota. Saat surut, bangkai ikan serta kotoran manusia terperangkap di parit-parit tadi. Menebarkan udara yang tidak sehat.”
“Anda sangat jeli. Udara busuk dan lumpur sampah memang dibahas Bontius dalam jurnalnya. Dan kurasa anda benar, pembesar Batavia mungkin orang-orang romantis yang rindu kampung halaman. Bermimpi memindahkan Negeri Belanda ke sini. Padahal iklim dan tanahnya sangat berbeda. Kanal yang semula digali untuk kepentingan pengairan dan lalu lintas justru mempercepat penyebaran penyakit  ke seluruh kota.”
“Itulah yang terjadi. Belanda membawa kebiasaan buruk belaka. Makan banyak daging, minum banyak arak, saling sikut mengejar kemuliaan. Celakanya, bangsawan pribumi bukan tidak sedikit yang terpengaruh. Kerajaan Mataram yang dulu ditakuti, kini sibuk berebut mahkota. Raja-raja mereka pun tak lagi gemar olah kanuragan. Malas. Tambun Jelas bukan tandingan Panembahan Senopati atau Sultan Agung.”
“Orang kota memang kurang bergerak. Terutama di negeri sepanas ini”, agak tersipu kulirik perutku yang menggunung. “Apakah anda putra mahkota Cirebon?”
Pangeran tak segera menjawab. Di depan hutan karet yang luas tiba-tiba di menahan tali kekang.
“Tuan Dokter”, ujarnya. “Pengikutku banyak, tapi aku bukan raja atau putra mahkota manapun. Kami ke Cirebon hanya mampir sebentar ke kerabat dekat. Nah dibalik sana kami tinggal. Tak banyak orang luar yang bisa masuk dengan mudah. Tapi kami juga tidak bisa membiarkan teman Anda seperti itu bukan?”
Kutoleh Joep. Masih terbaring layu.
“Pangeran sungguh berhati mulia,” aku mengangguk, lalu  bergegas mengejar kudanya yang dipacu kencang.
Saat pepohonan terlewati, segugus panorama mencengangkan melanda mataku: perkampungan luas. Tenda-tenda. Kandang ternak. Tercium wangi masakan bercampur aroma kopi yang baru diseduh, membuat perutku meronta. Lebih ke dalam, di antara nyala obor dan api unggun, kulihat sejumlah besar manusia. Para lelaki dengan tombak dan parang, pria lanjut usia, wanita-wanita yang nyaris tidak menutupi bagian atas tubuhnya, serta segerombolan anak kecil yang berlarian menyambut kedatangan kami. Beberapa anak menarik baju dan menepuk kaki ku sambil terkikik. Sangat berbeda dengan orang tua mereka yang berdiri tanpa suara. Ada aura tak bersahabat pada mata dan lengkung bibir mereka.
Di muka tenda kulit yang besar namun bersahaja, Pangeran turun. Ada banyak bilik di dalam tenda itu. Punggawa membaringkan Jozep ke dalam sebuah bilik. Seorang lelaki tua sigap mengompres dahinya dengan dedaunan yang ditumbuk halus. Agaknya dia seorang tabib. Aku sungguh merasa tertantang. Namun ajakan Pangeran untuk berkumpul di bilik depan mengurungkan niatku menyaksikan tabib beraksi.
Kutemani Pangeran duduk di atas tikar. Beberapa pria dalam rombongan berburu tadi juga hadir. Tapi lebih banyak para lanjut usia. Mungkin penasihat Pangeran. Mereka mengunyah sirih sambil berbisik-bisik, membuatku salah tingkah. Syukurlah sebentar kemudian disuguhkan kopi, air, dan makan malam. Aku menyantap semuanya dengan lahap, namun segera berhenti demi menyaksikan kecilnya porsi yang diambil Pangeran dan pengikutnya.
“Teruskan,” Pangeran tergelak. “Anda membutuhkannya”
Aku ingin mengatakan sesuatu, namun jeritan Joep dari bilik tidur membuatku melompat ke sana tanpa peduli tata karma. Pangeran tergopoh mengejarku.
Dalam bilik  kusaksikan Joep menggelepar seperti ayam disembelih. Air mata dan keringat membanjiri wajahnya, sementara si tabib dengan beringas mengurut kakinya.
“Apa yang anda lakukan? Ia bisa lumpuh” kurenggut tangan si tabib seraya memaki dalam bahasa Melayu. Kutumpahkan pula amarahku kepada Pangeran. Ia diam, tapi mendadak jarinya mematuk  bahuku, membuat lenganku gontai.
“Anda harus percaya kepada Kiai Ebun,” Kata Pangeran. “Telah ratusan kali ia melakukan pengobatan semacam ini. Memang sakit, tapi lihat hasilnya!”
“Pengobatan?” kutatap wajah-wajah dalam ruangan itu. Gila. Aku seorang sarjana. Penjaga api Prometheus. Penerus sumpah Hippocrates. Mati kutu di hadapan para duta dari lorong gelap ilmu pengetahuan.
“Sudah, anda tidur saja!” Pangeran membentak. “Biarkan Kiai bekerja”.
Kuhela nafas panjang.
Keesokan harinya, kujenguk Joep. Wajahnya pucat tapi matanya mulai bersinar.
“Aku merasa lebih sehat, Heer Doctor,” bisiknya. Kuraba kakinya yang dibebat. Tulang-tulang pecah itu tak bertonjolan lagi. Bagaimana mereka melakukannya?
“Orang Belanda mengobati sakit dari luar. Kami membiarkan tubuh menyembuhkannya dari dalam,” Pangeran berdiri di belakangku dengan dua gelas kopi panas. Diangsurkannya segelas kepadaku.” Sebentar lagi anda berangkat ke Batavia.”
Kuperiksa situasi di perkemahan. Seluruh penghuninya sibuk berkemas. Sejumlah tenda sudah dibongkar.
 Ternak dikumpulkan dan puluhan gerobak telah rapi dibariskan. Sungguh, orang-orang ini bekerja dengan kecepatan mengagumkan.
“Gerobakmu ada di belakang. Kurasa sebelum malam kalian akan tiba disana.”
“Apakah anda tidak lelah berkelana?” tanyaku.
“Siapa mau tua di jalan?” mata Pangeran menerawang jauh. Aku ingin menetap di sebuah rumah sederhana. Melihat anak-anakku tumbuh. Menyiapkan mereka menjadi pengikut agama Allah, menjauhi kemuliaan palsu. Sayang, tak mungkin terlaksana.”
“Mengapa? Gadis perkasa itu istrimu bukan?”
Pangeran menggeleng perlahan,”Dia Raden Gusik, kerabat Sultan,” gumamnya, lalu melangkah pergi, dan tak pernah muncul lagi sampai keberangkatanku ke Batavia.
Setiba di Batavia, sekitar sepuluh malam. Kuketuk pintu rumah sobat lamaku, Vuijborn. Ia kini hidup mentereng sebagai Asisten Sekretaris Dewan Hindia. Kuceritakan petualangan dashyatku di hutan. Atas nama Kompeni, Vuijborn berjanji menanyakan jati diri Pangeran  kepada Sultan Cirebon. Vuijborn juga mengijinkanku menumpang  di rumahnya sampai Kompeni memberiku jatah rumah tinggal. Dua kamar segera disiapkan untukku dan Joep.
“Maaf sempit. Ada barang-barang tititpan pengadilan.” Vuijborn menyalakan lampu kamar. “Tapi ranjangnya cukup besar bukan?”
Kuedarkan pandangan.Benar, ruangan ini dipenuhi pelbagai macam barang. Dan bukan barang biasa. Perabot Jepang yang dipernis halus, lampu-lampu Kristal, ratusan peralatan makan dari perak serta beberapa lukisan ukuran besar. Kurasa pemiliknya bisa membeli satu kastil besar di Gelderland kalau mau.
“Barang-barang siapakah ini?” tanyaku.
“Barang-barang siapa?” Vuijborn melepas kacamata, tatapannya seolah mengatakan “bodoh sekali kau tak mengetahui hal ini”
“Doctor, ini kisah pertengkaran rumah tangga terdashyat yang pernah terjadi di tanah Hindia, mungkin bahkan di Belanda. Cornelia van Nijenroode, janda jutawan besar Pieter  Cnoll, melawan suami keduanya, Johann Bitter. Kini semakin  jelas Bitter hanya menginginkan harta istrinya.  Padahal ia sudah memperoleh lebih dari 30.000 ringgit sebagai jaminan nafkahnya ketika menikahi Cornelia.”
Aku menautkan alis.” Pengadilan sudah turun tangan?”
“Ya. Mereka saling serang dan samakin lama semakin banyak yang dilibatkan sebagai saksi. Membuat Batavia terbelah dua. Tapi aku pribadi mendukung Cornelia. Si Bitter ini menurut kesaksian para budak gemar menyiksa istrinya. Di sidang terakhir kemarin, keputusan Cornelia sudah bulat: menuntut cerai. Sementara Bitter jelas tak menginginkan hal itu terjadi.”
Aku tak begitu tertarik mendengar cerita Vuijborn. Adakah hal baru dalam kehidupan berkeluarga? Lajang atau bukan, bila kau memilih pasangan yang tepat, kau boleh mati tenang di rumahmu sendiri, dikelilingi orang-orang tercinta. Tetapi sekali salah pilih?
Kuamati lukisan di depanku. Alangkah bagus. Menggambarkan keluarga kaya di Hindia, terdiri dari seorang pria gagah, dengan topi dan jas hitam berkancing emas, dikelilingi tiga wanita. Mungkin istri dan anak-anaknya. Aku kerap mendengar bahwa pelukis-pelukis yang dikirim ke Hindia kebanyakan pecundang. Tetapi kurasa yang ini punya kelas.
“Perkenalkan: Keluarga Cnoll, dilukis oleh Jacob Janz Coeman, pelukis termahal di Hindia,” Vuijborn memegang bingkai lukisan. “Yang bergaun hitam itu Cornelia.”
Kuamati lebih dekat. Tiba-tiba aku tersentak!. Disana, di belakang Cornelia. Dilukis dalam nuansa hijau kecoklatan. Seorang pemuda berambut panjang memanggul payung militer di bahu kanan, sementara tangan kirinya denga jenaka mengutil jeruk yang dibawa seorang budak wanita.
MijnGod!” “Tak salah!” aku nyaris histeris. “Sang Pangeran”
Vuijborn menyorongkan wajahnya mendekati kanvas, ajaib sekali kau bisa lolos,” gumamnya. “Ia pemimpin penyamun. Pembenci Belanda. Membunuh banyak tentara sejak lolos dari Stadhuis. Buronan Kompeni nomor satu. Minggat dari rumah Cnoll karena tidak boleh lagi menjadi pemegang paying oleh anak laki-laki Cnoll. Konon ia dipelihara oleh Edeleer Moor, (*edeleer=pangkat dalam Dewan Hindia). Dan membuat skandal cinta dengan Suzanne, anak gadis Moor.
“Betapa berwarna hidupnya,” entah mengapa aku tersenyum geli. “Bagaimana keluarga Cnoll memanggil namanya?”
“Oentoeng atau semacam itu. Entahlah, ia hanya seorang budak.”
Vuijborn mengangkat bahu. “Kau bisa memanggilnya siapa saja”
“Ya. Tentu saja,” aku menghela nafas. Kusimak lagi sesosok kecil dalam lukisan itu. Sepasang alis yang kuat, mata yang tajam dan segelas kopi panas tadi pagi.
Tiba-tiba aku merasa kesepian.
Jakarta, Desember 2007

·         Roman Surapati karya Abdoel Moeis maupun Van Slaaf tot Vorst karya Nicolina Maria Sloot menyebutkan Untung Surapati sejak kanak-kanak dipelihara oleh keluarga Moor. Tetapi catatan dari Leonard Blusse, yang diperkuat surat wasiat Pieter dan lukisan Coeman, menyatakan bahwa Untung menghabiskan masa kecil hingga remaja bersama keluarga Pieter Cnoll.
·         Selepas kunjungan ke Cirebon. Untung menikah dengan Raden Gusik yang resmi bercerai dengan suaminya, Pangeran Purbaya.

Sumber: Semua Untuk Hindia, Iksaka Banu, hal 117-129, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.2014







            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...