Siapakah Minke yg diceritakan dalam “tetralogi buru”
Pramoedya Ananta Toer? Dia adalah R.M
Tirto Adhi Soerjo (TAS). Pada tanggal 10 November 2006, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional melalui Kepres RI No. 85/TK/2006. Meski
sebelumnya pemerintah sudah memberikan gelar Bapak Pers Nasional pada tahun
1973.
TAS dilahirkan di Blora pada tahun 1880, dia adalah cucu
Bupati Bojonegoro. Setelah lulus H.B.S, TAS melanjutkan sekolah kedokteran jawa
STOVIA di Batavia. Ia tak sampai lulus
di sekolah kedokteran tsb. Kemudian dia pindah ke Bandung dan menikah di
Bandung.
Ketika di Bandung, TAS mendirikan surat kabar “Soenda
Berita” (1903-1905). Dan kemudian pada tahun 1907, TAS mendirikan koran “Medan
Prijaji”, sebuah koran yang menggunakan bahasa Melayu. Dengan koran inilah
cikal bakal penerbitan yang semua awaknya adalah bangsa pribumi dan “berdiri
sendiri”. Pada saat itu “Medan Prijaji” merupakan ancaman bagi pemerintah
kolonial Belanda. Karena koran tersebut begitu berani dengan kritikan-kritikan tajamnya tentang
kolonialisme. Juga pendidikan “kewarganegaraan” yang mengarah kepada
nasionalisme tentang persamaan derajat suatu bangsa.
Selain berjuang dalam pena, TAS pun berjuang dalam
pergerakan nasional, dia mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) bersama H.
Samanhudi dan bersama HOS Cokroaminoto SDI berubah menjadi Serikat Islam (SI).
Walaupun hanya berawal dari niat melindungi pedagang pribumi dari gempuran
pedagang tionghoa, dengan anggota melebihi 360.000 menjadikan SI memasuki gerakan
politik yang menandai gerakan “Kebangkitan Nasional”. Selain organisasi SI yang
bercirikan pedagang, organisasi lain yang mengiringi adalah Boedi Oetomo yang
bercirikan kaum terpelajar.
Lantaran TAS dalam pemberitaannya sering menyudutkan pemerintah
Hindia Belanda, ia pun tersandung masalah hukum, yakni terkena delik pers atau
persdelict saat TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir
Purworejo, A Simon tahun 1909. TAS dituduh menghina pejabat Belanda, dan
terkena Drukpersregliment 1856 (ditambah UU Pers tahun 1906). Hingga akhirnya,
pengadilan menjatuhkan hukuman dengan cara dibuang di Teluk Betung, Lampung
selama dua bulan. Meski TAS mempunyai hak istimewa di depan hukum (forum
privilegiatum) lantaran ia keturunan Bupati Bojonegoro, ia kembali tersandung
kasus delik pers.
Tahun 1912, ia
dituduh menghina Residen Rasenswaai dan Residen Boissevain karena menghalangi
putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami R.A Kartini) menggantikan ayahnya. TAS
pun harus kembali menjalani kehidupannya di tempat pembuangan di Pulau Bacan
dekat Halmahera, Maluku Utara.
Kesehatan TAS sering terganggu setelah kembali dari
pembuangannya di Ambon. Pada 7 Desember 1917 TAS akhirnya meninggal. Dia
awalnya dimakamkan di Mangga Dua Jakarta. Oleh keluarganya, jasadnya kemudian
dipindahkan ke pemakaman Blender, Kebon Pedes, Bogor tahun 1973. Tanggal
kematian itulah, 7 Desember, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pers
Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepada TAS, dan tahun berdirinya Medan
Prijaji, 1907, dijadikan sebagai awal tahun pers kebangsaan.
***
.”Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Dimanapun
ada yang mulia dan jahat.... Kau sudah lupakan kiranya Nak, yang kolonial
adalah iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu,.....
Perjalanan ini, membiakkan ingatan satire, bahwa kita
adalah bangsa yang kaya tapi lemah. Bangsa yang sejak lama bermental diperintah
bangsa lain. Sejarah mengatakan tragedi terbesar terkoyaknya kita sebagai
sebuah bangsa yang kawasannya luas, kaya. Tapi selalu kalah dalam segala
hal,.... PRAMOEDYA ANANTA TOERhttp://www.youtube.com/watch?NR=1&v=eYUafG82Al0&feature=endscreen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar