RADEN NGABEHI RONGGOWARSITO
Islam bercorak mistis telah menjadi satu kekhasan
di bumi nusantara. Kesuksesan Islam sebagai agama penebar kedamaian telah
berhasil membaur dengan kebudayaan lokal
dimana mereka telah bersenyawa menjadikan sebuah kebudayaan yg indah.
Kita bisa lihat kekhasan budaya Islam di Aceh, Padang, Makassar, Sunda, Mataram
dll. Salah satunya adalah Eyang Ronggowarsito yang melahirkan ajaran filsafat
hidup orang Jawa yaitu berbakti kepada sesama manusia dan memperindah jagad
yang sudah indah ini. Raden Ngabehi Ronggowarsito hidup di kesunanan Surakarta,
ia dianggap pujangga besar Jawa yang terakhir di tanah Jawa.
Raden:
Pemahaman kita tentang kata Raden adalah identik
dengan Feodalisme, akan tetapi arti kata Raden yang sebenarnya adalah berasal
dari kata rahadian atau roh-adi-an. Roh=ruh, adi=luhur, mulia. Jadi kata Raden ini berarti setara
dengan radin= rasa, perasaan. Bisa
juga mengacu kepada Radya= negeri,
keraton, pemangku negeri. Gelar umum bagi para bangsawan Jawa (Nusantara)
ini dulunya berarti pemangku negeri yang mencapai keluhuran ruhani dan
kemuliaan akhlak. Bahkan juga berarti telah mencapai ketajaman perasaan dan
kelembutan hati nurani.
Gelar Raden dahulu nya adalah menunjuk kepada
kewajiban para pemangku negeri yakni para bangsawan atau pangeran di tanah Jawa
yang memiliki komitmen moral dan spiritual. Sedemikian rupa sehingga mereka
proporsional dalam memposisikan diri sebagai panutan moral, akhlak dan budi
pekerti bagi masyarakatnya
Ngabehi:
Kata Ngabehi pada gelar Raden Ngabehi secara
langsung menunjukkan posisi yang bersangkutan sebagai tokoh sesepuh atau orang
yang dituakan di keraton (sultan atau susunan). Sebagai contoh gelar
kebangsawanan pada mendiang GBPH Sandiya (Pangeran Samber Nyawa dr Mlangi yang
berperang melawan Kumpeni selama 16 thn). GBPH kepanjangan dari Gusti Bendhara
Pangeran Hangabehi. Beliau diposisikan sebagai sesepuh , kakak, atau saudara
tua oleh mendiang Sri Sultan Hamenku Buwana I (1755-1812). Selain Raden Ngabehi
(dianggap kakak) ada pula Raden Harya (dianggap adik, saudara muda) oleh
keraton. Sebagai contoh gelar GBPH pada adik-adik Sri Sultan HB X ( dinobatkan
1989) yakni Gusti Yadiningrat atau Gusti Jayakusuma, GBPH pada gelar ini adalah
kepanjangan dari Gusti Benhara Pangeran Harya.
Ronggowarsito:
Nama
aslinya adalah Bagus Burham. Sewaktu muda Burham terkenal nakal dan gemar judi.
Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin
Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap
saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon,
ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah
menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika
pulang ke Surakarta, Burham diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto
(adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom
bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819.
Silsilah
Keturunan:
Kakek
buyut Mas Burhan adalah Pengeran Wijil dari lingkungan ulama Kadilangu, Demak
Bintara. Beliau adalah pelestari Kitab Jayabaya Kidung, dengan menuliskannya
kembali dari tradisi lisan. Ayah Pangeran Wijil adalah Tumenggung Tirtawiguna,
kakeknya adalah Tumenggung Sujanapura seorang pujangga dari Kraton Panjang.
Tumenggung Sujanapura adalah adalah Putra dari Panembahan Tejowulan dari
Jogorogo.. Panembahan Tejowulan adalah putra dari Raden Arya Pamekas. Raden Arya Pamekas adalah
putra dari Raden Patah (Bagus Kasan, Pangeran Jimbun). Dan Raden Patah adalah
putra dari Prabu Brawijaya V (Sultan Terakhir Majapahit).
Keturunan
dari Pangeran Wijil adalah Raden Ngabehi Yasadipura I (Pujangga Keraton
Surakarta Hadiningrat era Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV), memiliki putra Raden
Ngabehi Yasadipura II (Ayah Ronggowarsito). Walaupun pujangga di lingkungan
keraton, Yasadipura II adalah seorang senopati tempur era Perang Jawa
(1825-1830). Beliau memimpin pertempuran di wilayah timur pesisir utara Jawa
dengan gelar Raden Tumenggung Sastranegara. Sesuai pertempuran, Tumenggung
Sastranegara tertangkap oleh Kumpeni dan dihukum mati di Batavia. Beliau
dimakamkan dengan nama kecilnya yakni Sayyid Abubakar di kompleks pemakaman
keramat Luar Batang, Jakarta.
Inilah
keikhlasan Mas Burhan yang tidak menggunakan nama Raden Ngabehi Yasadipura III,
akan tetapi menggunakan nama Raden Ngabehi Ronggowarsito. Nama Ranggawarsita
berasal dari kata Rangga=senopati, panglima pertempuran. Warsita= wacana,
wejangan, pengetahuan hidup. Berarti Mas Burhan (R.Ng. Ranggawarsita) telah mengganti strategi perangnya melawan
kumpeni dari perang senjata menjadi perang ilmu. Hal ini bersamaan dengan
bangkitnya semangat menuliskan kembali peninggalan dan pengetahuan Jawa.
Patung Rangga Warsita di depan Museum Radya Pustaka, Surakarta |
Perlawanan
lisan ini diikuti pula oleh pemimpin tanah Jawa untuk mengirimkan
ulama-cendikianya ke sekolah-sekolah di mancanegara. Kraton Ngayogyakarta dan
Surakarta Hadiningrat mengirim ke sekolah di Mekkah (Agama) dan Netherland (Iptek).
Strategi ini dicium oleh kumpeni dan mereka memecah belah dengan mendirikan
sekolah-sekolah untuk masyarakat (walaupun hanya sekolah rendah untuk pribumi
dan lulusannya pun hanya diarahkan untuk menjadi pegawai negeri ataupun pegawai
administrasi rendahan di lingkungan
kumpeni).
Kumpeni
menembak mati R.Ng Ranggawarsita karen terlalu dianggap berbahaya bagi
kolonialisme. Maka sang Panglima peperangan ilmu Jawa itu gugur pada 24
Desember 1873. Beliau mengikuti jejak ayah dan leluhurnya sebagai rangga
(komandan pertempuran). R. Ng. Ranggawarsita dimakamkan di desa Palar Kecamatan
Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Makamnya diziarahi oleh 2 presiden
Indonesia ketika menjabat yaitu Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman
Wahid (Gus Dur).
1.
Pamundhut
hingsun mring sira
Santana lan kawula kabeh hiki
Hambak taler Jawa tuhu
Tan hala haprayuga
Gayuh suprih yem tentrem hayuning srawung
Wajib netepana warah
Waruking agama suci
Nasehatku untuk kalian
Kerabat dan rakyat semuanya ini
Yang telah ditakdirkan menjadi orang Jawa (Nusantara)
Tidak buruk, bukan utama
Menciptakan terwujudnya ketentraman kehidupan sesama
Wajib menetapi ajaran
Petunjuk agama suci
2.
Narendra
miwah pujangga
Wali lan pandhita jatine kaki
Karsaning Kang Maha Agung
Gunggunging Islam – Jawa
Marmane langgengna tunggal loro hiku
Ja-hana hingkang tinggal Jawa
Lan ja-hana hadoh agami
Para raja dan para pujangga
Sesungguhnya para wali dan ulama anakku
Atas Kehendak Yang Maha Agung
Agunglah Islam-Jawa
Karena itu lestarikan dwitunggal itu
Jangan sampai ada yang semata Jawa
Dan jangan sampai ada yang menjauhi agama
3. Tinulis
sajroning Qur’an
Hantepana dadya laku ban hari
Miwah waguning kadhatun
Tindakna klawan takwa
Wit kang mangkana sira jeneng geguru
Ratu habudaya Jawa
Wali panuntun agami
Yang telah tertulis di dalam Al-Quran
Mantapkanlah menjadi perilaku sehari-hari
Demi indahnya sebuah pemerintahan
Jalankanlah dengan takwa
Karenanya hendaklah engkau berguru
Para raja yang berbudaya Jawa
Juga adalah para wali penuntun agama.