“Toleransi tidak akan terwujud di dunia
Islam
kecuali setelah mendekonstruksi
ortodoksi”
~Mohammed Arkoun~
Mohammed Arkoun |
Mohammed Arkoun (1 Februari
1928 – 14 September 2010) adalah pemikir Islam kelahiran Aljazair yang sangat
berpengaruh dalam studi kritis Islam dan dialog lintas agama. Dia adalah guru
besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne. Banyak karya tulisannya yang mencerahkan,
mengilhami juga memberikan sumbangan pemikiran dalam hal studi Islam. Dari
banyak karya nya, wacana toleransi adalah hal yang sangat menyita perhatian
Arkoun. Dalam hal ini, sehubungan dengan meningkatnya aksi-aksi terorisme
dengan mengatas namakan Islam. Dalam
menyikapi stigma buruk terhadap Islam yang diakibatkan oleh terorisme, kaum
Muslimin pada umumnya berapologi, secara normatif dengan didukung kutipan ayat
dan hadis bahwa Islam sejatinya adalah agama toleransi. Menurut pandangan
dogmatis arus utama, justru
orang-orang Yahudi dan Nasrani lah yang
fanatik dan intoleran. Ini adalah pandangan yang subyektif bahwa agama mereka
lah yang toleran, sementara pemeluk agama lain lah yang intoleran. Meskipun
mengaku toleran, kaum Muslimin tersebut malah memilih diam seribu bahasa ketika
kebebasan berpendapat dan kebebasan berkeyakinan di pegang oleh lembaga-lembaga
pemegang otoritas resmi agama oleh kelompok-kelompok radikal. Lembaga pemegang otoritas dan kelompok radikal
sering sepakat bahwa pemikiran yang menyeleweng ataupun kelompok minoritas yang
diklaim sesat boleh didiskriminasikan demi menjaga kesakralan agama dan kemurnian
aqidah kaum mayoritas.
Pandangan dogmatis arus
utama tersebut mendapat kritik tajam dari Mohammed Arkoun karena dinilai tidak
obyektif. Arkoun berusaha jujur, bahwa dalam tradisi Islam terdapat
elemen-elemen yang ekslusif-intoleran sekaligus inklusif- toleran. Di dalam masa modern pun, toleransi masih
merupakan isu langka di masyarakat Arab yang hingga kini masih dihegemoni oleh
teologi abad pertengahan. Itulah yang mengakibatkan begitu banyak
komunitas Yahudi, Katolik, Protestan, Ortodoks Yunani, Ortodoks Armenia juga
Ortodoks Spanyol memilih meninggalkan Maroko, Algeria, Tunisia, Mesir, dan Iran
menuju negara-negara Barat. Begitulah realitas dunia Islam, tak terkecuali di
Indonesia, dimana para pemeluk Islam masih terkungkung oleh fanatisme dan ortodoksi
sehingga wacana pluralisme dan inklusivisme masih dimusuhi bahkan tak jarang
diintimidasi dengan cara kekerasan.
Apakah
Islam Agama Toleran?
Setelah mencermati
fakta-fakta intoleran tersebut, Arkoun enggan menggunakan istilah tolerance (al-tasāmuh) pada Islam. Arkoun tidak mau terjebak dalam
slogan Islam agama yang toleran (al-
Islām dīn samhah). Atau semboyan yang sering digembar-gemborkan di media
massa atau mesjid-mesjid, “Tidak ada paksaan dalam agama” (la ikrāha fī al-dīn).
Justifikasi dari para pengkhutbah ini adalah bahwa Islam adalah agama
yang mendahului agama-agama lain dalam hal mengajarkan spirit bertoleransi.
Namun, sayangnya, slogan tersebut tidak sejalan dengan kenyataan di dunia Islam
yang selalu menampilkan kekerasan, terorisme juga bom-bom bunuh diri.
Berdasarkan ambiguitas antara slogan dan realitas sosial ini, Arkoun hendak
menawarkan pandangannya mengenai wacana toleransi juga syarat-syaratnya yang
harus dipenuhi dalam dunia Islam.
Menurut Arkoun, semua
tradisi agama pasti menawarkan ajaran dan semboyan yang terbangun dari system
nalar tertentu. Ajaran dan semboyan semua agama mengalami proses perjalanan
sejarah yang panjang. Dari mulai periode oral (marhalah safahi) pada masa nabi-nabi hingga periode kodifikasi (marhalah tadwīn) pada masa generasi
penerusnya. Artinya, tidak semua ajaran dan semboyan agama ditulis pada masa
para nabi. Dalam proses perjalanan
sejarah itu, tentu saja ada ajaran yang hilang, ditambahkan, diperdebatkan,
bahkan dimanipulasi. Bahkan tradisi yang dijaga melalui memori hafalan manusia
biasa bisa saja salah dan lupa. Sejarah Islam telah bercerita bahwa teks-teks
agama sering dimanipulasi oleh sekte-sekte yang bertikai mempertarungkan
ideologi dan kepentingan politik.
Tradisi
yang terkodifikasi dan termanipulasi ini pada akhirnya menjadi struktur nalar
teologis yang otoritatif; ia dipelihara dan disakralkan oleh pemegang otoritas
ortodoks. Para pemeluk agama kemudian diwajibkan tunduk dan patuh kepada
tradisi yang terkodifikasi. Jika tidak patuh, akan dikucilkan dan
didiskriminasi dengan klaim kafir, heterodoks, mulhid, bid’ah, heretic, zindiq,
sesat, dan tuduhan negatif lainnya. Dari
sinilah akar kemunculan ekslusivisme dan fanatime beragama yang tak kenal belas
kasihan kepada kelompok minoritas yang disesatkan. Ekslusivisme dan fanatisme
merupakan penyakit kekakuan mental beragama yang disebabkan oleh doktrin
dogmatis. Pemeluk agama yang terkena penyakit ini cenderung mudah mengkafirkan
kelompok lain yang berbeda pandangan karena dinilai tidak seiman. Pemeluk agama
ekslusif tidak bisa menerima pemikiran kelompok lain dengan tuduhan sesat. Pemikirannya yang berawal dari “wilayah
terlarang untuk dipikirkan” (dairah
mamnū’ al-takfīr fīh), akhirnya sikap ekslusif akan menuju proses
berikutnya yaitu stagnansi pemikiran keagamaan (al-jumūd al-fikr). Hal ini disebabkan oleh wawasan agama yang
tunggal, sempit dan tertutup. Nalar inilah yang memicu sikap-sikap intoleran
dan tidakan-tindakan kekerasan atas nama agama.
Nalar
dogmatis ekslusif (al-‘aql al dughmaiy
al-mughallaq) merupakan nalar yang terbentuk secara hegemonik dalam semua
tradisi agama. Ia mengatas namakan dirinya sebagau otoritas resmi yang
disakralkan. Otoritas resmi begitu gigih mengaku dirinya berhak benar atau
sesatnya sebuah pemikiran atau aliran. Ia juga secara arogan mengklaim berhak
menentukan apa-apa yang berhak dipikirkan dan apa-apa yang dilarang untuk
dipikirkan. Hal- hal yang terlarang untuk dipikirkan patut disingkirkan karena
dinilai sesat dan menyesatkan (dāllun
mudillun). Otoritas resmi seakan-akan mempunyai stempel benar dan sesat.
Pluralisme, liberalisme dan isme-isme lainnya disesatkan dan dilarang untuk
dipikirkan (mamnū’ al-takfīr fih).
Otoritas resmi selalu berusaha menjaga kewibawaannya dengan cara memfungsikan
dan mengutip Al-Quran, hadist dan simbol-simbol agama berupa pendapat sahabat
dan ulama salaf yang shaleh. Ciri khas otoritas resmi Islam, misalnya akan
membiarkan orang-orang yang berusaha mengungkapkan
kebobrokan Barat dan otoritas agama lain. Namun, sebaliknya, otoritas resmi
Islam secara ironis akan memusuhi siapa saja yang berani mengkritik
kewibawaannya. Itulah arogansi dan intoleransi dalam tradisi agama. Nalar-nalar
seperti ini harus didekonstruksi dan
didesakralisasi guna mewujudkan toleransi dan kebebasan berpendapat.
Ciri
khas lain nalar dogmatis ekslusif adalah penolakannya terhadap pemisahan antara
aspek agama dan politik. Pemisahan agama dan politik adalah bentuk sekularisasi
yang terlarang untuk dipikirkan menurut otoritas ortodoks. Penolakan-penolakan
semacam ini lah yang menghalangi dunia Islam untuk memasuki gerbang modernitas.
Konsekuensinya, keterbelakangan dan keterkucilan negara-negara Islam menjadi
hal yang tak terhindarkan. Dan sebagai ungkapan kekecewaan dan rasa frustasi,
tersulutlah kekerasan dan terorisme atas dalih ketidak adilan.
Nalar
dogmatis ekslusif senantiasa meyakini dan memonopoli kebenaran tunggal.
Kebenaran hanya satu, sakral, statis, dan terjaga sampai hari kiamat. Kebenaran
tunggal harus dilindungi oleh otoritas resmi dengan cara mengorbankan kelompok
minoritas yang dinilai menyimpang dari konsensus (Ijma’). Demi melindungi kesakralan iman dan simbol agama, kelompok
minoritas seakan-akan sah meminta korban-korban atas nama agama. Kata kuncinya adalah
klaim kebenaran (truth claim). Para pemeluk agama yang ekslusif tidak
segan-segan menggunakan kekerasan dan rela mati untuk menjaga kebenaran
dogma-dogma agamanya yang disakralkan dan diyakini absolut. Ini adalah nalar
semua agama yang terideologisasi oleh otoritas resmi.
Radikalisme
dan Solusinya
Untuk
mengantisipasi radikalisme (deradikalisasi), Arkoun menawarkan solusi
berupa “deideologisasi agama”.
Deideologisasi adalah upaya membedakan antara agama autentik dengan agama yang
terideologisasi oleh kelompok-kelompok radikal. Agama autentik adalah agama
yang terbuka dan toleran, sedangkan agama yang terideologisasi adalah agama
yang ditafsirkan secara harfiah, dangkal, kering, reduktif, manipulatif dan
subyektif dan menjadikan agama sebagai sesuatu yang tertutup dan intoleran.
Pandangan ini ada benarnya dengan bukti bahwa agama Yahudi autentik mengajarkan
bahwa membunuh satu manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia. Agama Kristen
autentik mengajarkan bahwa bila pipi kananmu ditampar maka berilah pipi kirimu.
Rasulullah SAW pun mengajarkan untuk tidak membalas dendam jika disakiti. Nabi
pernah menjenguk non muslim yang meludahinya, Nabi menyuapi pengemis Yahudi
yang buta, Nabi memaafkan orang yang menjahilinya ketika berada di jalan.
Sayangnya, etika toleran dan akhlaq
mulia (makarim al-akhlaq) seperti ini
hampir “tak terpikirkan “ (al la mufakkar
fīh) oleh kelompok-kelompok radikal.
Deradikalisasi
menuntut upaya desakralisai terhadap lembaga resmi, sistem hukum, dan sistem
politik yang sering dimanipulasi dalam bentuk teokrasi. Desakralisasi inilah
yang memungkinkan terjadinya perubahan demi perubahan pada system politik dan
hukum masyarakat. Namun sayangnya, masyarakat muslim belum mampu melakukan
revolusi pemikiran dan meninggalkan paradigma teokratis yang notabene merupakan warisan tradisi politik abad pertengahan. Kedaulatan rakyat dan
prinsip-prinsip demokrasi masih dikafirkan, sementara sistem khilafah tetap dipaksakan oleh kaum fundamentalis.
Namun, diakui bahwa proses deradikalisasi, desaklarisasi
dan sekularisasi membutuhkan waktu yang panjang. Sebagaimana Eropa yang
membutuhkan waktu kurang lebih seribu tahun.
Gagasan pencerahan di tengah dominasi para agamawan dalam perjalanan
sejarahnya akhirnya memunculkan konsep toleransi di Eropa. Dengan latar
belakang perjalanan sejarah Eropa inilah tampaknya kurang bijaksana jika para
ulama seraca normatif mengklaim bahwa toleransi adalah murni konsep Islam.
Masa
Depan Toleransi Islam
Lalu
bagaimana dengan masa depan Toleransi Islam? Arkoun dengan tegas menjawab bahwa
“toleransi tidak akan bisa diwujudkan di dunia Islam kecuali setelah
mendekostruksi bangunan ortodoksi teologi tradisional seperti yang pernah
terjadi di Eropa modern”. Namun realitas berkata lain: dunia Islam justru gagal
menanamkan benih-benih toleransi akibat dari monopoli-monopoli kebenaran yang
dilakukan ulama-ulama dari kelompok konservatif. Masing-masing sekte/kelompok
saling menyesatkan dan tanpa ragu-ragu bermain hakim sendiri bahkan sampai
merusak properti, tempat-tempat ibadah
milik orang lain.
Untuk
menyikapinya, Negara harus menegakkan undang-undang yang menjamin kebebasan berfikir
bagi seluruh agama, sekte serta aliran filsafat. Kebebasan berpendapat tidak
boleh dikekang. Seperti misalnya seorang penulis memiliki kebebasan berpendapat
dan harus mempertanggung jawabkan pendapatnya secara akademis melalui dialog
yang inklusif. Selain itu, Negara membutuhkan masyarakat madani yang kaya
wawasan agar memaklumi pandangan-pandangan yang berlainan dan Negara harus
menegakkan kesetaraan hukum yang mengayomi seluruh warganya. Solusi inilah yang
diterapkan di Negara-negara demokrasi di Eropa. Di sana, undang-undang anti
penodaan agama sudah dihapus, setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya
tanpa takut dianiaya. Kebijakan itu diambil berdasarkan kesadaran bahwa
keyakinan merupakan sebuah wilayah yang privat, tidak bisa diintervensi oleh
orang lain dan Negara. Realitas tersebut
sangat kontras dibandingkan dengan negara-negara di dunia Islam yang
masih diwarnai dengan fenomena pengkafiran dan pembunuhan yang menimpa pemikir
Islam progresif. Di Indonesia pun demikian, dimana orang-orang yang berpikiran
Islam progresif malah dituduh menodai
agama dan bahkan diteror. Toleransi Islam, Quo
Vadis? []