“Menurut Khalifah Umar
Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi Islam dengan bahan-bahan yang kasar”.
Kaum Badui Arab adalah
penduduk yang jauh dari interaksi dengan bangsa-bangsa lain, karena hingga saat
ini kehidupan mereka cenderung tidak berubah. Kehidupan mereka masih seperti yang digambarkan dalam Kitab Taurat. Jauh dari
pergaulan kota. Malahan menurut kaum Badui, pergaulan kota itu adalah sesuatu
yang sangat mereka rendahkan.
Kaum Badui terbagi ke
dalam dua masyarakat Arab, yaitu Badui Pedalaman (selanjutnya disebut Badui
saja) dan Badui Kota. Badui Kota adalah suku-suku yang sudah bisa hidup menetap
dalam satu daerah, tidak hanya hidup nomaden. Kaum Badui terdiri dari kabilah-kabilah yang
masih jauh dari peradaban, jauh dari sekolah dan jauh dari kemajuan. Riwayat mereka sangat sedikit disinggung oleh
ahli sejarah modern, bahkan keberadaan mereka sering dinafikan. Ada yang
menyangka, kehidupan mereka bahkan masih sama seperti keadaan 3000 tahun yang lalu.
Kaum Badui terdiri dari
kabilah-kabilah yang dipimpin oleh seorang Syekh atau sering disebut sebagai
kepala kabilah. Dalam darah orang Badui, mereka sangat menyukai perang.
Menyerang adalah kebiasaan mereka. Kebiasaan lainnya, mereka mengembalakan
unta, kambing, dan biri-biri. Mereka sangat menjungjung tinggi kemerdekaan.
Itulah sebabnya mereka benci kepada penduduk kota yang menurut keyakinan
mereka_ lantaran terlalu ingin beradab maka kemerdekaan orang-orang kota itu
malah terpenjara oleh peradaban itu. Dari pola tersebut, menjadikan kaum Badui
pantang membuat rumah, karena menurut pandangan mereka, rumah adalah hal yang
dapat membatasi kemerdekaan mereka. Kaum
Badui sudah membuktikan, bahwa dari setiap ekspansi ke tanah Arab seperti Bangsa
Yunani, Persia dan Romawi, tak ada satu pun yang dapat menaklukkan Kaum Badui.
(Entahlah saat ini dimana kendaraan motor, mobil dan pesawat terbang sudah sangat
modern).
Sejarawan Goustav le
Bon menjelaskan karena Kaum Badui tak memiliki tempat yang tetap (nomaden) maka
menjadikan mereka memiliki satu naluri saja yaitu menyerang. Biasanya mereka
menyerang kabilah-kabilah yang lewat, yang membawa sumber-sumber makanan dan
perdagangan. Orang-orang kota pun sangat takut kepada mereka. Di masa
pemerintahan Makkah oleh Syarif Husein, rute perdagangan dan ekonomi antara
Makkah dan Madinah tidaklah aman. Ketika ada pengiriman ekspedisi, harus siap
dengan dicegat oleh “para penyamun” di jalan. Bagi Kaum Badui, merampok bisa
dikatakan sebuah mata pencaharian, kesenangan dan mungkin juga sebagai olah
raga nasional. Di buku “Tarikh Tamaddun Arab”, Goustav le Bon kembali menjelaskan
bahwa apa-apa yang dilakukan oleh Kaum Badui itu tak beda jauh dengan
orang-orang Eropa yang suka menjarah bangsa-bangsa yang tergabung dalam daerah kolonial.
Bedanya adalah Kaum Badui menyerang orang-orang kaya, sedangkan orang-orang
Eropa menyerang orang-orang yang masih Badui (penduduk asli). Intinya adalah
mereka sama-sama merampas sumber daya yang ada. Walaupun dalam “Razzia” (penyerbuan)
ini ada aturan-aturannya. Yaitu mereka hanya menyerang sumber daya (perbekalan
& binatang ternak). Dilarang terjadi pembunuhan. Pelarangan ini bukan
karena alasan kemanusiaan akan tetapi karena hukum padang pasir (mu’ruah) yang
menyatakan bahwa pembunuhan bisa mengakibatkan tersulutnya rasa dendam kesukuan
dan urusannya sangat panjang jika suku dari kabilah korban menuntut kematian
anggota keluarga sang pembunuh.
Setelah Islam datang,
Kaum Badui ini berubah menjadi tentara yang gagah berani dan sulit dicari
tandingannya. Di dalam bala tentara itu mereka bercampur dan berkumpul dengan
ahli-ahli seni, syair, alim, pintar dan juga kemiliteran. Mereka melihat
peradaban maju itu dengan mata kepala sendiri. Peradaban api Persia, gedung dan patung Romawi, kanal dan saluran air Mesir.
Akhirnya Kaum Badui ini berubah menuju kemajuan. Dalam kemiliteran, dasar keberanian menyerang
itu tidaklah hilang akan tetapi berubah menjadi
berani menjemput kematian dengan mati syahid. Sifat suka menolong sesama yang lemah
menjadi kan mereka sebagai prajurit yang gagah berani dan tangkas.
Sejarawan Zaborouski
menulis orang-orang Badui sangat memelihara sekali keturunan mereka. Nasab
adalah sakral. Darah keturunan mereka sangat dijaga dari percampuran dengan
bangsa lain. Doktrin mereka adalah hukum Muru’ah. Walaupun meraka sangat ahli
dalam menyerang tapi mereka sangat hormat terhadap tamu, merdeka, kejam, sangat
menjunjung kemuliaan diri, sabar menanggung siksa dan cobaan. Lantaran kejam
itu, mereka sangan pendendam terhadap musuh yang menyerang mereka. Mereka hanya
merampok tapi sangat jarang membunuh tanpa alasan. Talak/perceraian sangat
sedikit, mereka sangat hormat terhadap perempuan. Bahkan adat Badui Arab, perempuan
adalah pengiring para lelaki untuk maju ke medan perang. Dengan diiringi kaum
kaum perempuan, maka timbullah keberanian para kaum lelaki itu.
Di masa Turki Ottoman,
para jamaah haji sering bertemu dengan Kaum Badui ini. Mereka mencegat, muncul
tiba-tiba dari balik bukit. Tembakan dilepaskan ke udara sebagai tanda kabilah
untuk segera berhenti dan tidak perlu melawan. Namun apabila ada jamaah haji
itu berjalan sendirian, mereka akan sigap untuk menolong dan memelihara jamaah
tersebut. Menerima sebagai tamu dalam tenda nya maksimal selama tiga hari. Mengantarkannya
menuju tempat pemberhentian terakhir dan memastikan jamaah/orang tersebut
selamat tiba sampai di sebuah kota.
Suatu budaya yang paradox
dalam Kaum Badui ini. Setelah masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin, tidak
ada Raja Arab yang memperhatikan nasib kaum Badui ini. Tidak Muawiyah, Al- Ma’mun
bahkan Salahuddin Al Ayyubi. Hal ini mungkin karena peradaban Islam juga sudah
pindah ke kota-kota garnisun lain yang jauh seperti Damaskus, Baghdad,
Konstatinopel, Kairo bahkan di benua Eropa (Spanyol). Kaum muslim hanya kembali
ke Mekkah ketika melaksanakan ibadah Haji.
Barulah di masa Ibnu
Saud yang berhasil menjadi Raja Arab dgn mendirikan Saudi Arabia, beliau bisa
mengarahkan Kaum Badui ke dalam gerakan nasionalisme Arab. Kaum Badui
diperintahkan untuk bersawah, berladang, berternak dan diberi kampung.(HS)