Sebelum revolusi perancis 1789-1799, suara raja adalah suara Tuhan,
sehingga menimbulkan pemberontakan dari golongan demokrat dan republik
menjatuhkan monarki absolut juga membuat geraja katolik Roma untuk membuat
restrukturisasi yang radikal. Kudeta untuk kaum pencerah ini dipimpin oleh Napoleon
Bonaparte. Semangat dari revolusi prancis adalah kita semua sama antara raja
dan rakyat adalah saling bahu-membahu untuk membangun sebuah peradaban baru
(penghapusan feodalisme).
Herman Willem Daendels adalah produk Eropa baru yang ditempa pada Revolusi
Prancis (Ahli Hukum, Revolusioner,Politikus, serdadu profesional). Dia adalah
kepala batu,perasa, gigih, tidak banyak cingcong,kemauan besar, karena serdadu
profesional dia memiliki kecenderungan kekerasan dalam mencapai tujuan (Daendels
ikut bertempur dalam penyerbuan ke Belanda (Netherland) 1794-1795 dalam pasukan
“patriot pemberontak melawan Raja Belanda Stadhouder Willem V”) .Herman Willem
Daendels ditugaskan menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk
mempertahankan Prancis dari serbuan Inggris di Hindia Belanda. Dia tiba di
Batavia via Lisabon dan Maroko 5 Januari 1808 atas perintah Raja Louis
(Lodewijk I) adik Napoleon Bonaparte. Daendels belum pernah tinggal di Timur,
tapi tampaknya dia jenis orang yang
cocok untuk membersihkan Batavia yang busuk dan kotor. Orang baru yang bersih
diluar dari lingkaran “gank”. Gubernur Jendral ini menimbulkan kekagetan demi
kekagetan bagi “orang lama”. Raja Louis memberikan kebabasan yang luar biasa
kpd dia di Hindia Belanda. Dia mulai bekerja, menghancurkan korupsi,
menghancurkan dan membuat lagi sistem administrasi baru, membangun jalan dan benteng. Dia menimbulkan kebencian
yang luas biasa dari banyak orang yang kepentingannya dia rusak. Akibatnya
Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jendral Hindia Belanda berikutnya) banyak memiliki keuntungan dari hasil
reorganisasi Daendels di Jawa. (Walaupun citra yang buruk-buruk dibebankan
kepada Daendels). Karena dibesarkan oleh Revolusi Perancis, Daendels kurang
cocok bergaul dengan raja-raja pribumi, contohnya perseteruannya dengan Sultan
Hamengku Buwono II dari Yogyakarta. Di jaman kompeni, Residen Belanda di
Surakarta dan Yogyakarta diharuskan memberikan penghormatan kepada Sunan dan
Sultan dengan membungkukkan badan dalam pertemuan-pertemuan resmi. Residen
tidak berhak menggunakan payung mas dan kursi Sunan atau Sultan didesain dengan
“lebih tinggi” dari para utusan Belanda. Oleh Daendels semua bentuk
penghormatan ini di hapuskan karena tidak mencerminkan kesetaraan dan dipandang
sebagai penghinaan kepada bangsa Eropa. Daendels pun terlalu mencampuri urusan
dalam negeri Sultan yaitu ketika memaksa Sultan HamengkuBuwono II turun takhta
(1810) dan diganti oleh puteranya Sultan Hamengku Buwono III. Banyaknya kesalah
pahaman inilah yang menimbulkan benih-benih yang nantinya menjadi penyebab
Perang Jawa (Diponegoro) 1825-1830.