JIKA ORANG TINGGI MENCAPAI PENGERTIAN, IA AKAN RENDAH HATI
JIKA ORANG RENDAH MENCAPAI PENGERTIAN IA AKAN TINGGI HATI
Ali Ibn Abi Thalib a.s
Kang Jalal |
Panas
hatinya ternyata bukan hari itu saja. Ia dimusuhi penduduk kampung. Ia tidak
diizinkan memberikan pengajian. Ia pernah diturunkan dari mimbar hanya karena
mengajak orang kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Ia makin yakin bahwa ia
ditakdirkan Tuhan untuk menjadi pejuang penegak Sunnah. Ia harus melawan semua permusuhan itu
dengan tabah. Ia yakin pada akhirnya ia akan menang karena dia berada di pihak
yang benar.
Dengan
keyakinan seperti itu, ia masuk kedalam pengajian pertama di sebuah mesjid, di
pinggiran Kota Bandung. Semula mesjid itu hanya diisi untuk shalat berjamaah.
Berkat kehadiran seorang kiai dari Jawa Timur, pada setiap malam Jumat,
penduduk kampung memenuhi mesjid. Tidak lama kemudian, dengan pimpinan kiai
itu, terdengar gemuruh bacaan shalawat. Ia menggigit bibirnya. Begitu pula,
ketika ditengah-tengah shalawat, pemuda itu diam. Ia tidak ikut bahkan walaupun
hanya sekedar mengumamkan shalawat. Juga ketika semua orang berdiri, ia duduk
membeku. Ia tahan perasaan tiddak enak karena menyimpang dari perilaku
kelompok. Ia masih memegang bara. Inilah resiko “al-ghuraba” (orang-orang yang
terasing). Bukankah Nabi SAW bersabda: “ Islam
pertama kali datang sebagai sesuatu yang asing dan akan datang lagi sebagai
sesuatu yang asing. Berbahagialah orang-orang yang asing; yakni mereka yang
menghidupkan Sunnahku ketika orang-orang mematikannya”
Kesabarannya
berakhir ketika kiai sudah memberikan ceramah. Banyak hal yang disampaikan kiai
itu didasarkan kepada TBC (takhayul,bid’ah,churafat) –ejaan lama untuk
khurafat. Ia menginterupsinya berkali-kali. Ia meminta kiai itu untuk
menunjukkan dalil-dalil dari Alquran dan hadis. Karena interupsi2nya, pengajian
berubah menjadi hiruk pikuk. Karena merasa dilecehkan, kiai itu keluar dari
masjid diikuti oleh pengikutnya. Pengajian itu bubar sebelum waktunya.
Hampir-hampir saja tokoh kita ini (pemuda itu) dikeroyok oleh orang-orang
beramai-ramai. Ia pun sudah memperhitungkannya. Sekiranya ia terbunuh karena
amar-ma’ruf-nahi-munkarnya, ia mencapai cita-cita nya yang paling agung: Mati
syahid!
Waktu itu ia tidak
sendirian. Ada rekan-rekannya yang mempunyai keyakinan yang sama. Bersama
mereka, akhinya ia berhasil “merebut” masjid itu. Azan awal pada shalat Jumat
dihilangkan. Azan hanya dikumandangkan ketika khatib berdiri di mimbar. Usai
azan, khatib langsung berkutbah sehingga tidak tersedia peluang bagi jamaah
untuk melakukan shalat qabla Jumat. Dan pemuda itu menjadi khatib tetap di
masjid itu. Sebagai catatan tambahan, perlu diberitahukan bahwa setelah masjid
itu berganti pengurus, shalat Jumat hanya dihadiri tiga shaf saja.
Hampir-hampir terjadi perkelahian massal untuk memperebutkan masjid, kalau saja
bukan karena ketakutan warga kepada seorang perwira TNI yang mendukung pemuda
tersebut.
Tentara tidak selalu mendukungnya. Sekali waktu ia
diinterogasi tentara di kantor Bakorstanasda, sebuah lembaga di luar konstitusi
yang mempunyai hak mencabut kebebasan, dan juga nyawa warga negara. Ia dituduh
bergabung dengan gerakan teror Warman. Tuduhan itu memang keliru. Ia tidak
memiliki hubungan apapun dengan gerakan Warman. Tetapi ia sering memberikan
ceramah yang dipandang ekstrem. Di berbagai mesjid di Bandung. Ia mengajak kaum
muslim untuk menegakkan Syariat Islam, dengan demikian semua masalah yang
dihadapi bangsa dapat segera diselesaikan. “Jika
kamu menolong Allah, Allah akan menolong kamu” adalah ayat Alquran yang
sering dia kutip. “ Barangsiapa yang
tidak berhukum dengan hukum Allah, ia termasuk orang yang kafir, zalim,fasiq!”
adalah kalimat yang sering disampaikannya, sebagai paraphrase dari ujung
ayat-ayat Al_Maidah 44,45,47.
TIGAPULUH TAHUN KEMUDIAN……..
Ia sudah tidak jadi pemuda lagi. Ia sudah berusia lebih dari setengah abad. Beberapa lembar uban sudah mulai tampak di kepalanya. Ia sudah punya cucu, yang sering dibanggakannya di tempat-tempat yang kadang-kadang tidak relevan. Ketika shalat Jumat dimanapun, jika semua orang berdiri melaksanakan shalat qabla Jumat, Ia akan berdiri juga. Ia bukan saja berdiri ketika mambaca shalawat. Ia juga menyebarkan shalawat kemana-mana. Ketika ibunya meninggal dunia, ia menyelenggarakan tahlilan. Sebelumnya, dengan air mata yang dibiarkannya terus mengalir, ia membacakan talqin di atas pusaranya. Apa yang di masa mudanya dianggap bid’ah, sekarang dikerjakannya dengan sepenuh hati. Dan….mengejutkan banyak kawannya, ia tidak setuju dengan amandemen yang ingin memasukkan “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”. Ia juga tidak setuju dengan pembentukan Negara Islam yang dulu menjadi mimpi besarnya. Dengan ukuran masa mudanya, ia sekarang sudah jauh “tersesat”. Sebagian kawannya sekarang menganggapnya begitu. Jafar Umar Thalib, tokoh Islam garis keras menyebutnya sebagai agen neoimperialisme yang akan menghancurkan umat Islam, agen Zionis yang dilatih Yahudi.
Gerakan
“setan” manakah yang memasuki tokoh kita ini? Ia memang telah berubah dalam
banyak hal: tubuhnya,usianya, status sosialnya, pendidikan, kawan bergaulnya.
Tapi perubahan-perubahan itu bukanlah yang mengubah dia menjadi dia yang sekarang. Mahzabnya boleh
saja sudah berubah. Tapi bukan Mahzab itu yang mengantarnya pada posisi
sekarang. Agamanya masih tetap Islam; tetapi caranya memandang Islam sudah
berubah. Yang berubah adalah paradigma keber-agama-annya.
- Kang Jalal –
DAHULUKAN AKHLAK DIATAS
FIKIH, Jalaluddin Rakhmat, Penerbit Mizan,Bandung, 2007, hal 33-36