Jumat, 30 September 2011

KEADILAN DAN DAN REKONSILIASI


Minggu lalu di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis meresmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan yang dipimpin oleh orang2 eks tapol dan napol, kasarnya orang-orang Partai Komunis Indonesia yang sudah dibubarkan. Mereka mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas Gerakan Wanita Indonesia yang dianggap sebagai perempuan PKI.
Peresmian yang diminta mereka secara apa adanya pada pagi yang cerah itu disaksikan antara lain oleh S.K Trimurti, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai sekarang masih mengalami tekanan-tekanan dan kehilangan segala-galanya. Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan kerena mereka dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda mereka dirampas. Sementara stigma (cap) mereka adalah penghianat bangsa tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini.
Dipimpin oleh dr. Tjiptaning Proletariati, mereka membentuk Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru) yang memiliki cabang dimana-mana, walhasil gerakan mereka berskala nasional. Namun karena perikemanusiaan jugalah penulis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti halnya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo, yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Nasional Indonesia).
Pada waktu turut “berkuasa”, PKI pernah berturut-turut memberikan cap pemberontak secara keseluruhan kepada (mantan) orang-orang DI/TII itu. Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan bahwa orang orang itu tadinya direkrut oleh Kartosuwiryo dengan menggunakan nama DI/TII tersebut karena diperintahkan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman. Perekrutan dilaksanakan guna menghindari kekosongan di daerah Jawa Barat, yang ditinggalkan TNI untik kembali ke Jawa Tengah (kawasan RI) akibat perjanjian Renville yang mengharuskan terjadinya hal itu.
Seorang pembaca menyanggah “catatan” penulis itu karena di matanya tak mungkin Kartosuwiryo menjadi “penasihat” militer Jendral Soedirman. Pembaca itu tidak tahu bahwa penasihat politik Jendral Soedirman adalah ayah penulis sendiri K.H. A. Wahid Hasyim. Karena itu simpati penulis kepada mereka juga tidak kalah besarnya kepada mantan orang-orang PKI.
Disini penulis ingin menekankan kepada konflik-konflik bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alasannya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa tidak usah menakuti kelompok manapun. Justru keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai persyaratan utama sebuah proses demokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar dengan 205 juta penduduk lebih saat ini. Kita harus mampu menegakkan keadilan dan tidak “menghukum” mereka yang tidak bersalah.
Seperti pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang lain di balik pengeboman Bali itu dengan bom yang lebih besar yang membunuh lebih dari 200 jiwa. Pernyataan Amrozi ini seharusnya mendorong kita untuk memeriksa “pengakuan” tersebut. Namun hal ini tidak dilakukan. Karena itu, hingga saat ini kita tetap tidak tahu adalah pendapat Amrozi itu fakta atau tidak. Demikian juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakkan bom di Hotel Marriot Jakarta beberapa waktu kemudian.
Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam perspektif kemanusiaan, bukannya secara ideologis saja. Maka sudah tentu akan sangat mudah bagi kita menganggap diri kita sendiri benar dan orang lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakikat kehidupan bangsa kita yang demikian beragam. Ke bhinekaan atau keragaman justru menunjukan kekayaan kita sangat besar. Karena itu, kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.
Sebagai contoh dapat dikemukakan Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap “biang kerok” terorisme di negeri kita saat ini. Pengadilan pun lalu menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara, yang sekarang sedang dijalaninya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang di Jakarta Timur. Memang pengadilan menetapkan ia bersalah, tapi kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat data-data yang “tidak-pasti” (unreliable) digunakan dalam mengambil keputusan.
Ini juga terjadi karena memang pengadilan-pengadilan kita memang penuh “mafia-peradilan”, maka kita tidak dapat diyakinkan oleh “kepastian hukum” yang dihasilkannya. Seperti hal nya kasus Akbar Tandjung, dengan jelas keputusan Mahkamah Agung terus “diragukan” apapun bunyi keputusan itu. Tidak heran lah, sekarang kita mengalami “kelesuan” dalam penegakaan kedaulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari luar negeri karena langkanya kepastian hukum tadi.
***
Sebuah kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan disini. Kiai Mahfud Sumalangu (Kebumen) adalah pahlawan yang memerangi bala tentara pendudukan Belanda di Banyumas Selatan. Ketika kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas usulan Jendral Besar AH Nasution, antara lain berupa ketentuan bahwa komandan batalyon TNI haruslah berijazah dan ijazah hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendidikan saja (tidak termasuk pesantren), maka Kiai kita itu tidak diperkenankan menjadi Komandan Batalyon di Purworedjo. Sebagai gantinya diangkat perwira muda bernama A Yani. Akibatnya Kiai kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian dinyatakan oleh A. Yani sebagai pemberontak. Peristiwa tragis ini terjadi pada awal-awal tahun 1950-an, namun bekasnya yang pahit masih tersisa sampai hari ini.
Hal-hal seperti ini masih banyak terjadi/terdapat di negeri kita dewasa ini. Karenanya, kita masih harus memiliki kelapangan dada untuk dapat menerima kehadiran pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk didalamnya orang-orang mantan narapidana politik (napol) dan tahanan politik (tapol) PKI, yang kebanyakan bukan orang yang benar-benar memahami betul ideologi mereka itu. Karena itulah penulis tidak pernah menganggap, baik orang-orang PKI maupun orang-orang DI/TII sebagai “lawan yang harus diwaspadai”.
Penulis justru beranggapan bahwa orang-orang mantan PKI itu sekarang sedang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai “kezaliman-kezaliman”, justru pernah mereka lakukan saat “berkuasa”. Sekarang mereka berpegang pada keyakinan yang mereka miliki yang tidak bertentangan dengan undang-undang dasar. Kalau kita juga menggunakan cara itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa yang kita perlukan adalah sebuah rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan “yang adil” bagi semua pihak. Kalau “konglomerat hitam” dapat diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan), mengapakah kita tidak dapat melakukan hal seperti itu pada orang-orang mantan PKI dan DI/TII.
Jadi pengertian dan rekonsiliasi yang benar adalah pertama mangharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat dicari. Disinilah letak keadilan yang harus ditegakkan di Bumi Nusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi di depan mata kita dalam lima belas tahun terakhir ini justru meminta kepada kita agar “melupakan” apa yang terjadi 40-50 tahun yang lalu. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan.
Kedengarannya mudah dilakukan, namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan bukan?
K.H Abdurrahman Wahid, Keadilan & Rekonsiliasi, Kompas, Sabtu, 14-02-2004

Kamis, 25 Agustus 2011


'You've got to find what you love,' Jobs says

This is a prepared text of the Commencement address delivered by Steve Jobs, CEO of Apple Computer and of Pixar Animation Studios, on June 12, 2005.

I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I've ever gotten to a college graduation. Today I want to tell you three stories from my life. That's it. No big deal. Just three stories.

The first story is about connecting the dots.

I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?

It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: "We have an unexpected baby boy; do you want him?" They said: "Of course." My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.

And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents' savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn't see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn't interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.

It wasn't all romantic. I didn't have a dorm room, so I slept on the floor in friends' rooms, I returned coke bottles for the 5¢ deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example:

Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn't have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can't capture, and I found it fascinating.

None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, it's likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.

Again, you can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.

My second story is about love and loss.

I was lucky — I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation — the Macintosh — a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.

I really didn't know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down - that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me — I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.

I didn't see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.

During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I returned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple's current renaissance. And Laurene and I have a wonderful family together.

I'm pretty sure none of this would have happened if I hadn't been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don't lose faith. I'm convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You've got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven't found it yet, keep looking. Don't settle. As with all matters of the heart, you'll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don't settle.

My third story is about death.

When I was 17, I read a quote that went something like: "If you live each day as if it was your last, someday you'll most certainly be right." It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: "If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?" And whenever the answer has been "No" for too many days in a row, I know I need to change something.

Remembering that I'll be dead soon is the most important tool I've ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything — all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure - these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.

About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn't even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor's code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you'd have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.

I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I'm fine now.

This was the closest I've been to facing death, and I hope it's the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:

No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.

Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma — which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.

When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960's, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.

Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: "Stay Hungry. Stay Foolish." It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Thank you all very much.

translate:

PIDATO STEVE JOBS DI STANFORD UNIVERSITY

Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah selesai kuliah. Sejujurnya, baru saat inilah saya merasakan suasana wisuda. Hari ini saya akan menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Ya, tidak perlu banyak. Cukup tiga.Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-Titik

Saya drop out (DO) dari Reed College setelah semester pertama, namun saya tetap berkutat di situ sampai 18 bulan kemudian, sebelum betul-betul putus kuliah. Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena “kecelakaan” dan memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi.

Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran bayi perempuan karena ingin. Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: “kami punya bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka menjawab:“Tentu saja.” Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA. Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.

Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya saya memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan orang tua saya yang hanya pegawai rendah habis untuk biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak melihat manfaatnya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka. Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak saya minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai. Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna. Saya menikmatinya. Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat berharga. Saya beri Anda satu contoh:

Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan petunjuk ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya tidak harus mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti kelas kaligrafi guna mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan.

Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik. Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Mac, maka tidak ada PC yang seperti itu. Sekali lagi, Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi, dan PC tidak memiliki tipografi yang indah. Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang. Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi,takdir, jalan hidup, karma Anda, atau istilah apa pun lainnya. Pendekatan ini efektif dan membuat banyak perbedaan dalam kehidupan saya.

Cerita Kedua Saya: Cinta dan Kehilangan.

Saya beruntung karena tahu apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz (Steve Wozniak) dan saya mengawali Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20 tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami-Macintosh- satu tahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat. Loh,, bagaimana mungkin Anda dipecat oleh perusahaan yang Anda dirikan? tapi memang itulah yang terjadi. Seiring pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya. Dalam satu tahun pertama,semua berjalan lancar. Namun, kemudian muncul perbedaan dalam visi kami mengenai masa depan dan kami sulit disatukan. Komisaris ternyata berpihak padanya. Demikianlah, di usia 30 saya tertendang. Bisa anda bayangkan kerja keras bertahun-tahun membangun kerajaan berakhir dengan anda berada di depan gerbangnya.

Beritanya ada di mana-mana. Apa yang menjadi fokus sepanjang masa dewasa saya, tiba-tiba sirna. Sungguh menyakitkan. Dalam beberapa bulan kemudian, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya merasa telah mengecewakan banyak wirausahawan generasi sebelumnya -saya gagal mengambil kesempatan. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan meminta maaf atas keterpurukan saya. Saya menjadi tokoh publik yang gagal, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley. Namun, sedikit demi sedikit semangat timbul kembali- saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya putuskan untuk mulai lagi dari awal. Waktu itu saya tidak melihatnya, namun belakangan baru saya sadari bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang menimpa saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula, segala sesuatunya lebih tidak jelas. Hal itu mengantarkan saya pada periode paling kreatif dalam hidup saya.

Dalam lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT, lalu Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan film animasi komputer pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Melalui rangkaian peristiwa yang menakjubkan, Apple membeli NeXT, dan saya kembali lagi ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa. Saya yakin takdir di atas tidak terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya. Kadangkala kehidupan menimpuk batu ke kepala Anda. Jangan kehilangan kepercayaan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Itu berlaku baik untuk pekerjaan maupun asangan hidup Anda. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda, dan kepuasan sejati hanya dapat diraih dengan mengerjakan sesuatu yang hebat. Dan Anda hanya bisa hebat bila mengerjakan apa yang Anda sukai. Bila Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan bila Anda telah menemukannya. Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat lainnya, semakin lama-semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari sampai ketemu. Jangan berhenti.

Cerita Ketiga Saya: Kematian

Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: “Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar.” Ungkapan itu membekas dalam diri saya, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah. Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu-semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal-tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati. Harapan hidup saya tidak lebih dari 3-6 bulan. Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya, yang merupakan sinyal dokter agar saya bersiap mati. Artinya, Anda harus menyampaikan kepada anak Anda dalam beberapa menit segala hal yang Anda rencanakan dalam sepuluh tahun mendatang. Artinya, memastikan bahwa segalanya diatur agar mudah bagi keluarga Anda. Artinya, Anda harus mengucapkan selamat tinggal. Sepanjang hari itu saya menjalani hidup berdasarkan diagnosis tersebut. Malam harinya, mereka memasukkan endoskopi ke tenggorokan, lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreas saya dan mengambil beberapa sel tumor. Saya dibius, namun istri saya, yang ada di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi. Saya dioperasi dan sehat sampai sekarang. Itu adalah rekor terdekat saya dengan kematian dan berharap terus begitu hingga beberapa dekade lagi.

Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa katakan dengan yakin kepada Anda bahwa menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna: Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun, kematian pasti menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian membuat hidup berputar. Dengannya maka yang tua menyingkir untuk digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun memang begitu.

Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma-yaitu hidup bersandar pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda, maka Anda pun akan sampai pada apa yang Anda inginkan. Semua hal lainnya hanya nomor dua.

Ketika saya masih muda, ada satu penerbitan hebat yang bernama “The Whole Earth Catalog“, yang menjadi salah satu buku pintar generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini di Menlo Park, dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Waktu itu akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Mungkin seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya padat dengan tips-tips ideal dan ungkapan-ungkapan hebat. Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi “The Whole Earth Catalog”, dan ketika mencapai titik ajalnya, mereka membuat edisi terakhir. Saat itu pertengahan 1970-an dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, jenis yang mungkin Anda lalui jika suka bertualang.

Di bawahnya ada kata-kata: “Stay Hungry. Stay Foolish.” Itulah pesan perpisahan yang dibubuhi tanda tangan mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Saya selalu mengharapkan diri saya begitu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus untuk memulai kehidupan baru, saya harapkan Anda juga begitu. Always Stay Hungry. Stay Foolish.

Terima Kasih.

Sumber Bahasa Inggris: www.stanford.edu

Somber Bahasa Indonesia: www.kaskus.us


Minggu, 07 Februari 2010

VALENTINO ROSSI


VALENTINO ROSSI – “THE DOCTOR”

Bagi kalangan umum apalagi pencinta otomotif, nama Valentino Rossi sudah bukan sesuatu yang asing di dengar. Dialah legenda hidup otomotif yang masih “on fire” untuk terus mengejar prestasi yang terus menorehkan namanya dalam tinta emas “manusia yang mempegaruhi dunia.”. Pada tahun 2002, saat usianya baru 23 tahun dia sudah mampu memenangkan kejuaraan dunia untuk semua kategori :125cc, 250cc,500cc dam MotoGP. Tentu saja hal ini sangat special karena hal ini belum dilakukan oleh siapapun. Dan tahun 2008, Valentino Rossi bersama Yamaha akan mempersembahkan kembali gelar juara dunia kelas MotoGP setelah 2006 jatuh ke tangan Nicky Hayden dan 2007 ke pelukan Casey Stoner.

Valentino Rossi adalah seorang manusia biasa yang marah apabila kalah, sedih apabila dia motornya jatuh, senang apabila memenangkan kejuaraan dan semua perasaan yang berkecamuk dalam batinnya. Bedanya, dia berhasil memadukan perasaan itu sebagai energi yang luar biasa untuk bangkit, bangkit dan bangkit. Tapi yang pasti dia dilahirkan untuk ngebut. Dia adalah seniman yang berhasil dalam meramu kecepatan motornya menjadi sebuah karya seni balap. Memang jalan untuk mencapai hal tersebut sangatlah terjal, perseteruan di olahraga otomotif luarbiasa ketat. Rivalnya spt: Max Biaggi, Sete Gibernau, Casey Stoner, Dani Pedrosa adalah pembalap yang selalu siap menantang Rossi untuk adu balap. Tapi bukan Rossi kalau gentar. Apapun motornya, pemenangnya sudah pasti Rossi.

Memang terlalu sombong dengan “Apapun motornya, pemenangnya pasti Rossi”, Rossi pun tidak enak dengan gelar tersebut. Dimulai dengan menjadi pembalap Honda yang punya moto “Siapapun Pembalapnya Jika Memakai Honda Pasti Menang”, Rossi mengalami stress yang luar biasa. Jika dia menang, motor Honda nya yang dipuji, jika dia kalah dianya sebagai pembalap yang dicaci. Akhirnya dari gurauan Davide Brivio (Direktur Tim Yamaha) untuk bergabung dengan Yamaha, Rossi pun bepikir dan menyambut positif ajakan Brivio. Menurut Brivio Yamaha tidak akan pernah menjadi pemenang jika Rossi masih menjadi pembalap Honda. Walaupun kondisi Yamaha pun tidak dalam kondisi yang baik. Motor Yamaha sendiri masih kalah dibanding Honda dan pembalap Yamaha pun tidak ada yang bagus. Ajakan itu adalah gurauan yang berbuntut tantangan. Mampukah aku menjadi juara jika aku memakai Yamaha? Sementara motor terbaik adalah Honda. Dan aku adalah pembalap Honda. Tapi bukan Rossi kalau takut. Ajakan Brivio disambut positif oleh Rossi sampai-sampai Brivio sendiri tidak percaya kalau Rossi mau meninggalkan Honda untuk bergabung dengan Yamaha. Ya, tentu saja tidak percaya karena itu adalah tindakan bunuh diri!

Rossi percaya bahwa Yamaha adalah raksasa yang sedang tertidur. Yamaha bisa bangkit jika ada seseorang yang merombak “suasana” Yamaha. Dan Rossi pun bertekad, sayalah orang yang melakukan “perombakan” itu. Hal itu tidak mudah, karena suasana kerja Yamaha sangatlah berbeda dengan Honda yang serba teratur. Akhirnya, Rossi bisa pindah menjadi pembalap Yamaha dengan syarat dialah yang menentukan tim juga diberi kebebasan dalam menangani motor. Itulah hal yang tidak mungkin didapatkan di Honda. Para pembalap di Honda diharuskan patuh terhadap setelan insinyur Honda. Dan Rossi membawa tim teknisi Honda menuju Yamaha. Sudah pasti Rossi ingin Jeremy Burgess, ketua tim teknisinya di Honda. Dan Yamaha mengabulkan semua negosiasi dengan Rossi. Kebebasan inilah yang membuat Rossi merasa nyaman bersama Yamaha dan siap menjadi Juara bersama Yamaha.

Tak terasa MotoGP sudah memasuki tahun 2009, tahun 2008 MotoGP ditutup dengan manis oleh Yamaha (kategori, pabrikan motor: Yamaha, pembalap: Valentino Rossi, team: Fiat Yamaha, termasuk rookie of the year: Jorge Lorenzo). Valentino Rossi masih “on fire”, biar dikatakan sudah tua untung ukuran MotoGP, tapi dialah “King of MotoGP” untuk saat ini. Saya mengikuti debut Valentino Rossi sejak dia mengikuti kelas 125 cc. Kenangan yang terindah adalah pindah dari Honda menuju Yamaha, Tidak ada yang percaya dengan keputusan itu, saya pun tidak. Boleh pindah, tapi kok Yamaha? Tapi Rossi dapat membuktikan bahwa kepindahan dia ke Yamaha memberikan Gelar Juara Dunia, Yang kedua, ketika tahun 2006-2007, ketika juara dunia lepas ke tangan Nicky Hayden dan Casey Stoner, semua menjagokan (kritisi, pembalap bahkan media) pembalap muda, Casey Stoner, dan masa Rossi sudah habis. Tapi, bukan Rossi klu tidak tertantang. “Ayo Kita Balap..!!!” kata Rossi. Hasilnya kita lihat pas GP US Laguna Seca (The best MotoGP 2008), Dan Rossi Juara !!!! Yamaha vs Ducati !!! Yamaha menang..!!!.

Pelajaran hidup dari Valentino Rossi adalah bangkit,…bangkit, dan bangkit….!!!.Walaupun keadaan sudah tidak memungkinkan, walaupun kita sudah dipandang sebelah mata, walaupun kita sudah dianggap “tidak layak”, ini tidak mungkin…, semua bilang tidak mungkin… hanya ada sedikit “celah”. Dan “celah”itu hanya kita yang tahu. Ambil, jangan sia-siakan kesempatan itu. Hanya itulah kesempatan kita. Ambil atau terlambat sama sekali..!!! Dan jika kita berhasil, hanya kita yang tahu, kalau kita berhasil,….Yes, aku berhasil,…..!!! (Ini data valid, SAYA LAH BUKTINYA !!!-VALENTINO ROSSI).

Hasan Sobirin-dari berbagai sumber, Valentino Rossi- Otobiografi “What if I had never tried it”, Valentino Rossi fans Club Bandung on Facebook-groups, Valentino Rossi -Yellow Community 46, November 2008.

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...