Jumat, 28 November 2014

Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara by Soekarno

Buat nomor Maulud ini Redaksi “Panji Islam” minta kepada saya supaya saya menulis satu artikel tentang: “Nabi Muhammad sebagai Pembangun Masyarakat!” Permintaan redaksi itu saya penuhi dengan segala kesenangan hati. Tetapi dengan sengaja saya memakai titel yang lain daripada yang dimin­tanya itu, yakni untuk memusatkan perhatian pembaca kepada pokoknya saya punya uraian nanti.

Nabi Muhammad memang salah seorang pembangun masyarakat yang maha-maha-haibat. Tetapi tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa masya­rakat abad ketujuh Masehi itu tidak sama dengan masyarakat abad keduapuluh yang sekarang ini.

Hukum-hukum diadakan oleh Nabi Muhammad untuk membangunkan dan memeliharakan masyarakat itu, tertulislah di dalam Qur’an dan Sunah (Hadits). Hurufnya Qur’an dan Hadits itu tidak berobah, sebagai juga tiap-tiap huruf yang sudah tertulis satu kali: buat hurufnya Qur’an dan Sunah malahan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas”.

Tetapi masyarakat selalu berobah, masyarakat selalu ber-evolusi. Sayang sekali ini tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, – sebab umpama­nya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidaklah selalu ada konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Qur’an dan Sunah itu, dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap!

Nabi Muhammad punya pekerjaan yang maha-maha-haibat itu bolehlah kita bahagikan menjadi dua bahagian: bahagian sebelum hijrah, dan bahagian sesudah hijrah.

Bahagian yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahan­nya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak: yakni orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang mulia perangainya. Hampir semua ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan di Mekkah itu adalah mengan­dung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid, percaya kepada Allah yang Esa dan Maha-Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta ke­pada si miskin, berani kepada kebenaran, takut kepada azabnya neraka, lazatnya ganjaran syurga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat men­jadi kehidupan manusia umurnnya, dan pandemen rohaninya perjoangan serta masyarakat di Madinah kelak.

Sembilanpuluh dua daripada seratus empatbelas surat, – hampir dua pertiga Qur’an – adalah berisi ayat-ayat Mekkah itu. Orang-orang yang dididik oleh Muhammad dengan ayat-ayat serta dengan sunah dan teladannya pula, menjadilah orang-orang yang tahan-uji, yang gilang-gemilang imannya serta akhlaknya, yang seakan-akan mutiara dikala damai, tetapi seakan-akan dinamit di masa berjoang. Orang-orang inilah yang menjadi material-pokok bagi Muhammad untuk menyusun Ia punya masyarakat kelak dan Ia punya perjoangan kelak.

Maka datanglah kemudian periode Madinah. Datanglah kemudian periodenya perjoangan-perjoangan dengan kaum Yahudi, perjoangan dengan kaum Mekkah. Datanglah saatnya Ia menggerakkan material itu, – ditambah dengan material baru, antaranya kaum Ansar mendina­miskan material itu ke alam perjoangan dan kemasyarakatan yang teratur. Bahan-bahan rohani yang Ia timbun-timbunkan di dalam dadanya kaum Muhajirin, kaum Ansar serta kaum-Islam baru itu, dengan satu kali perintah sahaja yang keluar dari mulutnya yang Mulia itu, menjadilah menyala-nyala berkobar-kobar menyinari seluruh dunia Arab.

“Pasir di padang-padang-pasir Arabia yang terik dan luas itu, yang beribu-ribu tahun diam dan seakan-akan mati, pasir itu sekonyong-konyong menjadilah ledakan mesiu yang meledak, yang kilatan ledakannya menyinari seluruh dunia”, – begitulah kira-kira perkataan pujangga Eropah Timur Thomas Carlyle tatkala ia membicarakan Muhammad.

Ya, pasir yang mati menjadi mesiu yang hidup, mesiu yang dapat meledak. Tetapi mesiu ini bukanlah mesiu untuk membinasakan dan menghancurkan sahaja, tidak untuk meleburkan sahaja perlawanannya orang yang kendati diperingatkan berulang-ulang, sengaja masih znendur­haka kepada Allah dan mau membinasakan agama Allah. Mesiu ini ju­galah mesiu yang boleh dipakai untuk mengadakan, mesiu yang boleh dipakai untuk scheppend-werk, sebagai dinamit di zaman sekarang bukan sahaja boleh dipakai untuk musuh, tetapi juga untuk membuat jalan biasa, jalan kereta-api, jalan irigasi,- jalannya keselamatan dan ke­makmuran. Mesiu ini bukanlah sahaja mesiu perang tetapi juga mesiu kesejahteraan.

Di Madinah itulah Muhammad mulai menyusun Ia punya masyarakat dengan tuntunan Ilahi yang selalu menuntun kepadanya. Di Madinah itulah turunnya kebanyakannya “ayat-ayat masyarakat” yang mengisi sepertiga lagi dari kitab Qur’an. Di Madinah itu banyak sekali dari Ia punya sunah bersifat “sunah-kemasyarakatan”, yang mengasih petun­juk ditentang urusan menyusun dan membangkitkan masyarakat.

Di Madinah itu Muhammad menyusun satu kekuasaan “negara”, yang mem­buat orang jahat menjadi takut menyerang kepadaNya, dan membuat orang balk menjadi gemar bersatu kepadaNya. Ayat-ayat tentang zakat, sebagai semacam payak untuk membelanjai negara, ayat-ayat merobah qiblah dari Baitulmuqaddis ke Mekkah, ayat-ayat tentang hukum-hukum­nya perang, ayat-ayat tentang pendirian manusia terhadap kepada manusia yang lain, ayat-ayat yang demikian itulah umumnya sifat ayat-ayat Madinah itu.

Di Mekkah turunlah terutama sekali ayat-ayat iman, di Madinah ayat-ayat mengamalkan itu iman. Di Mekkah diatur perhubungan manusia dengan Allah, di Madinah perhubungan manusia dengan manusia sesama­nya. Di Mekkah dijanjikan kemenangan orang yang beriman, di Madina dibuktikan kemenangan orang yang beriman.

Tetapi tidak periode dua ini terpisah sama sekali sifatnya satu dengan lain, tidak dua periode ini sama sekali tiada “penyerupaan” satu kepada yang lain. Di Mekkah adalah turun pula ayat-ayat iman. Tetapi bolehlah kita sebagai garis-umum mengatakan: Mekkah adalah persediaan masyarakat, Madinah adalah pelaksanaan masyarakat itu.

Itu semua terjadi di dalam kabutnya zaman yang purbakala. Hampir empatbelas kali seratus tahun memisahkan zaman itu dengan zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad di Madinah itu sudahlah dihimpunkan oleh Sayidina Usman bersama­-sama ayat-ayat yang lain menjadi kitab yang tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas, sehingga sampai sekarang masihlah kita kenali dia presis sebagai keadaannya yang asli. Syari’at yang termaktub di dalam ayat-ayat serta sunah-sunah Nabi itu, syari’at itu diterimakanlah oleh angkatan­-angkatan dahulu kepada angkatan-angkatan sekarang, turun-temurun, bapak kepada anak, anak kepada anaknya lagi. Syari’at ini menjadilah satu kumpulan hukum, yang tidak sahaja mengatur masyarakat padang­ pasir di kota Jatrib empatbelas abad yang lalu, tetapi menjadilah satu kumpulan hukum yang musti mengatur kita punya masyarakat di zaman sekarang.

Maka konflik datanglah! Konflik antara masyarakat itu sendiri dengan pengertian manusia tentang syari’at itu. Konflik antara masya­rakat yang selalu berganti corak, dengan pengertian manusia yang beku. Semakin masyarakat itu berobah, semakin besarlah konfliknya itu.

Belum pernah masyarakat begitu cepat robahnya sebagai di akhir abad yang kesembilanbelas di permulaan abad yang keduapuluh ini. Sejak orang mendapatkan mesin-uap di abad yang lalu, maka roman-muka dunia bero­bahlah dengan kecepatan kilat dari hari ke hari. Mesin-uap diikuti oleh mesin-minyak, oleh electriciteit, oleh kapal-udara, oleh radio, oleh kapal­kapal-selam, oleh tilpun dan telegraf, oleh televisi, oleh mobil dan mesin-tulis, oleh gas racun dan sinar yang dapat membakar. Di dalam limapuluh tahun sahaja roman-muka dunia, lebih berobah daripada di­ dalam limaratus tahun yang terdahulu. Di dalam limapuluh tahun inipun sejarah-dunia seakan-akan melompati jarak yang biasanya dilalui sejarah itu di dalam limaratus tahun. Masyarakat seakan-akan bersayap kilat.

Tetapi pengertian tentang syari’at seakan-akan tidak bersayap, seakan-akan tidak berkaki, – seakan-akan tinggal beku, kalau umpamanya tidak selalu dihantam bangun oleh kekuatan-kekuatan-muda yang selalu mengentrok-entrokkan dia, mengajak dia kepada “rethinking of Islam” di waktu yang akhir-akhir ini. Belum pernah dia ada konflik yang begitu besar antara masyarakat dan pengertian syari’at, seperti di zaman yang akhir-akhir ini.

Belum pernah Islam menghadapi krisis begitu haibat, sebagai di zaman yang akhir-akhir ini. “Islam pada saat ini,” - begitulah Prof. Tor Andrea menulis di dalam sebuah majalah -, “Islam pada saat ini adalah sedang menjalani “ujian-apinya” sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia alah, ia akan me­rosot ke tingkatan yang kedua buat selama-lamanya”.

Ya, dulu “zaman Madinah”, – kini zaman 1940. Di dalam ciptaan kita nampaklah Nabi duduk dengan sahabat-sahabatnya di dalam rumah­nya. Hawa sedang panas terik, tidak ada kipas listrik yang dapat menyegarkan udara, tidak ada es yang dapat menyejukkan kerongkongan, Nabi tidak duduk di tempat penerimaan tamu yang biasa, tetapi bersan­darlah Ia kepada sebatang puhun kurma tidak jauh dari rumahnya itu.

Wajah mukanya yang berseri-seri itu nampak makin sedaplah karena rambutnya yang berombak-ombak dan panjang, tersisir rapih ke belakang, sampai setinggi pundaknya. Sorot matanya yang indah itu seakan-akan “mimpi”, – seperti memandang kesatu tempat yang jauh sekali dari alam yang fana ini, melayang-layang di satu alam-gaib yang hanya dikenali Tuhan.

Maka datanglah orang-orang tamunya, orang-orang Madinah atau luar ­Madinah, yang sudah masuk Islam atau yang mau masuk Islam. Mereka semuanya sederhana, semuanya membawa sifatnya zaman yang kuno itu. Rambutnya panjang-panjang, ada yang sudah sopan, ada yang belum sopan. Ada yang membawa panah, ada yang mendukung anak, ada yang jalan kaki, ada yang naik onta, ada yang setengah telanjang. Mereka datanglah minta keterangan dari hal pelbagai masalah agama, atau minta petunjuk ditentang pelbagai masalah dunia sehari-hari. Ada yang mena­nyakan urusan ontanya,

ada yang menanyakan urusan pemburuan, ada yang mengadukan hal pencurian kambing, ada yang minta obat, ada yang minta didamaikan perselisihannya dengan isteri di rumah.

Tetapi tidak seorang­pun menanyakan boleh tidaknya menonton bioskop, boleh tidaknya mendirikan bank, boleh tidaknya nikah dengan perantaraan radio, tidak seorang­pun membicarakan hal mobil atau bensin atau obligasi bank atau telegraf atau kapal-udara atau gadis menjadi dokter …

Nabi mendengarkan segala pertanyaan dan pengaduan itu dengan tenang dan sabar, dan mengasihlah kepada masing-masing penanya jawabnya dengan kata-kata yang menuju terus ke dalam rokh-semangatnya semua yang hadir.  Di sinilah syari’atul Islam tentang masyarakat lahir kedunia, di sinilah buaian wet kemasyarakatan Islam yang nanti akan dibawa oleh zaman turun-temurun, melintasi batasnya waktu dan batasnya negeri dan samudra.

Di sinilah Muhammad bertindak sebagai pembuat wet, bertindak sebagai wetgever, dengan pimpinannya Tuhan, yang kadang-kadang langsung mengasih pimpinannya itu dengan ilham dan wahyu. Wet ini harus cocok dan mengasih kepuasan kepada masyarakat di waktu itu, dan cukup “karat”, – cukup elastis, cukup supel, – agar dapat tetap dipakai sebagai wet buat zaman-zaman di kelak kemudian hari. Sebab Nabi, di dalam maha-kebijaksanaannya itu insyaflah, bahwa Ia sebenarnya tidak mengasih jawaban kepada si Umar atau si Zainab yang duduk di hadapannya di bawah puhun kurma pada saat itu sahaja, – Ia insyaf, bahwa Ia sebenarnya mengasih jawaban kepada Seluruh Peri- kemanusiaan.

Dan seluruh peri kemanusiaan, bukan sahaja dari zamannya Nabi sendiri, tetapi juga seluruh peri kemanusiaan dari abad-abad yang ke­mudian, abad kesepuluh, abad keduapuluh, ketigapuluh, keempatpuluh, kelimapuluh dan abad-abad yang masih kemudian-kemudian : Lagi yang masyarakatnya sifatnya lain, susunannya lain, kebutuhannya lain, hukum perkembangannya lain.

Maka di dalam maha-kebijaksanaan Nabi itu, pada saat Ia mengasih jawaban kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun yang lalu itu, Ia adalah juga mengasih jawaban kepada kita. Kita, yang hidup ditahun 1940! Kita, yang hajat kepada radio dan listrik, kepada sistim politik yang modern dan hukum-hukum ekonomi yang modern, kepada kapal-udara dan telegraf, kepada bioskop dan universitas! Kita, yang alat-alat penyenangkan hidup kita berlipat­-lipat ganda melebihi jumlah dan kwaliteitnya alat-alat hidup si Umar dan si Zainab dari bawah puhun kurma tahadi itu, yang masalah-masalah hidup kita berlipat-lipat ganda lebih sulit, lebih berbelit-belit, daripada si Umar dan si Zainab itu. Kita yang segala-galanya lain dari si Umar dan si Zainab itu.

Ya, juga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala ucapan-ucapan Muhammad tentang hukum-hukum masyarakat itu bersifat syarat-syarat minimum, yakni tuntutan-tuntutan “paling sedikitnya”, dan bukan tuntutan-tuntutan yang “musti presis begitu”, bukan tuntutan­tuntutan yang mutlak. Maka oleh karena itulah Muhammad bersabda pula, bahwa ditentang urusan dunia “kamulah lebih mengetahui”.

Halide Edib Hanum kira-kira limabelas tahun yang lalu pernah menulis satu artikel di dalam surat-surat-bulanan “Asia”. Yang antaranya ada berisi kalimat: “Di dalam urusan ibadat, maka Muhammad adalah amat keras sekali. Tetapi di dalam urusan yang lain, di dalam Ia punya sistim masya­rakat, Ia, sebagai seorang wetgever yang jauh penglihatan, adalah menga­sih hukum-hukum yang sebenarnya “liberal”. Yang membuat hukum-­hukum masyarakat itu menjadi sempit dan menyekek nafas ialah con­sensus ijma’ ulama.”

Renungkanlah perkataan Halide Edib Hanum ini. Hakekatnya tidak berbedaan dengan perkataan Sajid Amir All tentang “kekaretan” wet-wet Islam itu, tidak berbedaan dengan pendapatnya ahli-tarikh-ahli-tarikh yang kesohor pula, bahwa yang membuat agama menjadi satu kekuasaan reaksioner yang menghambat kemajuan masyarakat manusia itu, bukan­lah pembikin agama itu, bukanlah yang mendirikan agama itu, tetapi ialah ijma’nya ulama-ulama yang terkurung di dalam tradisi-pikiran ijma’-ijma’ yang sediakala.

Maka jikalau kita, di dalam abad keduapuluh ini, tidak bisa mengunyah dengan kita punya akal apa yang dikatakan kita punya oleh Nabi kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun,- jikalau kita tidak bisa mencernakan dengan akal apa yang disabdakan kepada si Umar dan si Zainab itu di atas basisnya perbandingan-perbandingan abad keduapuluh dan kebutuhan-kebutuhan  abad keduapuluh, – maka janganlah kita ada harapan menguasai dunia, seperti yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala sendiri di dalam surat-surat ayat 29. Janganlah kita ada pengiraan, bahwa kita me­warisi pusaka Muhammad, sebab yang sebenarnya kita warisi hanyalah pusaka ulama-ulama faqih yang sediakala sahaja.

Di dalam penutup saya punya artikel tentang “Memudakan Pengertian Islam”saya sudah peringatkan pembaca, bahwa segala hal itu boleh asal tidak nyata dilarang.

Ambillah kesempatan tentang bolehnya segala hal ini yang tak ter­larang itu, agar supaya kita bisa secepat-cepatnja mengejar zaman yang telah jauh meninggalkan kita itu. Dari tempat-tempat-interniran saya yang terdahulu, dulu pernah saya serukan via tuan A. Hassan dari Per­satuan Islam, di dalam risalah kecil “Surat-surat Islam dari Endeh”

“Kita tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati”, – tetapi hidup mengalir, berobah senantiasa, maju, dinamis, ber-evolusi. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah menjadikan urusan dunia, menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram atau makruh. Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat – kafir; radio dan kedokteran – kafir; sendok dan garpu dan kursi – kafir; tulisan Latin – kafir; yang bergaulan dengan bangsa yang bukan bangsa Islam-pun – kafir!

Padahal apa,- apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang berkobar-kobar, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi … dupa dan karma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangan­nya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubalmya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar, – dia, dialah yang kita namakan Islam.

Astagafirullah, inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-uptodate-an? Yang mau tinggal mesum sahaja, tinggal kuno sahaja, tinggal terbelakang sahaja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahaja, seperti di zaman Nabi-nabi.

Islam is progress, - Islam itu kemajuan, begitulah telah saya tuliskan di dalam salah satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardhu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui batasnya­ zaman. Progress berarti barang baru, yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu. Progress berarti pembikinan baru, ciptaan baru, creation baru,- bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama.

Di dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy sahaja barang-barang yang lama, tidak boleh mau mengulangi sahaja segala sistim-sistimnya zaman “khalifah-khalifah yang ‘besar”. Kenapa orang-orang Islam di sini selamanya menganjurkan political system “seperti di zamannya khalifah-khalifah besar” itu?

Tidakkah di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu peri-kemanusiaan mendapatkan sistim-sistim baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjel­makan sistim-sistim baru yang cocok dengan keperluannya, – cocok dengan keperluan zaman itu sendiri? Apinya zaman “khalifah-khalifah yang besar” itu?

Akh, lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang “menganggitkan”? Bahwa mereka “menyutat” sahaja api itu dari barang yang juga kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunahnya Rasul?

Tetapi apa yang kita “cutat” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan! Abunya, debunya, akh ya, asapnya! Abunya yang berupa celak mata dan sorban, abunya yang menyintai ke­menyan dan tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam-muluk dan Islam ibadat-zonder-taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil sahaja,- tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu keujung zaman yang lain.”

Begitulah saya punya seruan dari Endeh. Marilah kita camkan di­ dalam kita punya akal dan perasaan, bahwa kini bukan masyarakat onta, tetapi masyarakat kapal-udara. Hanya dengan begitulah kita dapat me­nangkap inti arti yang sebenarnya dari warta Nabi yang mauludnya kita rayakan ini hari. Hanya dengan begitulah kita dapat menghormati Dia di dalam artinya penghormatan yang hormat sehormat-hormatnya. Hanya dengan begitulah kita dengan sebenar-benarnya boleh menamakan diri kita umat Muhammad, dan bukan umat kaum faqih atau umat kaum ulama.

Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di­ dekat sumur. Saya punya anak Ratna Juami berteriak: “Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci!” Saya menjawab: “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”

Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya: “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah?”

Saya menjawab: “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.” Muka Ratna menjadi terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.

Maha-Besarlah Allah Ta’ala, maha-mulialah Nabi yang Ia suruh!

“Panji Islam”

Islam Sontoloyo by Soekarno

Koran Pemandangan 6 April 1940
“Di dalam surat kabar Pemandangan beberapa waktu yang lalu , saya membaca satu perkabaran yang ganjil: seorang guru agama dijebloskan ke dalam bui tahanan karena ia memperkosa kehormatan salah seorang muridnya yang masih gadis kecil. Bahwa orang dijebloskan ke dalam tahanan kalau ia memperkosa gadis itu tidaklah ganjil. Dan tidak terlalu ganjil pula kalau seorang guru memperkosa seorang muridnya. Bukan karena ini perbuatan tidak bersifat kebinatangan, jauh dari itu, tetapi oleh karena memang kadang-kadang terjadi kebinatangan semacam itu. Yang saya katakana ganjil ialah caranya si guru itu “menghalalkan” ia punya perbuatan. Sungguh, kalau reportase di surat kabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah di sini kita melihat Islam Sontoloyo….!!! Suatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh.”“Cobalah kita mengambil satu contoh. Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, menfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan Yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terbesar, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba Tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, menfitnah orang lain, musyrik di dalam Tuan punya pikiran dan perbuatan. Maka tidak banyak orang yang akan menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asam pun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir. Inilah gambarnya jiwa Islam sekarang ini, terlalu mementingkan kulitnya saja, tidak mementingkan isi. Terlalu terikat kepada “uiterlijke vormen” saja, tidak menyalah-nyalahkan “intrinsieke waarde”.,ah, saya meniru perkataan Budiman Kwadjda Kamaludin: alangkah baiknya kita disamping fiqh itu mempelajari juga sungguh-sungguh etiknya Quran,intrinsieke waardennya Quran. Alangkah baiknya pula kita meninjau sejarah yang telah lampau, mempelajari sejarah itu, melihat dimana letaknya garis menaik dan dimana letaknya garis menurun dari masyarakat Islam, akan menguji kebenaran perkataan Prof. Tor Andrea yang mengatakan bahwa juga Islam terkena fatum kehilangan jiwanya yang dinamis, sesudah lebih ingat kepada ia punya system perundang-undangan kepada ia punya ajaran jiwa. Dulupun dari Ende pernah saya tuliskan: “umumnya kita punya kyai-kyai dan kita punya ulama-ulama tak ada sedikitpun “feeling” kepada sejarah. Ya boleh saya katakana kebanyakan tak mengetahui sedikitpun sejarah itu. Mereka punya minat hanya kepada agama khusus saja, dan dari agama ini, terutama sekali bagian fiqh. Sejarah, apalagi bagian “yang lebih dalam”, yakni yang mempelajari kekuatan-kekuatan masyarakat yang menyebabkan kemajuannya atau kemunduran suatu bangsa, -sejarah itu sama sekali tak menarik mereka punya perhatian. Padahal di sini, di sinilah penyelidikan yang maha penting! Apa sebab mundur? Apa sebab maju? Apa sebab bangsa ini di jaman ini begini? Apa sebab bangsa itu di jaman itu begitu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang maha penting yang harus berputar, terus-menerus di dalam kita punya ingatan kalau kita mempelajari naik turunnya sejarah itu.Tetapi bagaimana kita punya kyai-kyai dan ulama-ulama? Tajwid membaca Quran, hafal ratusan hadits, mahir dalam ilmu syarak, tetapi pengetahuannya tentang sejarah umumnya nihil. Paling mujur mereka hanya mengetahui “tartich Islam” saja. Dan inipun terambil dari buku-bukunya tarich Islam yang kuno, yang tak dapat tahan ujiannya ilmu pengetahuan modern.Padahal dari tarich Islam inipun saja mereka sudah akan dapat menggali juga banyak ilmu yang berharga. Kita Umumnya mempelajari Hukum, tetapi tidak mempelajari caranya orang dulu mentanfizkan Hukum itu..“fiqh pada waktu itu hanyalah kendaraan saja, tetapi kendaraan ini dikusiri oleh rohnya etik Islam serta tauhid yang hidup, dan ditarik oleh kuda sembrani yang di atas tubuhnya ada tertulis ayat Quran: “janganlah kamu lembek dan janganlah kamu mengeluh sebab kamu akan menang, asal kamu mukmin sejati”. Fiqh ditarik oleh agama hidup, dikendarai oleh agama hidup, disemangati agama hidup, roh agama hidup yang berapi-api dan menyala-nyala. Dengan fiqh yang demikian itu umat Islam menjadi cakrawati di separuh dunia.Kebalikannya, bahwa sejak islam studiedijadikan fiqh studie garis kenaikan itu menjadi membelok ke bawah. Menjadi garis yang menurun. Di situlah lantas islam membeku menurut kata Essad Bey, membeku menjadi satu system formil belaka. Lenyaplah ia punya tenaga yang hidup. Lenyaplah ia punya jiwa penarik, lenyaplah ia punya ketangkasan yang mengingatkan kepada ketangkasannya harimau. Kendaraan tiada lagi punya kuda, tiada lagi punya kusir. Ia tiada bergerak lagi, ia mandeg!Dan bukan saja mandeg! Kendaraan mandeg pun lama-lama menjadi amoh. Fiqh bukan lagi menjadi petunjuk dan pembatas hidup, fiqh kini kadang-kadang menjadi penghalalnya perbuatan-perbuatan kaum sontoloyooo…! Maka benarlah perkataannya Halide Edib Hanoum, bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini “bukan lagi agama pemimpin hidup, tetapi agama prokol-bambu”

Parit

Ketika di Madinah, Nabi terlibat konflik2 politik dgn kaum Yahudi, selain siap2 menerima serbuan Militer dari Mekkah pimpinan Abu Sufyan
Langkah brilian Nabi berdasarkan perundingan2 intens yg menghasilkan kesepakatan bahwa penduduk madinah akan saling bahu-membahu mempertahankan kota Madinah. Pakta perjanjian itu disebut "Piagam Madinah"
Bahasa cepetnya, temanmu adalah temanku, musuhmu adalah musuhku.
Berbagai suku Yahudi akan membantu kaum Muslim, demikian juga sebaliknya...
Akibat "kerusuhan politik" akibat perang Badar dan Uhud, Maka Abu Sufyan berhasil membentuk pasukan Mekkah yang kuat ditambah pasukan sekutu Suku2 Badui. Jumlah pasukan yg besar dgn persenjataan lengkap seperti ancaman air bah yg siap menghancurkan sebuah kota
Nabi mengingatkan Piagam Madinah kpd orang2 Yahudi, mari kita hadapi bersama tantangan serbuan itu. Selama kita percaya kpd Allah, Allah pasti akan membantu kita dgn caraNya.
Krn Kaum Yahudi sebagian besar berprofesi sbg pedagang,  juga mrk  berpikiran rasional bahwa melawan pasukan mekkah yg besar itu adalah bunuh diri......maka banyak kaum Yahudi yg menolak bergabung untuk membantu Nabi dlm menghadapi serbuan Abu Sufyan tsb
Hal tsb membuat kaum Muslim marah, dan menyebut kaum yahudi dgn sebutan "kaum munafik". Kaum munafik ini arti dasarnya adalah orang2 yg tidak percaya kpd Nabi (pd saat itu)
*kaum Muslim adalah gabungan pribumi kota madinah (anshar) juga kaum pendatang dr Mekkah (muhajirin)
Nabi sendiri tidak gentar dgn ancaman Abu Sufyan dan akan menghadapi sampai titik darah penghabisan. (Pada saat itu, kondisi psikilogis kaum Muslim adalah  mungkin lebih baik mati drpd hidup tak memiliki arti, terus dibawah ancaman, hidup miskin krn tindakan represif)
Ketika rapat bersama para sahabat, Nabi membuka perundingan utk mengumpulkan ide2 & strategi (militer). Dari berbagai ide, muncullah ide yg "aneh" tp sangat efektif. Ide tsb berasal dari budak persia bernama Salman. Salman mengungkapkan kalau salah satu strategi perang di negaranya adalah membuat parit.
Singkat cerita, berdasarkan ide Salman itu. Nabi mengalami kemenangan besar dgn membuat malu pasukan Mekkah dgn tidak bisa masuknya "pasukan sekutu" ke kota Madinah. Petinggi Mekkah sangat marah, karena cara strategi itu sangat memalukan dan hina, "sangat tidak Arab". Akhirnya pengepungan itu gagal..
Perang ini disebut Perang Khandaq (Parit)
Berhasil menahan pasukan Mekkah tidak demikian selesai hubungan kaum Muslim dgn suku2 Yahudi yg menolak kata2 Nabi.
Perang urat syaraf itu menghasilkan pengusiran suku2 yahudi keluar dari madinah. Harta (rumah, ternak) dll dianggap sbg pampasan perang diambil oleh suku2 Muslim
Ada satu suku yg benar2 mempertahankan integritas keimanan dan harga dirinya. Mrk mempertahankan tanah & hartanya. Suku Yahudi ini adalab Bani Quraizah. Dgn berat hati, berdasarkan hukum jahiliah Arab pd saat itu, nasib mrk berakhir dgn pembataian suku (genosida). Sekitar 700 orang Yahudi dibantai oleh kaum Muslim
Nabi sendiri mengetahui kejadian ini, tp dia mmg harus mempertahankan integritas dan persatuan kaum Muslim. Akhirnya beliau bersabda :

The Name Of The Rose

Saya hanya ingin menuliskan sedikit resensi mengenai "The Name of The Rose". Suatu saat saya ingin menuliskannya dlm tulisan yang lebih panjang. Ada perbedaan mendasar, sebuah jurang yang lebar antara sebuah karya tulis dan sebuah karya film. Karya tulis membuat imajinasi para pembacanya menjadi terbuka seluas-luasnya tanpa batas. Berbeda dengan karya film, apalagi yang kisahnya diadaptasi berdasarkan karya tulis (novel). Diceritakan bahwa Biara yang didatangi oleh William dan Adso muridnya adalah sebuah biara kaya. Memiliki sebuah perpustakaan dengan ribuan buku. Perpustakaan tersebut adalah salah satu kekayaan agama kristen yang diceritakan memiliki banyak buku mengalahkan perpustakaan Baghdad. Penggambaran inilah yang tidak divisualisasikan dalam film,  padahal ini merupakan inti dari kisah "The Name of The Rose". 

Kamis, 13 Maret 2014

Zaynab

Zainab binti Jahsy membuka pintu utk tamunya (Nabi yg ingin bertemu Zayd). Zayd ibn Al Harits adalah anak angkat Muhammad. Dia adalah budak hadiah perkawinan dari Khadijah utk Muhammad. Zaenab tdk menyangka akan kedatangan tamu dan pd saat itu dia sdng berpakaian seadanya.. Zainab mempersilahkan Rasulullah masuk dan menunggu hingga suaminya kembali. Nabi kagum dgn kecantikan Zaynab dan memuji "Maha Agung Allah Dia yang menguasai hati manusia" Ketika Zayd sampai ke rumah, Zaenab menceritakan kejadian tadi. Segera Zayd menemui Rasulullah. Zayd bertanya "Apakah Zaenab mencintaimu? Kalau benar akan kuceraikan dia".. Jawab Nabi:" Jagalah istrimu, takutlah kepada Allah. Sesuatu yg halal tp dibenci Allah adalah perceraian". Namun rumah tangga Zayd dan Zaenab bukan rumah tangga yang bahagia sehingga akhirnya terjadilah perceraian itu.. Bulan demi bulan berlalu. Disaat bercakap2 dgn istrinya, tiba2 Nabi mengatakan bahwa kekuatan wahyu menyelimuti dirinya. "Siapa yg akan pergi ke rumah Zaynab dan menyampaikan berita dr langit bhw Allah tlh menikahkan dia denganku" Anggota keluarga Nabi Salma (pembantu Shafiyyah) buru2 bergegas berlari menuju ke rumah Zaynab menyampaikan berita itu. Nabi menikahi Zaenab dgn wahyu :"Kami telah menikahkan mereka" QS 33:40, mk pengantin wanita segera dibawa oleh pengantin pria. Masalah timbul krn Zayd adalah anak angkat Muhammad. Akhirnya nama Zayd ibn Muhammad diganti kembali menjadi Zayd ibn Haritsah. Aturan bapak angkat dan anak angkat tidak memiliki hubungan darah, ditegaskan lagi oleh wahyu.. "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak laki2 diantara kalian, tapi di Rasulullah penutup para nabi" QS 33:40. Pada masa itu, posisi anak angkat tidak beda dengan anak kandung dan AlQuran melarang menikahi wanita bekas istri dari anak kandung. Dan menurut hukum Islam beliau tidak boleh menikah lagi karena sudah memiliki empat orang istri.. Di Jazirah Arab, masy spt arus pasang sedang beralih membela Muhammad, namun di Madinah perlawanan semakin keras. Konflik semakin tajam, bahkan setiap hari Ibn Ubay "menyindir" seandainya dia lah pemegang kepemimpinan. Bagi orang Arab, status hukum adopsi sama mengikat dgn pertalian biologis. Beredarlah rumor hubungan inses. "Enak sekali! Tuhanmu benar2 ingin mempercepat pertalian kalian" sahut Aisyah ketus. Suasana mmg tidak nyaman, Aisyah berkata dgn tajam "Apakah kau senang dengan pasangan baru mu?" Aisyah mmg kesayangan Muhammad, dia cantik, bersemangat, suka bicara, bangga akan posisinya dan pencemburu. Dalam ekspedisi menyerang sebuah suku sekutu Quraisy di dekat Madinah, Aisyah dibawa utk menemani. Penyerangan itu berhasil, kaum Muslim berhasil merebut 200 unta, 500 domba dan dua ratus perempuan suku itu. Hati Aisyah ciut ketika melihat Juwairiyyah binti Al Harist putri kepala suku ada di dalam tawanan karena dia begitu cantik.  Dan benar saja, selama negosiasi menyusul penyerangan itu, Muhammad mengajukan tawaran perkawinan untuk mengikat persekutuan dengan ayahnya. Gosip pun terus berhembus hingga "tragedi kalung". Tentang hubungan Aisyah dan kawan lama nya Safwan ibn Al Mu'attal.  Skandal itu mengguncang Madinah, masuk akal sehingga kaum Muhajirun mulai mempercainya. Bahkan Abu Bakr mulai curiga kalau gosip itu benar. Lebih serius lagi Muhammad sendiri meragukan kepolosan Aisyah. Dia tampak bingung & tak pasti. Tanda menurunnya kepercayaan dirinya. Ali pun berkomentar " Allah tak membatasimu, masih banyak wanita lain selain dia. Tp tanyalah pembantunya. Dia akn bcerita yg sesungguhnya"

Rabu, 05 Maret 2014

SUMBANGAN ISLAM KEPADA ILMU PENGETAHUAN DAN PERADABAN MODERN

RESENSI BUKU SUMBANGAN ISLAM KEPADA ILMU PENGETAHUAN DAN PERADABAN MODERN
Oleh: Hasan Sobirin

Akhir-akhir ini , banyak pertanyaan dari berbagai kalangan, tentang metoda dakwah yang digunakan sebagian kaum muslimin,  yaitu dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Pertanyaannya, apakah memang  begitukah peradaban Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut sudah dipastikan membutuhkan jawaban yang panjang dan diperlukan penjelasan yang terus menerus terutama mengenai  sejarah Islam secara holistik dimulai dari peradaban Jahiliyah kemudian terus menuju masa-masa penaklukan hingga masa kejayaan (golden era) hingga akhirnya menemui masa  kemundurannya. Satu hal yang penting adalah membaca masa keemasan Islam adalah berhubungan dengan masa kegelapan Eropa (Dark Age), yaitu suatu masa yang tak berbentuk, tak berkarakter, yang berada di tengah-tengah Zaman Klasik dan Renaissans, yang oleh ahli sejarah disebut zaman “medium aevum”, Abad Pertengahan. Sebuah abad millenium yang kira-kira berusia dari tahun 500 – 1500 M,  dimulai dari perebutan kota Roma oleh Alarik, mengakibatkan kejatuhan Kekaisaran Romawi yang akhirnya Eropa Barat mengalami kemunduran secara terus menerus dari abad ke -3 hingga abad ke -8. Pada 330 M, Konstantin Agung memindahkan kekaisaran Roma ke Konstantinopel, kota yang dibangunnya di dekat Laut Hitam. Banyak yang mengganggap kota tersebut adalah  “Roma kedua”. Pada 395 M, kekaisaran Romawi terbagi dua  yaitu kekaisaran Barat dengan Roma pusatnya dan kekaisaran Timur dengan kota baru  Konstatinopel sebagai ibukotanya. Romawi Latin dan Persia Sassania adalah dua kerajaan yang adidaya dalam hal ekspansi militer, penerapan hukum, pencapaian budaya, pembangunan jalan, kehebatan arsitektur. Mereka adalah dua kekuatan hebat yang saling bertempur  dalam hal persenjataan, kelembagaan, kebudayaan yang di dalam nya semua bangsa Asia Minor wajib berpartisipasi.
Pada tahun 570 M, di Hijaz Jazirah Arab,  dari rahim Siti Aminah lahirlah bayi laki-laki yang dinamai Muhammad oleh kakeknya Abdul Muthalib. Mungkin, ibunya tak akan menyangka bahwa si kecil akan  merubah berbagai sudut kehidupan manusia tidak hanya di Mekkah, Jazirah bahkan seluruh jagad alam semesta. Islam adalah agama besar terakhir yang lahir dalam sejarah dunia, tidak terselubung oleh kabut dongeng dan khayal. Islam menemukan metodologi ilmiah yaitu metode empirik induktif dan percobaan yang menjadi kunci pembuka rahasia-rahasia alam semesta yang menjadi perintis modernisasi Eropa dan Amerika. Wahyu Allah kepada Muhammad yang pertama dimulai dengan Bacalah! Sejak awal kita diwajibkan untuk membaca. Selanjutnya ayat-ayat AlQuran banyak berisi pertanyaan “Apakah engkau tak berpikir?” (afalatatafakkarun) , “apakah engkau tak berakal?” (afala ta’qilun), serta sejumlah ayat lain yang menganjurkan  bahkan  mewajibkan belajar  dan mengajarkan ilmu.  Nabi mewajibkan Aisyah, Zaid ibn Tsabit bahkan membebaskan budak-budak belian untuk belajar membaca dan menulis. Untuk keperluan menyebarkan agama, maka terjadilah gerakan  “melek” huruf seperti belum ada bandingannya pada masa itu sehingga kepandaian baca tulis tidak lagi monopoli kaum cendikiawan dan bangsawan. Ini adalah langkah pertama gerakan ilmu secara besar-besaran.  Pada masa Penaklukkan meluaskan Dar-al Islam oleh para sahabat Nabi juga Kekhalifahan Umayah dan Abbasiah, Islam telah membentang dari Teluk Biskaya di sebelah barat hingga ke Turkestan (Tiongkok) dan India, melebihi imperium Romawi pada puncak kejayaannya. Jika pada mulanya gerakan ilmu itu hanya tertuju pada telaah agama, maka kajian ilmu berkembang menjadi lebih luas. Pada masa Kekhalifahan, perkembangan mempelajari ilmu menjadi lebih sistematik
Apa yang sudah dirintis oleh Dinasti Ummayah di Damaskus dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiah di Baghdad. Khalifah Al Mansur telah memperkerjakan para penerjemah yang menerjemahkan buku-buku kedokteran, ilmu pasti, filsafat dan bahasa Yunani, Parsi dan Sanskrit. Pada Masa Khalifah Al Makmun, kegiatan itu diperhebat. Pada tahun 830 M, Khalifah Al Makmun bin Harun Al Rasyid mendirikan Darul  Hikmah atau Akademi  Ilmu pengetahuan pertama di dunia, terdiri dari perpustakaan, pusat pemerintahan, observatorium bintang dan universitas kedokteran (Darul Ulum). Al Makmun pun mengirimkan serombongan penerjemah ke Konstatinopel, Roma juga berbagai kota-kota lain. Diriwayatkan Al Makmum,pernah bermimpi  melihat sosok berkulit putih, kemerah-merahan sikapnya gagah duduk di singgasana. Orang dalam mimpi itu tak lain adalah Aristoteles. Mimpi itu menjadi inspirasi Al Makmun untuk mensosialisasikan literatur Yunani di lingkungan akademinya, kemudian penguasa  rajin mengadakan surat menyurat dengan Byzantium. Al Makmun mengutus tim kerja ke Yunani dan tak lama berselang utusan itu kembali dengan membawa buku yang diterjemahkan. Inilah awal mula penerjemahan di dunia arab pada masa Abad Pertengahan. Al Makmun pun mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum ahli hadist, musafir dari berbagai penjuru. Mereka diberi fasilitas dan perlindungan negara agar dapat mencurahkan seluruh perhatian kepada pengembangan ilmu dan pengetahuan.
Berbeda dengan Eropa pada masa Abad Pertengahan (Abad Gelap) dimana kekuasaan otoriter dimiliki oleh Gereja dan Kerajaan, Dar-al Islam sudah mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi apa yang dipunyai Eropa Kristen. “Dunia ilmu pengetahuan banyak berutang budi kepada kaum Muslimin. Kemungkinan mereka yang menemukan apa yang disebut angka-angka Arab; Aljabar secara praktikan ciptaan mereka; mereka memajukan ilmu ukur sudut, optika dan ilmu bintang. Mereka juga yang menemukan lonceng gantung (pendulum); di bidang pengobatan mereka telah mencapai kemajuan istimewa; mereka sudah menyelidiki ilmu faal dan ilmu kesehatan, mereka sudah melakukan pembedahan-pembedahan tersulit yang pernah diketahui, mereka sudah mengetahui cara membius serta beberapa cara merawat orang sakit. Ketika Eropa  secara praktikal Gereja melarang praktek pengobatan, ketika upacara agama  seperti mengusir setan-setan  serta rekaan-rekaan  dianggap sebagai penyembuhan bagi penyakit-penyakit , ketika tukang-tukang obat palsu dan badut-badut amat banyaknya, di kala itu kaum Muslimin telah memiliki ilmu kedokteran yang sesungguhnya. (Herbert A Davis ). Untuk itulah, tidak ada sarjana-sarjana Muslim yang dipenjara, dibakar atau dibunuh berdasarkan inkuisisi Gereja (pengadilan iman)  seperti yang dialami Nicolas Copernicus, Giordano Bruno, Galileo Galilei, Miguel Servetto, juga ribuan wanita yang dibakar dengan tuduhan sebagai penyihir.
Banyak sekali kaum terpelajar Islam dari berbagai disiplin ilmu seperti Al Khawarizmi, Al  Biruni, Ar Razi, Hunayn ibn Ishaq, Ibnu Sina, Ibn Rusyd, At Thabari, Ibnu Khaldun, Al Farabi, Al Ghazali dan masih Banyak lagi. Berbagai pemikiran cendikiawan Muslim ini mempengaruhi kehadiran sains di Eropa, seperti misalnya Thomas Aquinas dan Benedictus Spinoza yang begitu terpengaruh dengan Ibn Rusyd. Ibn Rusyd lah yang membuka belenggu ke-taklid-an (tunduk dengan buta dan tuli) dan menganjurkan untuk kebebasan berpikir. Ibn Rusyd mengulas Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunatullah menurut pengertian Islam  terhadap pantheisme mitologi (seluruh alam diresapi ruh Tuhan, Tuhan ada di dalam segalanya). Ada pula dua bersaudara Francis Bacon dan Roger Bacon, mereka adalah sarjana Universitas Islam yang berjuang untuk mengenalkan sains (ilmu islam) di Barat. Dimana Barat pada saat itu masih tenggelam di dalam dogma gereja yang dominan dan akan mengadili setiap hal yang bertentangan dengan Gereja adalah perbuatan bidah , contohnya Gereja mendukung teori Geosentris_bumi sebagai pusat, Ptolemy yang bersebrangan dengan teori Heliosentris (Matahari sebagai pusat) karya Copernicus. Sarjana-sarjana tersebut mencoba membebaskan diri dari pemikiran dogma dan menjadikan fakta-fakta empirik sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Secara ringkas gerakan Islam yang bersumber dari Filsafat dan Sains tersebut membidani :
1.       Kebangkitan kembali (Renaissance) kebudayaan Yunani klasik pada abad 14
2.       Pembaruan Agama Kristen, abad 16 (Luther, Zwigli, Calvin)
3.       Gerakan Rasionalisme, abad 17 (Rene Decartes, Jhon Locke)
4.       Pencerahan (Aufklaerung, enlightenment), abad 18 (Voltaite, D, Diderot)
Dan yang menggemparkan dunia ilmu adalah pada tahun 1919 Miguel Asin Palacios memberikan tesis bahwa Divina Comedia Dante Alighieri  dipengaruhi olleh Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW berdasarkan karya gurunya  Abu Bakar Muhammad ibn Ali Muhyiddin Al Arabi.
Demikianlah pengaruh Islam dalam mewarnai dunia ilmu dan peradaban di Barat. Sabda Nabi adalah Al-‘imanu ‘uryan wa libasuhu at-taqwa wa zanatuhu al haya’nwa tsamaruhu al-‘ilm. (Adapun iman itu telanjang, sedangkan pakaiannya adalah takwa dan perhiasannya rasa malu serta buahnya adalah ilmu). HR Bukhari.


Kamis, 26 Desember 2013

Fathu Makkah

Pada 10 Ramadhan (Januari 630), Muhammad memimpin rombongan terbesar yang pernah keluar dari Madinah. Hampir seluruh lelaki dalam ummah bersedia untuk ikut dan sepanjang jalan sekutu-sekutu Badui mereka menggabungkan kekuatan dengan kaum Muslim sehingga jumlahnya lebih dari 10 ribu orang. Untuk alasan keamanan, tujuan ekspedisi dirahasiakan, tentu saja banyak memunculkan spekulasi. Pasti Makkah yang menjadi kemungkinan tujuan , atau mungkin saja tujuannya adalah Thaif yg masih memusuhi Islam hingga Bani Hawazin  di selatan mulai menyiapkan pasukan disana.. Di Makkah, para pemimpin Quraisy mencemaskan kejadian terburuk. 'Abbas, Abu Sufyan, Budail, kepala suku Khuza'ah semuanya secara diam-diam bergerak menuju perkemahan kaum Muslim di malam hari. Di sana Muhammad menerima mereka dan  dan menanyai Abu Sufyan apakah dia siap menerima Islam. Abu Sufyan menjawab bahwa meskipun dia kini percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan_berhala-berhala itu terbukti tak ada gunanya. Tapi dia masih ragu dengan kenabian Muhammad. Dan Abu Sufyan terkejut  dan terkesan ketika menyaksikan seluruh  anggota pasukan yang besar itu bersujud ke arah Makkah pada Shalat Subuh dan dia kemudian sadar kalau pada saat itu, suku Quraisy harus tunduk menyerah. 

According to "Suku Quraizah"

"Janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Ilah kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri" (QS Al - Ankabut 29:46) terjemahan Asad............. *kelak di dalam kekaisaran Islam, orang Yahudi akan menikmati kebebasan beragama sepenuhnya, dan Anti-Semitisme takkan pernah menjadi ciri kaum Muslim hingga konflik Arab-Israel menjadi akut di pertengahan abad kedua puluh.

Minggu, 22 Desember 2013

Abu Thalib


Dalam semalam Muhammad telah menjadi musuh. Para pemimpin suku Quraisy  mengirimkan delegasi kepada Abu Thalib, meminta nya untuk memutuskan hubungan dengan keponakan laki-lakinya itu. Tak seorangpun bisa bertahan di Arabia tanpa perlindungan dari pihak yang berkuasa. Seseorang yang sudah diusir dari klannya  bisa dibunuh tanpa pembunuhnya dijerat oleh hukum, tanpa takut balas dendam dari suku nya.  Abu Thalib  yang sangat menyayangi Muhammad kendati dirinya bukan lah seorang muslim, berada dalam posisi yg sangat sulit. Dia mencoba mengulur kesempatan, tetapi kaum Quraisy kembali mengultimatum “Demi Tuhan, kami tidak bisa para leluhur kami dicaci, kebiasaan kami dicela dan tuhan-tuhan kami dihinakan!”. “Hingga kau usir dia demi kami, kami akan melawan kalian berdua hingga salah satu pihak dari kita akan mati!”.  Abu Thalib memanggil Muhammad, memohonnya untuk menghentikan dakwahnya yang subversive. “Selamatkan lah aku dan dirimu sendiri” dia memohon. “Jangan letakkan pada pundakku beban yang lebih besar daripada yang bisa kutanggungkan”. Karena yakin Abu Thalib akan meninggalkannya, Muhammad menjawab dengan mata basah “Wahai pamanku, demi Tuhan, andaikan mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan syarat aku meninggalkan jalan ini, aku tidak akan melakukannya, hingga Tuhan menjadikannya jaya atau aku mati di jalan ini. Beliau kemudian diam dan meninggalhan ruangan itu sambil berurai air mata.  Pamannya memanggilnya kembali, “Pergilah dan sampaikan apa yang ingin kau sampaikan, karena demi Tuhan, aku tidak akan pernah meninggalkanmu dengan alasan apapun,……”

Selasa, 19 November 2013

Perlu Keterbukaan

Pada tahun 399 sebelum kelahiran Nabi Isa a.s, de sebuah penjara kuno, seorang laki-laki tua meminum racun dengan tenang. Kawan-kawannya tak sanggup menahan tangis. Ruang penjara yang pengap itu  segera dipenuhi oleh tangisan. "Raungan aneh apa ini?" kata seorang lelaki bercambang lebat itu. "Aku suruh perempuan keluar supaya mereka tidak menggangu aku seperti ini. Bukankah orang mati harus dengan damai? Tenanglah. Bersabarlah" Yang menangis menghentikan tangisan mereka. Perlahan-lahan robohlah orang tua itu.

Ketika muridnya menuliskan peristiwa kematiannya, dia masih juga terharu: " Itulah akhir hidup sahabat kami. Aku dapat menyebutnya sebagai orang yang paling bijak, paling adil, paling baik dari semua orang yang aku kenal". Orang tua itu bernama Socrates. Murid yang setia dan menceritakan peristiwa itu adalah Plato. Mengapa orang bijak ini mesti mati? Dosa apa yang ia lakukan?

Socrates bukan penjahat, bukan pula koruptor. Dia hidup sangat sederhana, sehingga istrinya Xantippe sering mengomel. "Aku ini dukun beranak yang membantu orang melahirkan. Bukan melahirkan anak, tapi melahirkan gagasan", kata Socrates. Dia memang disenangi anak-anak muda. Setiap kalio dia memberikan ceramah, ratusan anak muda Yunani yang cerdas berkumpul di sekitarnya. Dia mengajak mereka berpikir kritis. Dia mendorong mereka untuk membuka diri terhadap gagasan-gagasan baru. Jiwa-jiwa muda yang bersih terpesona. Mata mereka terbuka melihat dunia, persis seperti bayi yang baru lahir.

Socrates memang dukun beranak. Untuk "profesi"nya itu. dia harus mati. Dia pun rela mati demi sebuah keterbukaan. "Socrates meresahkan masyarakat" kata pemuka masyarakat. Dia dipanggil ke pengadilan. Tapi Orakel di Delphi, juga Plato dan para pemikir sepanjang sejarah, menyebutnya orang yang paling bijak. Dia mempengaruhi ribuan orang sesudah dia mati.

Lewat Plato, kira-kira seribu lima ratus tahun kemudian, ada anak muda Islam yang memilih hidup seperti Socrates. Dia menjelajahi sudut-sudut negeri Persia dan menyauk hikmah Persia yang ditinggalkan orang. Dia menelusuri pelosok -pelosok Anatolia dan Syria dan berguru kepada orang-orang Sufi yang arif. Dia pun mendatangi kota-kota besar wilayah Islam waktu itu; berbincang dengan para filosof pecinta hikmah Yunani.

Akhirnya anak muda ini "terdampar" di istana Malik Zhahir, putra Salahuddin Al Ayyubi. Dia dicintai Malik karena kecerdasannya, kearifannya dan terutama skali karena keterbukaan. Dia menyuruh orang untuk belajar filsafat, dan pada saat yang sama mendorong orang untuk menyucikan dirinya lewat tasawuf. Dia mengajak orang Islam untuk memperkaya dirinya dengan berbagai hikmah yang datang dari manapun_Yunani, India, Persia. Anak-anak muda menyukainya tetapi tidak denga para ulama. Mereka menuduh pemuda ini meresahkan masyarakat, merusak aqidah, dan menyesatkan umat. Mereka medesak Malik untuk menangkapnya. Sang Pangeran yang sudah tercerahkan tidak ingin menangkap sahabatnya. Para ulama pergi "ke atas", kepada Salahuddin Al Ayyubi. yang tengah memerlukan ulama, didesak untuk menghukum pemuda itu. Pada tahun 587 Hijri, seperti Socrates, anak muda ini mati di penjara kerena dicekik atau karena kelaparan.

Delapan ratus tahun kemudian, Henry Corbin, filosof Prancis menemukan peninggalan dia. Syihabuddin Suhrawardi. Anak muda yang mati terbunuh di usia 39 tahun itu ternyata manusia yang sangat luar biasa. Bila Al Farabi adalah Magister Secundus (Guru Kedua) yang menghidupkan  ajaran Aristoteles yang rasional, maka Suhrawardi adalah Magister Secundus ajaran Plato yang ideal. Suhrawardi adalah pendiri aliran Isyraqiyyah (iluminasionisme) dalam filsafat Islam. Dalam hidupnya yang singkat, dia menulis puluhan buku tebal. Dia filosof yang dikaruniai Allah kemampuan menulis seorang novelis. Salah satu bukunya adalah Al-Ghurbah Al Gharbiyyah (Keterasingan Barat) adalah novel filsafat yang lebih mempesonakan daripada Also Spranch Zarathustra karya Nietszche.

Genius besar ini mati dalam usia muda. Dosa nya sama denga dosa Socrates. Dia menganjurkan keterbukaan. Dia mengajak orang melepaskan diri dari sekat-sekat mazhab yang sempit. Dia bberwawasan nonsektarian. Socrates mati. Suhrawardi mati dan boleh jadi ratusan pemikir nonsektarian mati atau dimatikan. Namun keterbukaan selalu dirindukan orang, khususnya oleh anak muda yang cerdas.

Kang Jalal

Jumat, 15 November 2013

Perjanjian Dengan Setan



Oleh : Abdurrahman Wahid

Di tahun-tahun lima puluhan, beredar terjemahan noveler Damon Runyon, "Hantu dan Daniel Webster". Isinya tetang seorang Amerika abad lalu yang menggadaikan jiwanya kepada setan agar berhasil gemilang dalam profesi. Diakhir masa gadai, sang setan datang untuk menagih: orang itu harus hidup dalam bentuk lain. Menjadi kupu yang ditaruh dalam sebuah tabung, mengutuki nasibnya yang jelek, menjadi hamba setan.
Untungnya, melalui berbagai argumen dalam perdebatan antara pembela hukumnya - Daniel Webster - dan sang setan, dalam sebuah ‘peradilan spiritual' yang unik orang itu akhirnya dibebaskan dari sanksi.
Bagi kita, penggadaian jiwa kepada setan bukan dongeng aneh. Sekian banyak kepercayaan akan "pesugihan" sudah menjadi pengetahuan umum - dari soal monyet di Gunung Kawi, yang dikatakan penjelmaan dari mereka yang dulu dianugerahi kekayaan luar biasa, hingga babi jadi-jadian yang konon kembali menjadi manusia dikala mati dibunuh orang. Juga tuyul, yang kemarin dipopulerkan itu.
Menarik, bangsa-bangsa  Barat pun memiliki perbendaharaan cerita seperti itu, seperti dibuktikan Damon Runyon dalam noveletnya (cerita-pendek panjang) yang tadi. Tetapi ada perbedaan mendasar dalam pendekatan kepada materi pokoknya. Kepercayaan bangsa kita  itu menunjukkan sikap pasrah kepada ‘intervensi supranatural': paling jauh hanya mengambil intisari moral dari cerita atau kepercayaan itu, yaitu imbauan agar kita tidak menggadaikan jiwa kepada setan. Para penulis Barat, Seperti Damon Runyon tekanannya justru pada upaya membebaskan diri dari ‘sanksi hukum' setan.
Ini tentu dibawakan oleh nilai yang melandasi sikap hidup yang berbeda. Kita tidak mementingkan kebebasan manusia, sebagai peperangan,dari cengkeraman nasib, karena kita memang berwatak pasrah. Manusia Barat setidak-tidaknya sebagai prototipe justru menghardik nasib dan merebut inisiatif dari tangannya.  Karenanya, setan pun harus di lawan.
Sikap berani menentang surtan takdir seperti itu sudah tentu tidak tumbuh dalam sekejab: ia merupakan hasil perjalanan sejarah  panjang. Pun bukan merupakan sikap terbaik yang dapat dirumuskan manusia bagi hidupnya, karena sekularisme yang dihasilkannya juga membawakan krisisnya sendiri kepada ‘manusia Barat' saat ini. Namun, tak dapat diingkari ‘Manusia Barat' berwatak ingin menentukan nasibnya sendiri, bebas dari campur tangan siapapun juga.
Dalam perjalanan kian-kemari, penulis menonton di sebuah tempat sebuah filem menarik, dengan tema seperti itu. Film berjudul "Oh God, You Devil"  menampilakan gambaran baru dari tema lama damon Runyon di atas. Hanya saja penyelesaiannya idak dilakukan melalui sidang ‘pengadilan spiritual'.
Seorang musikus, yang belum berhasil mengangkat karier dalam usia 30 tahun, bertemu dengan sang setan. Makhluk ini berkuasa ini tampil dalam  sosok seorang agen yang menjanjikan promosi serba tuntas bagi sang musikus. Dalam keputsasaan akibat kebuntuan karier, si musikus menerima keagenan setan atas dirinya. Maka ia pun  ditukar secara fisik,  dengan seorang penyanyi rock sangat tenar - yang sudah sampai ‘masa perjanjian' nyadengan sang setan. Jiwa mereka bertukar tempat, alias bertukar raga.
Bintang rock tenar menjdi musikus yang mendampingi istri musikus yang tak maju-maju itu, tanpa sang istri menyadarinya. Sang musikus lokal, sebaliknya, langsung menjadi bintang tenar, dengan segala kesenangan hedonistiknya. Itu berjalan cukup lama. Namun, kemewahan berlimpah yang dimilikinya tidak dapat melupakannya dari kenangan kepada istrinya.
Ketika suatu ketika ia nekat mengintip sang istri makan di restoran kesayangan mereka berdua, didampingi musikus yang dulunya bintang rock tenar itu, tak dapat lagi dicegah keinginannya untuk membebaskan diri dari pengendalian setan. Dan dalam kekalutan jiwa itu ia berupaya mencari Tuhan. Dan Tuhanpun muncul -dalam personifikasi seorang pengkhotbah sederhana, dan kemudian lagi, seorang penduduk desa yang bersahaja.
Karena kesungguhan mencari Tuhan itulah maka sang Tuhan berbentuk manusia itu merasa belas kasihan. Lebih-lebih, karena sewaktu musikus-lalu-bintang rock terkenal itu masih anak-anak ayahnya pernah bekerja menanamkan kepercayaan dan cinta kepada Tuhan dan sesama. Tuhan berterima kasih kepada ayahnya itu - dengan jalan menolong diri musikus-lau-bintang-rock-tenar itu. Pertolongan Tuhan itu dinyatakan dalam bentuk sangat unik. Kedua personifikasi Setan dan Tuhan bertanding dalam permainan poker. Taruhannya: kalau setan menang, bintang rock tenar akan tetap dikuasainya: kalau sebaliknya ia akan diperbolehkan menjadi musikus sederhana.
Ternyata, Tuhan menang (bagaimana Tuhan dapat digambarkan kalah?) dan bebaslah sang makhluk dari cengkeraman setan. Caranya? Sang bintang rock tenar bunuh diri - dengan obat terlarang, dalam dosis berlebihan. Jiwanya keluar, menjelma menjadi musikus semula. Kebetulan musikus yang menempati raganya sebelum itu bertugas meliput kegiatan bintang rock tenar itu sebelum kematiannya.
Jiwa dipertukarkan. Bintang rock tenar dipulangkan sukmanya ke neraka, untuk memenuhi perjanjiannya dengan setan. Sang musikus langsung pulang ke rumah - kedalam kebebasan, ke dalam kekurangan dan kemelaratan. Tetapi juga kepada istrinya yang dicintainya, yang tengah mengandung tua dari benihnya dahulu. Kandungan tua istrinya itulah yang menyebabkan ia berontak dari kemewahan dan mencari pertolongan Tuhan untuk menjadi musikus miskin.
Siklus kehidupan yang positif: kembalinya sang pengembara, yang menyadari bahwa kemewahan tidak sebanding nilainya dengan kebebasan diri sebagai insan.
(Sumber: TEMPO, 21 Desember 1985)

Kaum Badui Arab

“Menurut Khalifah Umar Bin Khattab, orang-orang Badui lah yang melengkapi  Islam dengan bahan-bahan yang kasar”. Kaum Badui A...